Refleksi : Selama neo-Mojopahit bertachta dan berkuasa, selama itu kehidupan 
akan selalu sulit bagi rakyat mayoritas dan listrik pun akan selalu padam 
berkedip-kedipan  seperti gendruwo main mata dengan kuntilanak. Dalam kegelapan 
banyak hal buruk bisa dilakukan dan oleh karena itu sering perlu listrik 
dipadamkan agar supaya tentara jahat, garong, bandit dan koruptor dengan 
berbagai tipu muslihat dimajarelakan, hehehehehehehehhe!


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=33290:kapan-listrik-tak-padam-&catid=78:umum&Itemid=131


      Kapan Listrik tak Padam?      
      Oleh : Mukhtaruddin Yakob

      Membicarakan persoalan listrik, seakan tak ada habisnya. 

      Sama dengan kebutuhan hidup manusia yang selalu harus dipenuhi. Listrik 
sudah menjadi "nyawa" bagi kelangsungan hidup manusia. Sayangnya, permasalahan 
listrik nyaris tak berujung seperti sebuah jagat tanpa batas. 

      Bayangkan, persoalan bang sa terutama masalah listrik tanpa ada solusi. 
Hampir tiap hari bahkan tiap jam ada saja soal kelistrikan mengemuka di negeri 
ini. Mulai soal pasokan yang masih kurang hingga masalah byar pet. Pemadaman 
bergilir menjadi modus mengatasi krisis listrik. Dengan alasan pemeliharaan dan 
beban puncak, maka pemadaman bergilir menjadi "solusi" terbaik PLN membagi 
pasokan listrik. 

      Persoalan listrik yang jadi beban PLN masih belum teratasi meskipun usia 
PLN sebaya dengan usia kemerdekaan kita. Bukan saja soal pemadaman bergilir 
atau kualitas pelayanan. Masalah pencatatan meteran listrik hingga bong kar 
pasang jaringan adalah bagian persoalan listrik di negeri kita. Belum tudingan 
mark up harga dasar komponen hingga tarif dasar listrik yang diklaim tidak 
mampu menutup biaya produksi. Subsidi pemerintah terhadap disparitas harga 
masih belum bisa menolong keberlangsungan PLN agar bisa bertahan di tengah 
krisis global. Syukur, jika bisa meraup laba seperti BUMN lainnya misalnya 
Telkom atau perbankan. 

      Boro-boro laba. PLN mengaku masih terus merugi hingga memasuki usianya 
yang hampir kepala tujuh. PT PLN (persero) kembali mencatat kerugian hingga Rp 
5,645 triliun untuk tahun 2007. Kerugian itu berarti melonjak hampir 200% 
dibandingkan kerugian PLN di tahun 2006 yang hanya Rp 1,927 triliun. Beban 
usaha PLN naik di tahun 2007 menjadi Rp 111,505 triliun, dibandingkan tahun 
2006 yang hanya Rp 105,228 triliun.? Biaya bahan bakar dan pelumas mencatat 
kenaikan paling besar menjadi Rp 65,559 triliun dari sebelumnya Rp 63,401 
triliun. PLN bahkan mencatat kerugian kurs yang cukup besar hingga Rp 857,908 
miliar di tahun 2007, dibandingkan laba kurs yang dicetak di tahun 2006 sebesar 
Rp 1,762 triliun. PLN juga kehilangan bunga atas utang pajak selisih penilaian 
kembali aktiva yang ditanggung pemerintah pada tahun 2007. Padahal tahun 2006 
PLN mendapatkan Rp 1,863 triliun dari pos ini. 

      Dalam laporan keuangan yang dipublikasikan Sabtu (24/5/2008), PLN 
menyatakan kenaikan pendapatan usaha 2007 menjadi Rp 114,042 triliun, 
dibandingkan tahun 2006 sebesar Rp 104,726 triliun.? Penjualan listrik mencatat 
kenaikan dari Rp 70,735 triliun menjadi Rp 76,286 triliun. PLN berhasil 
mencatat laba usaha di tahun 2007 sebesar Rp 2,536 triliun, dibandingkan rugi 
usaha di tahun 2006 sebesar Rp 501,614 miliar Pendapatan dari penjualan listrik 
tak mampu mendongkrak beban usaha PLN (detik.com).

      Selamatkan PLN 

      Berbagai upaya dilakukan untuk menyelamatkan uang negara. Pemerintah 
bersama DPR RI bahkan telah menerbitkan UU Ketenagalistrikan. UU yang baru 
disahkan DPR awal September 2009 silam ternyata masih banyak kelemahan. Bahkan, 
sejumlah pengamat menengarai UU ini bisa menjerumuskan PLN pada jurang 
pemborosan. Efisien justru berakibat pada inefisiensi. Pengamat kelistrikan 
dari Institute for Essential Service Fabby Tumiwa menyatakan, Undang-Undang 
Ketenagalistrikan yang baru disahkan DPR hanya membawa dampak buruk bagi PLN. 
"Arah UU ini menciptakan inefisiensi dan tidak mengarah ke kompetisi," jelas 
Febby dalam satu diskusi di Jakarta (Kompas.com, 12/9). 

