Petualangan Robert Tantular sudah cukup lama, dan herannya, dalam
setiap kasus, 'peran' BI, sedikit/banyak atau positif/negatif kok
selalu ada. Berikut artikel tahun 2002 di Majalah Berita Mingguan
Tempo :

http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2002/08/26/EB/mbm.20020826.EB80057.id.html

Alarm Nyaring dari Sentral Senayan
Pemeriksaan Bank Indonesia menemukan banyak penyelewengan di Bank CIC,
termasuk dana triliunan rupiah dari fasilitas kredit pemerintah
Amerika. Kas negara segera jebol lagi?
TELEPON di redaksi berdering Kamis malam pekan lalu. Peneleponnya
seorang wanita yang bersuara halus. Ia mengimbau TEMPO supaya menulis
kasus Bank CIC Internasional "tidak berdasarkan rumor tak jelas, tapi
menurut fakta." Wanita itu pun bersedia mempertemukan TEMPO dengan
Robert Tantular, bekas pemilik CIC yang dinyatakan tak lulus uji
kelayakan pada 1999 lampau, yang dia lukiskan sebagai orang lugu yang
tak paham cara menangani pers. Si empunya suara mengenalkan diri:
Susaningtyas Kertapati, anggota parlemen dari PDI Perjuangan yang
konon punya hubungan dekat dengan Presiden Megawati. Wow, ada apa
gerangan sampai anggota dewan yang terhormat jadi begitu repot
mengangkat telepon? Nuning, begitu Susaningtyas disapa, tak membidangi
urusan keuangan dan perbankan. Di Senayan ia kini duduk di komisi
pertahanan dan luar negeri. Robert, yang lahir dan tinggal di Jakarta,
kecuali tiap akhir pekan terbang ke Singapura, rasanya pun bukan
konstituennya. Daerah pemilihan Nuning adalah Blora, di Jawa Tengah
sana. "Saya cuma ingin membantu teman lama," katanya menjelaskan.
Lebih dari urusan pertemanan, wakil rakyat seperti Nuning memang sudah
sepatutnya menaruh perhatian terhadap permasalahan yang tengah melilit
CIC, bank devisa yang memiliki aset Rp 9,7 triliun dengan 38 kantor
pemasaran. Tapi mestinya, ketimbang memikirkan pemiliknya, yang lebih
penting diperhatikan adalah nasib 1.000 karyawannya, nasabah, dan juga
keutuhan kas negara. Bukan apa-apa. Soalnya, dering alarm telah
nyaring terdengar dari Gedung Sentral Senayan, Jakarta, kantor pusat
CIC. Menurut dokumen autentik Bank Indonesia (BI) tertanggal 22 Juli
2002, yang salinannya bisa diperoleh mingguan ini, pemeriksaan yang
digelar intensif pada 16 Juli-30 November tahun lalu ternyata
menemukan lubang besar di brankas CIC. "Manajemen bank telah melakukan
pemberian kredit dalam jumlah besar yang melanggar prinsip
kehati-hatian. Beberapa pelanggaran di antaranya memiliki unsur tindak
pidana," begitu tim audit BI menyimpulkan. Rasio kecukupan modal
(CAR)-nya dinilai jeblok hingga minus 83,06 persen dan ada kekurangan
modal senilai Rp 2,67 triliun. Pelanggaran batas maksimum pemberian
kredit (BMPK)-nya pun membelalakkan: 852,18 persen ke 15 debitor tak
terafiliasi dan 639,44 persen kepada 5 debitor grup. Sudah begitu,
manajemen bank dinyatakan telah berupaya mengelabui tim pemeriksa
dengan memberikan dokumen yang tak benar. Tak pelak, mulai Maret
hingga September ini CIC dijebloskan dalam daftar bank berstatus
pengawasan khusus. Lebih celaka lagi, menurut sumber TEMPO, sebenarnya
telah tiga kali CIC terperosok dalam kategori gawat itu. Yang pertama
pada 1999 dan yang kedua pada Januari-Juni tahun lalu. Cuma, anehnya,
tak sekecap pun pengumuman dilansir ke muka publik sebagaimana
seharusnya. Baru Selasa pekan lalu, status CIC—bersama Bank
IFI—dipampangkan di situs BI, sehari setelah TEMPO mengirim surat
mempertanyakan kejanggalannya kepada Deputi Gubernur BI Aulia Pohan,
pejabat yang paling bertanggung jawab dalam urusan ini. Menurut rilis
BI, brankas CIC kini mulai berkilat lagi. Meski belum mencapai ambang
sehat 8 persen, CAR-nya sudah positif 5,29 persen. Untuk menambal
