----- Original Message ----- 
From: Al Faqir Ilmi 
To: undisclosed recipients: 
Cc: partai-gol...@yahoogroups.com ; partai-golkar-subscr...@yahoogroups.com 
Sent: Wednesday, October 07, 2009 12:13 PM
Subject: [inti-net] Fw: [media-jakarta] HMP: NKRI TERANCAM BUBAR


  --- On Tue, 10/6/09, Hutomo For Golkar <> wrote:

From: Hutomo For Golkar <hutomoforgol...@yahoo.com>
Subject: [media-jakarta] HMP: NKRI TERANCAM BUBAR
To: 
Date: Tuesday, October 6, 2009, 10:03 AM

NKRI TERANCAM BUBAR, PERLU DISIKAPI SEGERA
Oleh: HUTOMO MANDALA PUTRA (*)
 
Perjalanan bangsa telah sepakat memilih sebagai negara demokrasi, namun dalam 
prakteknya, demokrasi menjadi ajang yang menyengsarakan rakyat. Demokrasi baru 
slogan semata. Sementara itu, bangsa menghadapi permasalahan serius, 
diantaranya: Kesemrawutan Sistem Ketatanegaraan, Ancaman disintegrasi negara, 
Rekolonialisasi Ekonomi, Kesenjangan pertukaran barang dan jasa, Kelemahan jiwa 
wirausaha dan krisis kepercayaan diri, Kelemahan kelembagaan politik, sosial, 
hukum, dan kerusakan moral sebagian elit bangsa, serta ketergantungan asing, 
Tidak tanggap dalam menyikapi globalisasi dengan segala aspeknya.
 
Globalisasi sudah terjadi sejak jaman Hindu masuk ke Indonesia, dimana 
Nusantara merupakan sekumpulan Kerajaan yang berdiri sendiri-sendiri. Lalu 
disusul masuknya para Wali yang sambil berdagang menyebarkan ajaran Islam,  
disusul dengan jaman kolonial dimana perusahaan dagang Belanda, yaitu VOC 
menguasai Nusantara dan mengontrol perdagangan rempah-rempah, kopi, teh, kelapa 
sawit, coklat, gula, dll komoditi yang ada di bumi Nusantara.  Makanya masih 
bisa kita lihat berbagai peninggalan jaman Belanda berupa perkebunan 
dimana-mana, yang sekarang menjadi BUMN yang disebut PTPN (PT Perkebunan 
Negara). 
 
Dengan keterpurukan Indonesia saat ini, serta persoalan yang multidimensi tanpa 
penyelesaian, banyak yang mengkhawatirkan thesis Huntington tentang perpecahan 
bisa terjadi di Indonesia. Saya percaya Indonesia dengan Pancasilanya memiliki 
kedewasaan berbangsa yang tinggi. Memorandum Helsinki merupakan salah satu 
bukti nyata bagaimana persoalan Aceh diselesaikan melalui suatu model 
kompromistis dalam kerangka globalisasi, namun kurang menguntungkan bagi 
keutuhan NKRI.
 
Nama Nanggroe berarti Negara. Maka NAD ”defacto” merdeka secara ekonomi namun 
secara politik tetap masih mengakui Republik Indonesia sebagai kedaulatan 
negara. Jelasnya semacam “franchise bendera Indonesia”. Sebuah bentuk baru 
nasionalisme di era milenium. Kalau kita cermati isi perjanjian Helsinki, 
provinsi NAD boleh memiliki bank sentral sendiri artinya boleh mencetak 
matauang sendiri, boleh melakukan perdagangan antar negara serta transaksi 
keuangan atau pinjaman (loan) dengan negara lain secara mandiri, boleh 
mendirikan partai lokal, berhak atas aset sebesar 70%, sementara 30% adalah hak 
pemerintah pusat (Republik Indonesia). Dari sisi globalisasi, kompromi ini bisa 
dilihat sebagai model yang paling efisien. Bagi hasil aset 30% untuk Pemerintah 
Pusat boleh dianggap sebagai biaya franchising bendera Indonesia, sehingga 
provinsi NAD tetap mengakui “merah putih” ketimbang harus mengeluarkan ongkos 
mendirikan keduataan besar atau konsulat di
setiap negara dan membangun militer sendiri yang biayanya tidak sedikit. Maka, 
30% adalah biaya pinjam bendera. Demikianlah dari kacamata globalisasi yang 
disandarkan pada ekonomi. 
 