      Fabby mengomentari pasal 10 ayat 1 dan 2 UU tersebut yang merupakan pasal 
karet karena memiliki pemaknaan yang kabur dengan adanya kata 'dapat 
terintegrasi' di dalamnya. Pasal ini merupakan turunan dari UU 22 tahun 2002 
yang sebelumnya juga dipermasalahkan. Fabby menambahkan bahwa UU tersebut masih 
tidak jelas karena ada pasal-pasal yang sangat ambigu. "Semangatnya yang 
diadopsi tapi pemaknaannya kabur dengan adanya kata 'dapat terintegrasi'," 
tegas Fabby.

      Menurut Fabby, dalam menyelesaikan masalah kelistrikan di tanah air ini 
bisa dilakukan dengan menaikkan subsidi tanpa menaikkan TDL atau menurunkan 
biaya produksi dengan subsidi energi untuk PLN. PLN memang menerima bantuan 
dana bantuan dari pemerintah. Sayangnya, dana tersebut tidak cukup untuk 
memenuhi biaya operasional dan investasi PLN. 

      "Masalah kelistrikan tidak bisa diselesaikan secara parsial, perlu ada 
reformasi dalam subsidi. Saya melihat UU ini, masih banyak kekurangan yang 
sangat fundamental, jadi SBY sebaiknya jangan mengesahkan," tegas Fabby.

      Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang belum bisa menikmati listrik 
meskipun sudah berganti generasi. Besaran subsidi yang selalu dikucurkan tiap 
tahun belum mampu mendistribusikan listrik ke seluruh Indonesia. 

      Nilai subsidi listrik pada 2009 Rp 54,55 triliun. Nilai ini memang turun 
dari Rp 60 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Pengurangi subsidi tidak akan 
menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL). "Kalau TDL naik nanti masyarakat akan 
teriak-teriak," kata Koordinator Panja Asumsi RAPBN 2009 Panitia Aggaran DPR 
Harry Azhar Azis di Jakarta. 

      Rincian subsidi 2009 sebesar Rp 55,24 triliun ditambah kekurangan subsidi 
2007 dan 2008 Rp 5,48 triliun kemudian dikurangi langkah penghematan 2009 Rp 
6,17 triliun.

      Menurut Harry, angka tersebut diasumsikan ada pertumbuhan penjualan 
listrik 7 persen dan DMO 30 persen batubara. Sehingga energy mix untuk pasokan 
listrik mengkonsumsi BBM 7,9 juta KL, biofuel 18 ribu KL, gas alam 325 ribu 
BBTU, batubara 23,5 juta ton, dan panas bumi 3,5 juta MWh.

      Kendati demikian, PLN tidak dapat menjamin tidak terjadi 'byar pet' 100 
persen, PLN hanya berjanji tahun 2009 pemadaman listrik dapat diminimalkan. 
"Bila proyek 10 ribu MW berhasil, tahun 2010 dan seterusnya, listrik nasional 
mampu merespon pertumbuhan kebutuhan listrik nasional," kata Harry lagi 
(Kompas.com, 18/09).

      Ironisnya, warga terpencil harus menguras dana untuk bisa membeli kabel 
dan tiang listrik hanya untuk menghidupkan lampu pijar. Jika tak punya dana, 
jangan harap arus listrik akan tersambung. Beralasan memang, karena PLN tak 
ingin membuang dana lebih besar untuk menyambung jaringan ke pelanggan jika 
hasil penjualan listrik tidak imbang dengan pengeluaran. Di sinilah dibutuhkan 
peran serta masyarakat dan para stakeholder di desa atau daerah untuk 
memecahkan persoalan ini agar program listrik masuk desa bukan sekadar jargon. 
Sehingga, subsidi benar-benar berdaya dan berhasil guna, bukan seperti saat ini 
orang kaya pun menikmati subsidi yang seharusnya hak simiskin.

      Pelanggan ekonomi tinggi turut menikmati listrik dengan harga subsidi 
yang seharusnya bisa dibagi untuk keluarga prasejahtera. Malahan energi murah 
di perkotaan bisa diperoleh semaunya asalnya sanggup membayar. Penyambungan 
berlangsung tanpa kontrol. Padahal, tanpa sambungan baru saja, beban PLN saat 
kebutuhan puncak sudah sekarat. Kampanye hemat listrik hanya jadi slogan yang 
belum efektif. Suatu ketimpangan yang selama ini menjadi persoalan kelistrikan 
di tanah air. 

      Persoalan lain adalah keluhan pelanggan yang jarang ditanggapi. Konsumen 
sering dirugikan terkait Program Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik atau P2TL. 
Bahkan? karena tidak jarang pihak PLN secara sepihak memposisikan konsumen 
sebagai pihak yang bersalah. Sehingga konsumen hanya dihadapkan kepada membayar 
denda atau instalasi listrik dibongkar.