modal, CIC dijelaskan telah menyuntik Rp 270 miliar ditambah US$ 35
juta. Pun telah menyelesaikan kredit dan tagihan lainnya senilai Rp
1,087 triliun. Lantas apa yang terjadi dengan CAR tahun lalu yang
mencapai minus 80 persen lebih? Data sahih ini dibantah Deputi
Direktur Pengawasan BI Sabar Anton Tarihoran. "Jangan termakan isu,"
katanya. Menurut dia, kondisi CIC baik-baik saja, juga tak ditemukan
adanya pelanggaran BMPK. Kalaupun ada, cuma sebatas pelampauan dan itu
pun kepada pihak tak terafiliasi. "Jauh-jauh hari kami sudah memaksa
Robert Tantular tidak lagi campur tangan," ia menambahkan. Jadi beres,
toh? Tunggu dulu. Menurut sumber tepercaya di BI, angka resmi itu jadi
lumayan karena telah "dipoles" di sana-sini. Berdasarkan kalkulasi
pemeriksa, CAR CIC sejatinya masih negatif berat, meski tak lagi
separah tahun lalu. "Borok ini terus ditutupi. Kita sedang mengulangi
kesalahan masa lalu," sumber itu meluapkan kekesalannya. Luapan
kejengkelan itu bukan tanpa alasan. Pemeriksaan BI telah nyata-nyata
menemukan segunung pelanggaran (lihat Deretan Lampu Merah). Yang
paling mencolok adalah ketidakberesan sejumlah pemberian kredit luar
negeri yang berkaitan dengan program fasilitas kredit dari Departemen
Pertanian Amerika Serikat (USDA). Salah satunya menyangkut Public Law
(PL) 416. Ini adalah program bantuan USDA kepada pemerintah Indonesia
dalam bentuk hibah senilai US$ 24 juta atau sekitar Rp 200 miliar.
Dimulai sejak September 1999, donasi ini sementara disimpan di Chase
Manhattan Bank, New York, dan baru akan dicairkan pada 31 Desember
tahun ini. Dana ini lalu dipakai buat membeli kedelai untuk diekspor
ke Indonesia. Chase ditunjuk sebagai bank penjamin surat kredit
(letter of credit atau LC) importir. Jangka waktu pelunasannya 3
tahun. Kalau importir gagal bayar, Chase akan membayar klaim yang
diajukan bank lokal yang ditunjuk—dalam hal ini CIC—sebesar maksimal
72 persen dari nilai LC. Singkat kata, impor pun berlangsung. Yang
mendapat durian runtuh ini adalah tiga koperasi: Induk Koperasi Unit
Desa pimpinan Nurdin Halid, Induk Koperasi Tahu Tempe Indonesia, dan
Induk Koperasi Kesejahteraan Umat Dewan Masjid Indonesia.
Masing-masing beroleh US$ 8 juta. Yang bertindak sebagai eksportir
adalah PT Paramitra Langgeng Sejahtera Cabang Singapura, perusahaan
milik sobat Robert Tantular. Tapi terjadilah sengketa, pembayaran lalu
macet, dan CIC melayangkan klaim. Bau tak sedap mulai meruyak. Chase
emoh menomboki karena menemukan banyak kejanggalan. Transaksi itu
ternyata bukan impor, melainkan jual-beli dalam negeri dengan
Paramitra di Indonesia. Ditelusuri perwakilan BI di Singapura, kantor
cabang Paramitra di Negeri Singa bahkan tak pernah ada. Pemeriksa BI
berkesimpulan soal ini tak lepas dari "adanya rencana penyelewengan
terhadap fasilitas PL-416." Negara juga bisa rugi jika hibah menguap
ditelan klaim. Sayang, pihak kedutaan Amerika bersikap tertutup.
Melalui surat elektronik, Atase Pertanian Chris Rittgers cuma minta
majalah ini mengeklik situs mereka, dan tak merespons pertanyaan yang
berkaitan dengan inti kasus. "Soalnya, ini sangat sensitif," kata
seorang pejabat di sana. Selain itu rupanya masih ada persoalan yang
lebih besar. Kali ini menyangkut program lain USDA yang dinamai
General Sales Marketing (GSM) 102: fasilitas jaminan kredit yang
diberikan Commodity Credit Corporation (CCC), badan di bawah USDA,
untuk mendorong ekspor komoditi pertanian dan peternakan negeri
mereka. Dengan fasilitas ini, tenggang waktu pelunasan kredit
diberikan selama 3 tahun dan dicicil tiap enam bulan. Ada 14 bank
lokal yang direkomendasikan BI layak mengikutinya. Salah satunya CIC.
