Mumpung ada yang tertarik tentang beras, berikut saya copykan sebuah artikel dari Harian Kompas Halaman Jogja.
salam EJ. "Bread Talk, Rice Die" Selasa, 25 Maret 2008 | 10:58 WIB Oleh Gutomo Priyatmono Kita di Indonesia tampaknya membuat kekeliruan yang sama dengan yang dibuat oleh banyak negara berkembang lainnya.... Meskipun perhatian kita terhadap pertanian pangan amat besar sehingga tercapai swasembada pangan, namun dana yang dicurahkan bagi industrialisasi jauh melebihi kewajaran dengan sekaligus kurang memperhatikan pengembangan agribisnis dan agroindustri yang seharusnya merupakan bagian tak terpisahkan dari proses industrialisasi berwawasan pengembangan sumber daya pertanian.... (Mubyarto, 1995) Cuplikan tulisan Prof Mubyarto tahun 1995 dalam State of the Art Ilmu Ekonomi Pertanian Indonesia sangat relevan untuk melihat "kematian beras" yang dihasilkan dari kerja keras petani- petani kita yang kini pamornya kalah dengan industrialisasi gandum. Industrialisasi gandum telah mencapai tahap advance dengan maraknya gerai-gerai bakery di Yogyakarta saat ini. Di sepenggal Jalan Kaliurang sebelum Ring Road saja terdapat lebih kurang lima gerai bakery yang menawarkan aneka rasa produk roti. Gerai-gerai bakery seakan terus mencari ruang di Yogyakarta untuk menunjukkan eksistensi industrialisasi gandum. Di Jalan Gejayan lebih kurang terdapat empat buah gerai yang mengusung label industri roti luar negeri maupun dalam negeri. Hal ini sangat ironis dengan slogan "negara agraris" yang selalu ada dalam ingatan kita tentang Indonesia bahwa identitas sebagai "negara agraris" tidak sesuai kenyataan. Industrialisasi beras tidak pernah mampu menunjukkan jati dirinya yang membanggakan kecuali masalah peningkatan produksi, produktivitas, kelangkaan, polemik harga dasar, dan impor beras. Beras yang sekarang ini hadir di depan kita untuk dinikmati selalu sama dari ke hari, tanpa pernah "bersolek". Di sisi lain, melalui industrialisasi transnational corporation, gandum "bersolek" semakin cantik, dan apabila tahun ini dicanangkan sebagai era Bread Talk memang betul demikian kenyataannya. Tahun ini adalah tahun gandum beserta produk- produk sekundernya. ******************************************* TAWARAN KERJASAMA! Sejak awal berdiri, Agromania selalu membuka diri untuk menerima tawaran kerjasama dari rekan2 anggota milis untuk kegiatan2 yang berhubungan dengan pemasaran produk, pameran, dan pelatihan di bidang agrobisnis. Jika ada yang berminat, silahkan hubungi kami dengan mengajukan ide dan bentuk kerjasama yang diinginkan untuk kami pertimbangkan. AGROMANIA (online sejak 1 Agustus 2000) SMS: 0 8 1 1 1 8 5 9 2 9, EMAIL: [EMAIL PROTECTED] MILIS: http://groups.yahoo.com/group/agromania AKTIVITAS: http://ph.groups.yahoo.com/group/agromania/photos ALAMAT: Jl.Jambu No.53, Pejaten Barat 2, Jaksel 12510 ******************************************* Roti dengan berbagai macam rasa, bentuk, tampilan, aksesori penghidangannya, hingga kandungan dietnya telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat, dan uniknya setiap "kelas" dari masyarakat Yogyakarta telah memiliki acuan gerai-gerai roti tersebut sesuai dengan kapasitas keuangan mereka. Ada donat "kelas" Beringharjo, ada pula donat "kelas" mal. Hal ini mempertegas Bread Talk telah mewakili kebutuhan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Di sisi yang lainnya beras dapat dikatakan menghadapi kematian. Tahun ke tahun industri beras hanya berkutat pada masalah usang, seakan tidak ada ruang untuk beras "bersolek" seperti saudara serealia-nya, yaitu gandum. Ujung dari hal ini sering kali terdengar kritik atas industrialisasi gandum yang telah membuat beras sekarat. Para pelaku industrialisasi gandum ditimpakan setumpuk kesalahan, mulai dari diisukan tidak nasionalis, kemudian tidak mempunyai kepedulian terhadap petani dan kebijakan pemerintah, hingga dilabelkan sebagai antek kapitalis dan lain sebagainya. Semua kritik dan