Harga jagung dunia melonjak. Hasil penelitian di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa produksi etanol berbahan dasar jagung lebih ekonomis dibandingkan etanol berbahan dasar gula membuat jagung dicari orang. Lonjakan harga tersebut terlihat jelas. Pada Agustus 2006 harga jagung tercatat 135 dollar AS per ton. Pertengahan Januari 2007 naik menjadi 230 dollar AS per ton. Mereka yang bisa memanfaatkan peluang itu pun mencari lahan untuk menanamkan investasi.
Agustus 2006 lalu sebuah nota kesepahaman antara Pemerintah Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) dan PDC International PTE LTD, sebuah perusahaan asal Singapura, ditandatangani. Kedua belah pihak sepakat mengadakan kerja sama pengembangan usaha dan sistem agrobisnis tanaman jagung di Tobasa. Lahan yang diserahkan kepada PDC adalah lahan tidur milik petani. Sesuai perjanjian, lahan yang akan diserahkan minimal seluas 40.000 hektar. Lahan itu adalah 5.000 hektar di Kecamatan Ajibata, 7.000 hektar di Kecamatan Borbor, 19.000 hektar di Kecamatan Habinsaran, 2.000 hektar di Kecamatan Balige, dan 10.000 hektar di Kecamatan Pintu Pohan Maranti. Pengelolaan tanah dan pemasaran sepenuhnya menjadi wewenang PDC, sementara petani pemilik tanah akan mendapat bagi hasil 2 persen dari hasil tanaman. Pada tahap awal lahan yang diserahkan petani seluas 5.000 hektar. Awal Januari ini petani lewat Pemkab Tobasa sudah menyerahkan lebih dari 3.000 hektar. Dua hektar lahan di Desa Pardamean Sibisa, Kecamatan Ajibata, berbatasan dengan Kabupaten Simalungun merupakan lahan uji coba penanaman jagung oleh PDC. Lahan itu digunakan sebagai laboratorium pengembangan bibit jagung. Lahan dibagi dalam petak-petak kecil. Per 27 Desember lalu berbagai jenis bibit jagung hibrida seperti pioneer, bisi 7, bisi 9, dan jagung komposit ditanam di area itu. Benih dari China juga ditanam di sana. Proyek percontohan tersebut akan melihat tanaman jagung mana yang cocok dibudidayakan di kawasan Tobasa. Sebelumnya, proyek ini juga telah mengimpor jagung jenis ZW 802 asal China produksi Jilin Futian Seed Company, China, untuk dijadikan bibit. Namun, administrasi impor jagung kurang beres. Akibatnya, bibit jagung sempat tertahan di Bandara Soekarno-Hatta. "Sesuai ketentuan, kami tetap akan menanam bibit legal. Jika ada impor, prosesnya pun tetap sesuai prosedur," kata Kepala Dinas Pertanian Sumatera Utara Bintara Thahir. Ia tidak ingin ada kesan memperlambat impor dengan alasan prosedur belum benar. "Kami bertanggung jawab mengawasi bibit-bibit apa yang akan ditanam," katanya. Tokoh masyarakat Tobasa, Raja Monang Naipospos, mengatakan, sebenarnya mudah jika ingin memproduksi jagung secara besar-besaran. Yang dibutuhkan petani hanyalah stabilitas harga. "Asal harga stabil dan menguntungkan, petani akan beramai-ramai menanam," katanya. Hal ini pernah terjadi pada komoditas jahe di Tobasa. Komoditas jahe pernah mencapai puncak produksi pada tahun 1993-1995. Satu hektar tanaman jahe dengan biaya produksi Rp 12 juta mampu memberikan hasil Rp 25 juta. Namun, sekarang harga pupuk, bibit, dan tenaga kerja naik, sementara harga jahe di pasar tetap. Hasilnya memang tetap Rp 25 juta, tetapi biaya produksinya sudah hampir atau malah lebih dari Rp 25 juta. "Dengan harga yang pasti, tidak perlu bank, tidak perlu promosi, tidak perlu gerakan tertentu, petani pasti akan beramai-ramai menanam komoditas itu," kata Monang. Petani, lanjut Monang, juga mempunyai jalur komunikasi antar sesama petani. Mereka sebenarnya bisa bergerak tanpa campur tangan pemerintah. Untuk urusan modal, para petani juga tidak akan kesulitan jika harga produk bisa dijaga. Bank holong (pinjaman dari keluarga atau saudara) pasti bisa didapat. Dengan demikian, tugas pemerintah sebenarnya hanya menjaga pasar untuk membuat petani bergairah. Apalagi, ribuan hektar lahan eks tanaman jahe juga potensial ditanami jagung. Ketua Masyarakat Agribisnis Jagung Adhi Widhiharto menyatakan mendukung pembukaan area tersebut. Namun ia tidak terlalu optimistis lahan 40.000 hektar akan mudah ditanami. Di Tobasa, selama tahun 2004-2006, tanaman jagung dikembangkan di lahan seluas 2.500 hektar. Luas panen berkisar antara 2.400 hektar hingga 2.800 hektar. Produktivitas lahan mencapai 4,5 ton per hektar. Total produksi rata-rata 12.000 ton setiap tahun. Untuk seluruh Sumatera Utara, jagung baru diproduksi di lahan seluas 218.000 hektar. Potensi yang belum digarap masih seluas 500.000 hektar. Produksi jagung pada tahun 2006 berjumlah 690.978 ton, turun jika dibandingkan dengan produksi tahun 2005 yang mencapai 735.456 ton. Kurang mendidik Kepala Desa Pardamean Sibisa Mangumban Sirait mengatakan, masyarakat menunggu realisasi pekerjaan itu. Mereka telah sepakat mendapatkan bagi hasil 2 persen. "Kami tidak mengerjakan apa-apa, tetapi mendapat untung," kata Sirait. Akan tetapi, sistem bagi hasil itu dikritik keras oleh guru besar Fakultas Pertanian Sumatera Utara Prof Dr Ir Kelin Tarigan, MS. Menurut dia, sistem bagi hasil itu sama sekali tidak mendidik. Sebab, petani tidak dilibatkan dalam produksi. Ini juga membuat petani menjadi malas. "Bagaimana kita bisa meningkatkan kemampuan SDM petani?" kata Tarigan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kalau petani tidak diajak berkembang bersama, apa yang sebenarnya mau dibangun dari pola seperti itu? "Petani harus dilibatkan dalam mengolah tanah dan mendapatkan ilmu baru," kata Tarigan. Sumber: Kompas