Siapa yang akan rugi bila NKRI dibubarkan dan siapa yang beruntung apabila NKRI 
tidak dibubarkan??


  ----- Original Message ----- 
  From: Halim Akbar 
  To: nasional-l...@yahoogroups.com ; hk...@yahoogroups.com ; 
sastra-pembeba...@yahoogroups.com ; wahana-n...@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, October 07, 2009 12:34 PM
  Subject: Trs: [HKSIS] Fw: [media-jakarta] HMP: NKRI TERANCAM BUBAR


    Yang ingin membubarkan NKRI itu adalah ayahmu, yaitu eyang Harto. Masak 
anda ingin menyelamatkan NKRI. Bukankah anda sendiri seorang pembunuh hakim 
agung. Ini namanya maling teriak maling. Sekarang bukan jamannya orang-orang 
bisa ditipu, orang sudah pada tahu siapa anda dan bapak anda, eyang Harto 
koruptor terbesar di dunia.



        --- Pada Rab, 7/10/09, Al Faqir Ilmi <alfaqiri...@yahoo.com> menulis:


          Dari: Al Faqir Ilmi <alfaqiri...@yahoo.com>
          Judul: [HKSIS] Fw: [media-jakarta] HMP: NKRI TERANCAM BUBAR
          Kepada: 
          Tanggal: Rabu, 7 Oktober, 2009, 11:13 AM


            

                --- On Tue, 10/6/09, Hutomo For Golkar <hutomoforgolkar@ 
yahoo.com> wrote:

                  From: Hutomo For Golkar <hutomoforgolkar@ yahoo.com>
                  Subject: [media-jakarta] HMP: NKRI TERANCAM BUBAR
                  To: liemsioklan@ yahoo.com, mediac...@yahoogrou ps.com, 
media-b...@yahoogro ups.com, media-jakarta@ yahoogroups. com
                  Cc: alfaqirilmi@ yahoo.com, s_murs...@yahoo. com, 
fery_relasyah@ yahoo.com
                  Date: Tuesday, October 6, 2009, 10:03 AM

                    



                  NKRI TERANCAM BUBAR, PERLU DISIKAPI SEGERA

                  Oleh: HUTOMO MANDALA PUTRA (*)



                Perjalanan bangsa telah sepakat memilih sebagai negara 
demokrasi, namun dalam prakteknya, demokrasi menjadi ajang yang menyengsarakan 
rakyat. Demokrasi baru slogan semata. Sementara itu, bangsa menghadapi 
permasalahan serius, diantaranya: Kesemrawutan Sistem Ketatanegaraan, Ancaman 
disintegrasi negara, Rekolonialisasi Ekonomi, Kesenjangan pertukaran barang dan 
jasa, Kelemahan jiwa wirausaha dan krisis kepercayaan diri, Kelemahan 
kelembagaan politik, sosial, hukum, dan kerusakan moral sebagian elit bangsa, 
serta ketergantungan asing, Tidak tanggap dalam menyikapi globalisasi dengan 
segala aspeknya. 

                 

                Globalisasi sudah terjadi sejak jaman Hindu masuk ke Indonesia, 
dimana Nusantara merupakan sekumpulan Kerajaan yang berdiri sendiri-sendiri. 
Lalu disusul masuknya para Wali yang sambil berdagang menyebarkan ajaran Islam, 
 disusul dengan jaman kolonial dimana perusahaan dagang Belanda, yaitu VOC 
menguasai Nusantara dan mengontrol perdagangan rempah-rempah, kopi, teh, kelapa 
sawit, coklat, gula, dll komoditi yang ada di bumi Nusantara.  Makanya masih 
bisa kita lihat berbagai peninggalan jaman Belanda berupa perkebunan 
dimana-mana, yang sekarang menjadi BUMN yang disebut PTPN (PT Perkebunan 
Negara). 