umpatan atas sekaratnya beras tersebut sebenarnya salah alamat. Para pelaku industrialisasi gandum tersebut melalui gerai-gerai roti mereka sejatinya hanya menangkap peluang dengan menyesuaikan perubahan gaya hidup masyarakat. Masyarakat telah bosan dengan beras yang statis bentuk serta rasanya dan semakin menurun kualitasnya dari tahun ke tahun. Industri beras yang enggan beranjak dari bentuk primernya di tengah kapitalisasi kehidupan masyarakat adalah suatu "kesalahan". Seharusnya beras mengikuti kapitalisasi yang tengah berlangsung deras tersebut sehingga muncul di tengah kita produk-produk sekunder dari bahan dasar beras yang beraneka macam dan bercita rasa tinggi. Keengganan beras beranjak dari bentuk primernya tersebut semakin mempercepat kematian beras dalam libasan Bread Talk. Kebijakan Kebijakan pangan yang cenderung defensif, melindungi ketersediaan pangan dalam negeri, adalah awal dari tersingkirnya beras dalam pusaran industrialisasi dan kapitalisasi. Beras cenderung sebagai komoditas politis untuk legitimasi keberhasilan pembangunan. Beras tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan identitas yang sebenarnya. Akibatnya beras tidak diberi ruang untuk "bersolek", bahkan mereka yang akan "merias" beras untuk menjadi produk-produk sekunder harus berpikir masak-masak atau bahkan terbirit-birit lari menjauhinya. Beras adalah bisnis politis, oleh karena itu kapitalisasi untuk mengubah beras menjadi produk yang setiap menit dapat diakses dan langsung dinikmati seperti donat di pasar ataupun mal masih jauh dari jangkauan. Aksesibilitas produk sekunder beras adalah akibat kebijakan defensif terhadap komoditas ini. Seharusnya kebijakan perberasan adalah ofensif, "menyerang", dalam hal ini menyesuaikan gaya hidup masyarakat. Dengan penyesuaian tersebut, beras akan diterima oleh masyarakat bukan sebagai komoditas yang sekadar "mengenyangkan" perut tetapi komoditas yang mampu mengikuti perubahan kebutuhan dan gaya hidup. Petani adalah pihak yang paling diuntungkan apabila produk sekunder beras bermacam bentuk dan cita rasanya. Namun, hal ini memerlukan keberanian untuk "menabrak" kebijakan pangan yang defensif dan mengubahnya menjadi kebijakan yang ofensif. Menempatkan beras sebagai komoditas kapitalis memang bukan kebijakan yang populer dan akan menuai banyak kritik; namun, percayalah bahwa dengan kapitalisasi, beras akan menjadi produk yang berbicara atas nama dirinya. Beras akan semakin menemukan ruang untuk mengubah bentuknya melalui ruang-ruang industri yang sarat modal dan teknologi seperti yang terlihat di gerai-gerai roti. Beberapa tahun ke belakang muncul kebanggaan ketika di pasaran tersedia beras instan dengan berbagai cita rasa, namun dalam hitungan bulan produk sekunder komoditas beras tersebut lenyap dari pasaran. Bukan hal yang mudah memang untuk mewujudkan produk sekunder beras karena masyarakat sudah telanjur memberi label beras sebagai komoditas "sakral", baik secara tradisional maupun politis. Oleh karena itu, beras tidak pernah berbicara atas nama dirinya sendiri sebagai sebuah komoditas pertanian yang sebenarnya memiliki banyak kegunaan dalam berbagai bentuk. Gutomo Priyatmono Direktur Impulse dan Staf Peneliti PSPK Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ----- Original Message ----- From: agronursery To: agromania@yahoogroups.com Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:56 PM Subject: [agromania] Re: Momentum bangkitkan angrobis khususnya pangan--> Mari berubah! Saay terharu, sedih dan marah membaca psotingan ini. Bukannya marah kepada si penulis tapi lebih kepada keadaan yg terjadi sekarang. Benar yg anda katakan Pak Mugi sekarang keadaan benar benar amburadul. Begitu petani kita mau panen padi dan gula langsung deh para pejabat melakukan import gula dan beras. Apa petani gak babak belur? Seharusnya pada saat ini para petani bisa bernafas lega karena harga mulai naik, tapi entah kenapa nasib petani tetap