Tapi pemerintah tetap menanggung risiko. Keikutsertaan bank lokal
dijamin penuh. Kalau terjadi gagal bayar, kas negaralah yang mesti
menalanginya ke CCC. Yang menarik, sejak 1999 sampai 2001, sekitar US$
840 juta atau 80 persen alokasi dana yang dihimpun melalui fasilitas
ini jatuh ke CIC. Ini jelas rezeki nomplok. CIC, yang sudah sekarat
dihajar krisis, mendadak segar bugar. Dokumen BI menjelaskan sumber
pendanaan CIC sebagian besar (60,9 persen) berasal dari dana
pembayaran LC GSM. Tapi ternyata itulah yang akan membuat jantung
rakyat Indonesia berdegup kencang. Audit BI menemukan, dana itu
diputar secara amat agresif ke berbagai investasi jangka panjang, yang
dilakukan bukan hanya secara tak pruden, tapi juga sarat kejanggalan.
"Dalam jangka pendek, bank masih punya likuiditas yang baik. Namun,
dalam jangka menengah seiring dengan banyaknya LC yang akan jatuh
tempo, diperkirakan bank akan mengalami kesulitan likuiditas. Bank
belum dapat mengantisipasi kemungkinan terjadinya mismatch kewajiban
pembayaran LC GSM," begitu analisis pemeriksa BI. Sebagian besar dana
pembayaran LC GSM, misalnya, dipakai untuk membeli surat berharga
jenis Credit Link Note Republic of Indonesia (CLN-ROI) senilai US$ 225
juta yang berjangka 3-5 tahun dan berisiko tinggi: tak likuid dan
nilai jualnya sangat rendah, sekitar 50 persen saja dari harga
nominal. Lebih celaka lagi, US$ 50 juta di antaranya ternyata fiktif.
Yang menarik, surat berharga itu dibeli melalui Chinkara Capital,
perusahaan investasi yang didirikan di Kepulauan Bahama pada 1999,
persis di tahun ketika CIC mulai digerojoki dana GSM. Chinkara
memiliki cabang di Singapura. BI menengarai perusahaan ini tak lain
adalah kuda troya Robert untuk tetap mengontrol banknya. Direktur
Utama Chinkara, Ravat Ali Rizvi, juga duduk sebagai Komisaris Utama
CIC. Masih ada fakta lain: penyaluran kredit, yang lalu macet, ke
berbagai perusahaan kopong (paper company) yang diduga bikinan Robert.
PT Paramitra Langgeng Sentosa, misalnya, mendapat fasilitas GSM
senilai Rp 169 miliar dan kredit lainnya Rp 376,5 juta. "Ditemukan
indikasi kuat bahwa Saudara Robert Tantular memanfaatkan Paramitra
untuk memperoleh kredit dari bank," begitu kesimpulan yang ditarik
auditor BI. Selain itu, setidaknya ada empat perusahaan papan nama
lain yang menjadi bagian akal-akalan serupa. Penelusuran lapangan
TEMPO membuktikannya. Salah satunya PT Primasari Niaga, yang menyedot
kredit macet Rp 112,6 miliar. Kantornya cuma sebuah rumah-toko bekas
kantor CIC yang kini kosong melompong di Klender, Jakarta Timur. Nama
pemiliknya di akta, setelah ditelusuri, ternyata cuma seorang wanita
penjual kue dan staf administrasi PT Century Mega Investindo milik
Robert Tantular. Yang lain, PT Upaya Makmur Sentosa (penerima kredit
Rp 94 miliar), malah "berkantor" di sebuah rumah petak di Pulo Asem,
Jakarta Timur. Adil Mansur, si empunya rumah sekaligus bekas
"direktur" perusahaan ini, mengakui perusahaan tersebut "tak memiliki
aktivitas." Rumahnya pun dipinjam alamatnya doang oleh Hartawan Alwi,
bosnya yang juga famili Robert. "Karena dia baik sama saya, ya,
aktanya saya teken aja," ia berkisah. Begitu pula dengan PT Ira
Gerbang Usaha. Terlacak di Jalan Sutan Iskandar Muda, Jakata Selatan,
kantornya adalah sebuah ruangan 2 x 6 meter persegi di lantai dua
sebuah toko ban mobil. Dan kata seorang saksi di situ, "PT Ira tidak
memiliki karyawan." Penunggunya saja cuma datang tiga kali sebulan.
Kantor PT Buana Nusa Jaya Sakti lebih "dahsyat" lagi: sebuah bangunan
kusam di sebuah gang sempit di kawasan Kalibaru, Jakarta Pusat.