                 

                Dengan keterpurukan Indonesia saat ini, serta persoalan yang 
multidimensi tanpa penyelesaian, banyak yang mengkhawatirkan thesis Huntington 
tentang perpecahan bisa terjadi di Indonesia. Saya percaya Indonesia dengan 
Pancasilanya memiliki kedewasaan berbangsa yang tinggi. Memorandum Helsinki 
merupakan salah satu bukti nyata bagaimana persoalan Aceh diselesaikan melalui 
suatu model kompromistis dalam kerangka globalisasi, namun kurang menguntungkan 
bagi keutuhan NKRI. 

                 

                Nama Nanggroe berarti Negara. Maka NAD ”defacto” merdeka secara 
ekonomi namun secara politik tetap masih mengakui Republik Indonesia sebagai 
kedaulatan negara. Jelasnya semacam “franchise bendera Indonesia”. Sebuah 
bentuk baru nasionalisme di era milenium. Kalau kita cermati isi perjanjian 
Helsinki, provinsi NAD boleh memiliki bank sentral sendiri artinya boleh 
mencetak matauang sendiri, boleh melakukan perdagangan antar negara serta 
transaksi keuangan atau pinjaman (loan) dengan negara lain secara mandiri, 
boleh mendirikan partai lokal, berhak atas aset sebesar 70%, sementara 30% 
adalah hak pemerintah pusat (Republik Indonesia). Dari sisi globalisasi, 
kompromi ini bisa dilihat sebagai model yang paling efisien. Bagi hasil aset 
30% untuk Pemerintah Pusat boleh dianggap sebagai biaya franchising bendera 
Indonesia, sehingga provinsi NAD tetap mengakui “merah putih” ketimbang harus 
mengeluarkan ongkos mendirikan keduataan besar atau konsulat di setiap negara 
dan membangun militer sendiri yang biayanya tidak sedikit. Maka, 30% adalah 
biaya pinjam bendera. Demikianlah dari kacamata globalisasi yang disandarkan 
pada ekonomi. 

                 

                Dialog saya dengan Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi, menyimpulkan 
bahwa kalau sampai terjadi perpecahan di Indonesia, maka biayanya amat besar. 
Anda ingat satu Bosnia yang pengungsinya hanya belasan ribu orang sudah menjadi 
beban dunia. Kalau Indonesia terpecah belah maka jutaan orang akan menjadi 
pengungsi dan akan menjadi beban dunia yang sangat berat. Ini tentu tidak 
diinginkan oleh warga dunia. Kita tahu bahwa suku-suku bangsa di Indonesia 
sudah tersebar diseluruh penjuru tanah air dengan identitas bangsa Indonesia 
tidak peduli dimanapun dia berada. Kalau sampai terjadi perpecahan, maka 
sukubangsa yang sudah menetap tidak daerah asalnya akan dikejar-kejar dan 
dibunuhi oleh suku asli seperti yang terjadi di Bosnia. Padahal sejak Sumpah 
Pemuda 1928 dikumandangkan, suku-suku bangsa di Indonesia sudah banyak 
melakukan kawin campur antar suku tanpa ada sutu masalah karena mereka percaya 
dan meyakini diri mereka sebagai bangsa Indonesia. Bahkan juga kawin antar 
agama, bukan hanya antar suku. Konsep Indonesia semacam itu indah sekali. Maka 
secara geo politik, tidak mungkin Indonesia dihancurkan atau dipecah-belah 
dengan dalih apapun karena dunia akan ikut menanggung akibatnya. 

                 

                Maka, solusi kompromistis seperti NAD akan memberikan inspirasi 
kepada daerah-daerah lain. Ini adalah tantangan untuk pemerintah pusat apaibila 
tetap tidak melakukan perubahan yang bisa mensejahterakan rakyat serta 
mengarahkan proses otonomi daerah yang secara konvergen dan konsisten menuju 
suatu bingkai baru ”Smart Indonesia Incorporated”.  