terpuruk. DI tanah Karo para petani mulai membunuh tanaman jeruk mereka karena harga yg tidak menentu sementara harga pupuk naik luar biasa dan langka lagi. Kalau mahal sih masih bisa dimengerti, yg gak enaknya pupuk pun bisa langka karena diseludupkan atau malah di timbun agar harga menlambung. Dan yg lebih parahnya lagi malah pupuknya ada yg palsu. Mau bagaimana lagi para petani jeruk. Harga pernah mencapai Rp. 700/kg, bagaimana mau untung? Dan sebagian sudah mulai di bunuh dan diganti dengan coklat dan tanaman lainnya. Ketua asosiasi petani karo seorang pria sampai harus melakukan protes ke kantor pengadilan dengan memakai pakaian penagntin wanita karo. Bayangkan, seorang pria melakukan protes dgn memakai pakaian penagntin wanita!. Ini semua terjadi karena beliau hampir putus asa menghadapi mafia pupuk di tanah karo. Dulu dia juga pernah melakukan protes dengan membawa keranda peti mati ke kegedung pengadilan di kabanjahe , karo. Dia protes karena pupuk palsu waktu itu sgt meraja lela. Sampai sampai dia menyalami seorang jaksa dan berkata, selamat pindah ke daerah baru dan bikin kacau ditempat baru. Sang jaksa hanya mesem mesem saja. Kemarin saya melihat acar TV di Metro Tv yg mengatakan bahwa Brazil sudah mulai memproduksi Bio ethanol dari rumput. Jadi tidak membahayakan pangan manusia dan mereka mengekspor nya ke Amerika. Amerika terpaksa menaikkan pajak Bea masuk sebesar 100 % untuk melindungi produksi nasional Bioethanol mereka karena Bioethanol mereka terbuat dari kacang kedelai yg otomatis lebih mahal. Kapan kita bisa menciptakan Bioethanol dari rumput? Para ahli kita saya rasa sanggup membuat mesinnya. Sayangnya sampai sekarang masalah bioethanol masih belum mendapat dukungan penuh pemerintah, pemerintah masih ragu untuk menentukan pilihan. Atau mereka masih sibuk mengurus pemilu ygs semakind dekat? Kalau pemerintah memang mendukung proyek bioethanol, seharusnya mereka menciptakan bibit unggul untuk jarak pagar, berikan secara gratis dan dirikan pabrik Bioethanol agar hasil dari petani ada yg menampung. Berikan intensif pajak buat produsen sehingga harga lebih bersaing. Juga adakan penelitian seperti di brazil sehingga kita bisa membuat bioethanol dari rumput. Melihat semua ini rasanya ingin saja aku mencalon kan diri dalam PILPRES mendatang. Ada yg mau mendukung aku? He he he he .......... Wassalam, Rudy Surbakti Medan ( Calon Presiden dari jalur INDEPENDEN di Republik Mimpi Siang Bolong ) --- In agromania@yahoogroups.com, Mugiono Mugiono <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Moderator dan rekan agromania Yth, > > Pada akhir-akhir ini bangsa kita telah disibukan dengan adanya bencana dimana-mana dan masalah pangan yang seakan menjadi topik yang tiada henti. Sawah ladang dihantam bencana, tidak panen, ada yang panen harganya jatuh. Harga gabah bahkan ada yang mencapai hanya Rp 1.600,00/kg kering panen. Kedelai hingga kini harganya terus merambat naik. Ironissnya harga beras dipasar internasional mencapai $708.00 (kompas hal. depan berita hari ini). Harga beras dipasar-pasar kota kabupaten diJawa juga telah turun. Petani disebagian tempat tidak berani menjual gabahnya, akan tetapi bagi mereka dihimpit oleh kebutuhan mendesak tiada pilihan lain kecuali menjual hasil panennya walaupun harganya rendah. Yang menyedihkan beberapa depo logistik (bulog) belum bertindak alias masih menunggu bola( kalau tidak mau dikatakan masih main mata dengan tengkulak). > > Keadaan yang demikian selalu terjadi dan akan terjadi terus. Tidakkah kita sebagai bangsa akan selalu egois, tidak berani bersatu atau tidak bisa bersatu dan membiarkan bangsa ini menjadi obyek pasar bangsa-bangsa lain dengan pujian : "Wah pasar Indonesia menjajikan atau potensial" Tidakkah kita perlu mulai menggalang kelompok-kelompok kecil dan dilink-kan untuk menjadi besar dan syukur bisa ddijadikan jaringan. Tidakkah kita ingat bahwa nenekmoyang kita mewariskan budaya musyawarah yang