      "Petugas PLN kurang profesional, dari 113 ribu yang terduga, ternyata 
yang terbukti bersalah hanya 31 ribu orang," kata Pengurus Harian Yayasan 
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dalam konferensi pers di Kantor 
YLKI, Jakarta (17/9).

      Ketua YLKI menilai proses penertiban tersebut dilakukan pada saat jam 
kerja, dimana kepala keluarga sedang tidak ada di rumah merugikan konsumen. 
Selain itu terkadang PLN menyertakan aparat dalam melakukan penertiban 
tersebut, sehingga menyebabkan kondisi yang tidak mengenakkan dari konsumen 
terhadap lingkungannya. "Seakan-akan konsumen dianggap sebagai pelaku kriminal, 
tentunya akan dapat mencemarkan nama baiknya di masyarakat. Seharusnya 
?dilibatkan saksi yang independen sebagai pendamping konsumen baik pada saat 
pengecekan, pembongkaran maupun pengujian di laboratorium. 

      YLKI berharap, agar PLN melakukan proses sosialisasi terlebih dahulu 
kepada masyarakat tentang penertiban ini. "Keterlibatan polri sebaiknya dikaji 
kembali, karena itu merupakan shock therapy bagi konsumen," tambahnya.

      Kendati misi bisnis bagian dari misi PLN. Sebagai BUMN misinya sebagai 
Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan (PKUK) sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 
165 tahun 1985 jangan sampai mengabaikan misi sosialnya. Bukankah, PLN membawa 
misi pelayanan yang tak boleh mengabaikan keadilan dan misi sosial 
(www.pln.co.id).

      Akibatnya, distribusi listrik tak merata dan jauh dari keadilan. Saat 
masyarakat yang memang sangat butuh listrik tak terlayani karena persediaan 
tersedot orang kaya dan bisnis semata. Apalagi, harga jual listrik kepada 
golongan atas jauh lebih untung daripada menggantungkan harapan pada golongan 
R1 atau kapasitas 450 VA. 

      Swastanisasi

      Melepas hak pengelolaan listrik kepada swasta memang bukan langkah 
bijaksana. Tapi setidaknya mencoba merangkul swasta untuk investasi perlu lebih 
serius. Selain harganya bisa bersaing, pasokan listrik akan bisa terjamin, 
karena beban ini tidak hanya tanggung jawab PLN. Melepas harga listrik kepada 
mekanisme pasar memang akan melahirkan berbagai spekulasi. Apalagi, misi swasta 
tak jauh dari upaya mencari untung, sehingga pelanggan kelas bawah tak akan 
terlayani. 

      Mungkin banyak yang tak sependapat melibatkan swasta. Apalagi, 
kekhawatiran terhadap misi bisnis murni yang akan dijalankan swasta pasti 
business oriented atau berorientasi bisnis. Tak perlu berkecil hati, PLN masih 
bisa berkontribusi melayani pelanggan ekonomi lemah yang menjadi tanggung jawab 
negara sepenuhnya. 

      Efisiensi dan swastanisasi listrik bukan barang harap. Memang akan timbul 
pro dan kontra terhadap langkah ini. Tapi pengalaman Bulog melepas menguasai 
barang kebutuhan pokok kepada mekanisme pasar ternyata bisa menyelamatkan masa 
depan BUMN ini yang sebelumnya sarat persoalan. Bulog yang kini hanya mengelola 
kebutuhan beras dalam negeri ternyata bisa berkiprah dan selamat dari 
kebangkrutan. Sehingga, Bulog bisa fokus pada satu persoalan yakni kebutuhan 
pokok warga negera. 

      Langkah lain yang bisa ditempuh adalah rayonisasi atau zona harga 
listrik. Kebijakan PLN menetapkan tarif listrik seragam di seluruh tanah air 
ternyata berdampak kurang baik. Seharusnya ada perbedaan harga listrik antara 
daerah yang terkena inflasi tinggi dengan daerah inflasi rendah. Sehingga 
masyarakat terbantu dengan tarif listrik yang lebih ringan dari daerah lain. 
Tak ada salahnya, jika penetapan tarif listrik diserahkan kepada pemerintah 
daerah seperti harga minyak tanah dan tarif angkutan darat.

      Memang penetapan tarif seragam untuk menghidupkan subsidi silang. Tapi, 
tak ada salahnya mengkaji berbagai langkah demi kelangsungan PLN yang sudah 
menjadi persero. Akhirnya PLN bukan saja BUMN yang harus melayani namun terus 
merugi karena berbagai langkah keliru selama ini. Ingat, bahwa pelayanan tidak 
mesti terus mengabaikan penghematan dan langkah bijaksana. ***

      Penulis adalah Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh 
     

<<printButton.png>>

<<emailButton.png>>

Kirim email ke