                 

                Sering dinyatakan bahwa Indonesia amat didikte oleh asing. 
Globalisasi memang yidak bisa lepas dari proses dikte-mendikte antar negara. 
Indonesia tidak terkecuali. Sesungguhnya semua negara saling ”mengintervensi”, 
Amerika sendiri saat ini kewalahan menghadapi Cina yang mampu menawarkan harga 
produk yang jauh lebih murah. Di kita sendiri, bukankah Outlet Factory 
disejumlah kota tak terkecuali di Bandung, saat ini justru didominasi produk 
dari Taiwan, RRC dan juga Thailand, sama sekali bukan produksi industri 
setempat. 

                 

                Soal ”dikte-mendikte” di tingkat global, itu tergantung kemauan 
kita sebagai bangsa. Lihat saja Cina yang boleh dibilang ”suka-suka”, ”maunya 
sendiri”. Kita ini yang tidak jelas maunya apa sebagai bangsa. Dalam hal 
kedaulatan negara terlebih dibidang ekonomi, tidak seharusnya Indonesia sampai  
didikte seperti yang terjadi dewasa ini,  karena Indonesia kaya raya. 
Sumberdaya alam dan mineral kita yang berlimpah itu seharusnya dikelola dengan 
orientasi untuk kepentingan rakyat banyak. 

                 

                Jadi kalau dengan kekayaan alam yang melimpah serta rakyat yang 
demikian tangguh, tapi nyatanya  Indonesia masih didikte, itu berarti yang  
salah kita sendiri. Hal ini tergantung dari kesadaran masyarakat dan pemerintah 
tentang aset-aset yang dimiliki, seperti dikatakan oleh  Hernando de Soto. 
Kesadaran itulah yang bisa memulai proses transformatif untuk mengubah 
aset-aset itu menjadi modal produktif yang bisa menggerakkan lokomotif 
perekonomian.  Disinilah pentingnya kesadaran publik, bahwa dalam diri kita 
sebagai bangsa  ada yang salah. Dan mestinya setelah diketahui dimana letak 
kesalahan tersebut, tidak perlu ada resistensi dalam menyatukan segenap 
kekuatan untuk menata kembali, agar kita segera bangkit dari keterpurukan, 
untuk segera mengejar  ketertinggalan yang sudah terlanjur terjadi. 

                 

                Dengan pemahaman tersebut, maka yang perlu dijadikan prinsip 
atau landasan untuk memaknai nasionalisme baru Indonesia. Bukan lagi 
nasionalisme karena bangsa merasa senasib bekas dijajah Belanda, namun 
nasionalisme harus ditata ulang, dimaknai ulang, yakni apa manfaat keberadaan 
negara bagi nasib orang per orang secara nyata. Kata kuncinya adalah menjamin 
kesetaraan di bidang ekonomi, politik, sosial kultural, keamanan baik individu 
maupun kelompok tanpa pandang latar belakang primordialnya. Kesemuanya itu 
harus dibingkai oleh platform Indonesia Incorporated. Platform ini yang menjadi 
pengikat persatuan dan kesatuan nasional dalam arti baru yang relevan dengan 
jamannya, dan yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan peluang-peluang 
jaman baru untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. 

                 

                Demikianlah secuil dari rasa keprihatinan saya sebagai warga 
bangsa, yang mendorong saya untuk memutuskan terjun dalam politik melalui 
pencalonan Ketua Umum Partai Golkar dalam MUNAS mendatang. Partai Golkar saya 
bawa untuk mempelopori pembenahan Indonesia secara fundamental sehingga kokoh 
menghadapi badai globalisasi yang tidak bisa dielakkan. Semoga Tuhan meridhoi. 
Amiin. 

                 

                (*) Calon Ketua Umum Partai Golkar pada Munas 4-8 Oktober 2009 

                 

                 



               

       




------------------------------------------------------------------------------
  Yahoo! Mail Kini Lebih Cepat dan Lebih Bersih. Rasakan bedanya sekarang!

  

Kirim email ke