sekarang mulai didtinggalkan dengan rasa egoitis dan memilih banyak voting yang serasa menjadi sangat liberal dan menjadikan sebagaian dari kita menjadi anarkis. > Rekan Agromania yang tercinta, kata-kata tersebut diatas memang merupakan sebuah emosional saya sebagai bangsa, sebagai rakyat yang terkadang bingung dengan keadaan kita, keadaan Negara ini. Saya yang tidak kurang 10 tahun terakhir ikut blusukan(keluar-masuk) didesa- desa dikalangan petani atau masyarakat yang termaginalkan terkadang merasa heran ternyata banyak sebagian dari bangsa ini yang masih hanya memikirkan dirinya sendiri, termasuk para pemimpin dan kader partay yang katanya ingin memperjuangkan negara. Isu-isu semacam jatuhnya harga beras(gabah), melonjaknya harga kedelai masih ditangani secara seporadis dan masih menjadi komoditas politik belaka. Makin banyak isu dimasyarakat seakan menjadikan partay mempunyai ajang empuk untuk membuat aksi. Sangat reaktif dan tidak kreatif. > > Rekan Agromania, bila kita membuat kelompok-kelompok dengan sadar dan dengan yakin kita juga membangun sebuah budaya beragrobisniss yang membumi, kita akan menjadi bangsa yang Kertoraharjo hidup dinegeri yang Gemah Ripah Loh Jinawi. Sekarang kita lagi hidup kekurangan dinegeri yang subur loh jinawi, kurang bermartabat, sering dipermainkan oleh negeri-negeri kecil yang tidak punya sumber daya apapun. Kita ibarat gajah yang dimainkan oleh semut. Gajah yang bingun karena semut yang telah merubung kepalanya. > Harga beras internasional yang tinggi seharusnya membuat para pengambil keputusan kita langsung mengambil sikap yang strategis untuk mencari keuntungan ekonomis bagi bangsanya, bagi negaranya, bagi rakyatnya. Tapi apa yang terjadi dilapangan merka masih lirik- lirikan dengan para tengkulak untuk menjatuhkan rakyatnya(petani) supaya tetap mau menjual gabahnya, jagungnya dengan harga yang murah. > > Dimasa minyak/energi semakin mahal harganya, terjadi diversifikasi energi. Baik dengan bioethanol ataupun biosolar. Peluang besar didepan mata kita. Didepan bangsa kita. Tapi kenapa prktek-praktek penjajahan justru masih diterapkan. Petani suruh nanam komoditass tertentu yang hasilnya harus dijual kepada mereka. DIberitahu(ditakuti) hasil komoditas itu hnya bisa dibuat .... tidak bisa dimakan. Contohnya Singkong. Bibitnya diberi, tapi tidak gratis. Pupuk diberi tapi juga tidak gratis. Sama dengan IMF atau BANK DUNIA yang katanya membantu tapi tetap mengembalikan dengan bunga. Sekarang petani mau nanam jagung, padi, kedelai dan sekarang singkong harus tergantung dengan pabrik(perusahaan). Dalam satu periode tertentu tanaman itu disertai dengan jenis petisida tertentu, bila sudah ganti maka akan disertai jenis petisida yang baru pula. Apakah kita tidak merasa pertanian kita telah dijajah. Pasar kita sudah hancur, jenis komoditi(varietas) kita sudah didekte, tanah kita > sudah mati, lingkungan sudah rusak(terkontaminasi), sebentar lagi umur (harapan hidup)kita menjadi makin pendek, dan generasi kita akan menjadi semakin bodoh. > > Budaya kita katanya Adiluhung. Kita selalu mendapat pujian itu. Kita merasa bangga sekali. Tapi sadarkah kita bagaimana mempertahankan budaya yang adiluhung itu. Sadarkah kita bagaimana membangun budaya yang adiluhung itu. Mudah-mudahan dengan kita bisa membangun kelompok-kelompok kecil yang dengan sadar dilandasi kepentingan bangsa yang mendasar sesuai citra, karsa bangsa yang membumi kita bisa mulai di-perhitungkan. Saya dari kota kecil dibagian barat dari Jawa Timur sebelah utara sangat berharap melalui agromania kita bisa membangun jaringan bangsa yang ikut memecahkan permasalahan pangansehingga tidak banyak rakyat kelaparan atau tidak kuat lagi membeli sembako dinegeri yang subur ini. Mari kita bangun Pangan kita dengan ongkos produksi yang murah, kwalitas baik, kwantitas melimpah dan menjadi pemasok pangan dunia. Amin. Amin. Amin. > > mugi. > [Non-text portions of this message have been removed]