Dialog saya dengan Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi, menyimpulkan bahwa kalau 
sampai terjadi perpecahan di Indonesia, maka biayanya amat besar. Anda ingat 
satu Bosnia yang pengungsinya hanya belasan ribu orang sudah menjadi beban 
dunia. Kalau Indonesia terpecah belah maka jutaan orang akan menjadi pengungsi 
dan akan menjadi beban dunia yang sangat berat. Ini tentu tidak diinginkan oleh 
warga dunia. Kita tahu bahwa suku-suku bangsa di Indonesia sudah tersebar 
diseluruh penjuru tanah air dengan identitas bangsa Indonesia tidak peduli 
dimanapun dia berada. Kalau sampai terjadi perpecahan, maka sukubangsa yang 
sudah menetap tidak daerah asalnya akan dikejar-kejar dan dibunuhi oleh suku 
asli seperti yang terjadi di Bosnia. Padahal sejak Sumpah Pemuda 1928 
dikumandangkan, suku-suku bangsa di Indonesia sudah banyak melakukan kawin 
campur antar suku tanpa ada sutu masalah karena mereka percaya dan meyakini 
diri mereka sebagai bangsa Indonesia. Bahkan juga kawin
antar agama, bukan hanya antar suku. Konsep Indonesia semacam itu indah sekali. 
Maka secara geo politik, tidak mungkin Indonesia dihancurkan atau dipecah-belah 
dengan dalih apapun karena dunia akan ikut menanggung akibatnya. 
 
Maka, solusi kompromistis seperti NAD akan memberikan inspirasi kepada 
daerah-daerah lain. Ini adalah tantangan untuk pemerintah pusat apaibila tetap 
tidak melakukan perubahan yang bisa mensejahterakan rakyat serta mengarahkan 
proses otonomi daerah yang secara konvergen dan konsisten menuju suatu bingkai 
baru ”Smart Indonesia Incorporated”.  
 
Sering dinyatakan bahwa Indonesia amat didikte oleh asing. Globalisasi memang 
yidak bisa lepas dari proses dikte-mendikte antar negara. Indonesia tidak 
terkecuali. Sesungguhnya semua negara saling ”mengintervensi”, Amerika sendiri 
saat ini kewalahan menghadapi Cina yang mampu menawarkan harga produk yang jauh 
lebih murah. Di kita sendiri, bukankah Outlet Factory disejumlah kota tak 
terkecuali di Bandung, saat ini justru didominasi produk dari Taiwan, RRC dan 
juga Thailand, sama sekali bukan produksi industri setempat. 
 
Soal ”dikte-mendikte” di tingkat global, itu tergantung kemauan kita sebagai 
bangsa. Lihat saja Cina yang boleh dibilang ”suka-suka”, ”maunya sendiri”. Kita 
ini yang tidak jelas maunya apa sebagai bangsa. Dalam hal kedaulatan negara 
terlebih dibidang ekonomi, tidak seharusnya Indonesia sampai  didikte seperti 
yang terjadi dewasa ini,  karena Indonesia kaya raya. Sumberdaya alam dan 
mineral kita yang berlimpah itu seharusnya dikelola dengan orientasi untuk 
kepentingan rakyat banyak. 
 
Jadi kalau dengan kekayaan alam yang melimpah serta rakyat yang demikian 
tangguh, tapi nyatanya  Indonesia masih didikte, itu berarti yang  salah kita 
sendiri. Hal ini tergantung dari kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang 
aset-aset yang dimiliki, seperti dikatakan oleh  Hernando de Soto. Kesadaran 
itulah yang bisa memulai proses transformatif untuk mengubah aset-aset itu 
menjadi modal produktif yang bisa menggerakkan lokomotif perekonomian.  
Disinilah pentingnya kesadaran publik, bahwa dalam diri kita sebagai bangsa  
ada yang salah. Dan mestinya setelah diketahui dimana letak kesalahan tersebut, 
tidak perlu ada resistensi dalam menyatukan segenap kekuatan untuk menata 
kembali, agar kita segera bangkit dari keterpurukan, untuk segera mengejar  
ketertinggalan yang sudah terlanjur terjadi.
 
Dengan pemahaman tersebut, maka yang perlu dijadikan prinsip atau landasan 
untuk memaknai nasionalisme baru Indonesia. Bukan lagi nasionalisme karena 
bangsa merasa senasib bekas dijajah Belanda, namun nasionalisme harus ditata 
ulang, dimaknai ulang, yakni apa manfaat keberadaan negara bagi nasib orang per 
orang secara nyata. Kata kuncinya adalah menjamin kesetaraan di bidang ekonomi, 
politik, sosial kultural, keamanan baik individu maupun kelompok tanpa pandang 
latar belakang primordialnya. Kesemuanya itu harus dibingkai oleh platform 
Indonesia Incorporated. Platform ini yang menjadi pengikat persatuan dan 
kesatuan nasional dalam arti baru yang relevan dengan jamannya, dan yang 
terpenting adalah bagaimana memanfaatkan peluang-peluang jaman baru untuk 
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. 
 
Demikianlah secuil dari rasa keprihatinan saya sebagai warga bangsa, yang 
mendorong saya untuk memutuskan terjun dalam politik melalui pencalonan Ketua 
Umum Partai Golkar dalam MUNAS mendatang. Partai Golkar saya bawa untuk 
mempelopori pembenahan Indonesia secara fundamental sehingga kokoh menghadapi 
badai globalisasi yang tidak bisa dielakkan. Semoga Tuhan meridhoi. Amiin.
 
(*) Calon Ketua Umum Partai Golkar pada Munas 4-8 Oktober 2009
 
 


Kirim email ke