Jelaslah, meski telah diharamkan cawe-cawe lagi di CIC, Robert rupanya
masih kencang bergerilya. Diungkapkan dalam pemeriksaan BI, "Terdapat
indikasi pemanfaatan bank untuk kepentingan pribadi/keluarga pengurus
dan pihak terkait. Terdapat indikasi kuat bank dikendalikan oleh
pemilik atau mantan pemilik, yaitu Chinkara Capital dan Robert
Tantular." Setumpuk berkas yang diperoleh TEMPO pun membuktikannya. Di
banyak dokumen transaksi tertera memo dari direksi minta persetujuan
Robert. Pun ada di situ tulisan tangan Robert berisi perintahnya,
lengkap dibubuhi paraf. Salah satunya juga bisa dilihat pada surat
elektronik dari seorang pejabat Rabobank Singapura tertanggal 26
September 2000—setelah Robert dinyatakan tak lulus fit and proper
test—yang bahkan langsung ditujukan ke Robert dan direksi CIC ihwal
penerbitan LC senilai US$ 4,67 juta untuk keperluan jual-beli katoda
tembaga. Yang lebih mengkhawatirkan seorang pengamat ekonomi, borok
ini bisa merembet ke dua bank lain, Danpac dan Pikko, yang juga diduga
telah dibeli Robert. Soalnya, Chinkara juga tercatat sebagai pemegang
saham kedua bank yang sebelumnya dinilai lumayan sehat ini. "Jangan
sampai penguasaan aset oleh perusahaan asing ini hanya dijadikan alat
untuk menguasai dana pihak ketiga," katanya. Ia lalu mendesak BI
supaya segera menindaklanjuti pemeriksaan itu, "Untuk menjamin
kepentingan nasabah tak cuma di Bank CIC, tapi juga di Pikko dan
Danpac." Syukurlah, aparat sudah mulai bergerak. Penasihat Hukum
Eksekutif BI, Oey Hoey Tiong, menyatakan, "Jika dari pemeriksaan telah
ditemukan pelanggaran, itu tak berarti menghilangkan unsur pidananya.
Itu jelas tergolong penggelapan." Karena itulah, kata Oey lagi, bank
sentral segera melimpahkannya ke kejaksaan. Hal senada dinyatakan
Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jakarta, Muhamad Nursaid,
"Itulah kenapa dilakukan penelitian." Sudah satu bulan ini jaksa
menggelar penyelidikan. Sejumlah orang telah dimintai keterangan,
termasuk Robert. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Darmin Nasution
juga menyatakan telah mendengar ihwal dugaan penyelewengan itu. "Saya
akan segera meminta penjelasan dari BI," katanya. Toh, pihak-pihak
yang kena tuding menyuarakan sanggahan. Anton Tarihoran membantah
sinyalemen ada pejabat BI yang bermain mata. "Sejauh yang saya tahu,
tidak mungkin Aulia Pohan mau main-main begitu," ujarnya. Robert
sendiri membantah suara miring ke arahnya. "Enggak ada urusan. Saya
sudah tidak di CIC lagi," katanya kepada TEMPO. Begitu pula dengan
direksi CIC. Menurut Hamidi, direktur operasional, rasio kecukupan
modal banknya kini bahkan telah bertengger di angka 13,4. Pembayaran
cicilan GSM-102 pun lancar-lancar saja (lihat Robert Tantular: "Itu
Urusan Direksi"). Adapun Ravat Ali Rizvi selalu menghindar jika akan
diwawancarai. Berkali-kali dikontak, warga negara Inggris keturunan
India ini cuma bilang "lagi rapat" atau "sedang sibuk" sebelum
mematikan telepon. Di luar saling bantah itu, buat analis perbankan
Lin Che Wei, kisruh ini membuktikan satu hal: BI kembali terbukti
gagal menjalankan fungsi pengawasannya. "Melihat pemeriksaan CIC telah
dilakukan tahun lalu, sangatlah mengejutkan BI tak mengambil langkah
lebih awal." Padahal, katanya lagi, rumusnya sudah jelas: menunggu
sampai bank benar-benar ambruk sebelum mengambil tindakan cuma akan
menghasilkan beban yang lebih besar ke pundak masyarakat banyak.
Karaniya Dharmasaputra, Rommy Fibri, E. Karel Dewanto, Suseno


On 12/10/09, Bandar Bola <bandarr.b...@gmail.com> wrote:
> Betul Mbah, ada dua issue besar yang Mbah katakan, ditambah dua issue lain:
> 1. Proses pengambilan keputusan KSSK yang diketuai Bu Sri Mulyani
> 2. Proses pengambil-alihan management Bank Century post-bailout
> 3. Aliran dana dari deposan besar / afiliasi pemilik lama
> 4. Diskriminasi BI terhadap Bank Century, yang seharusnya sudah ditutup dari
> dulu-dulu
>
>


------------------------------------

+ +
+ + + + +
Mohon saat meREPLY posting, text dari posting lama dihapus 
kecuali diperlukan agar CONTEXTnya jelas.
+ + + + +
+ +Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/obrolan-bandar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/obrolan-bandar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    obrolan-bandar-dig...@yahoogroups.com 
    obrolan-bandar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    obrolan-bandar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke