Kebutuhan kapas sebagai bahan baku tekstil saat ini masih dipenuhi dengan produk impor. Padahal sebenarnya tanaman kapas yang tumbuh di Indonesia dapat dikembangkan untuk menggantikan sebagian produk impor itu.
Pengembangan tanaman kapas di Indonesia sudah lama dilakukan untuk mengimbangi kebutuhan bahan baku tekstil yang memang cukup tinggi di Indonesia. Kendati demikian, produksi kapas Indonesia di tingkat petani sampai saat ini masih sangat rendah. Banyak kendala yang menyebabkan rendahnya produksi tersebut, salah satunya adalah penyakit tanaman. Beberapa penyakit kapas yang umum ditemukan di areal pertanaman kapas adalah penyakit rebah kecambah, busuk arang, busuk bakteri, dan penyakit lain-lainnya. Pengembangan kapas dilakukan melalui program intensifikasi kapas rakyat (IKR) yang dimulai tahun 1979. Mengingat rendahnya mutu benih yang ada, maka pada tahun itu juga telah diimpor benih kapas dari luar negeri untuk ditanam di Indonesia, yaitu Tak-Fa1 (Thailand), Deltapine 16, TAMCOT SP-37, South Carolina 1, Deltapine 55, Deltapine 61 (Amerika Serikat), LRA 5166 (India), dan ISA 205A (Prancis). Varietas-varietas yang berasal dari Amerika Serikat memiliki ciri-ciri berdaun halus tidak berbulu untuk mengurangi serangan hama Helicoverpa armigera (Hubner). Kendati sudah ada benih impor, Pemerintah Indonesia terus mengembangkan tanaman kapas sendiri. Saat ini Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (Balittas) telah menghasilkan delapan varietas kapas, dua di antaranya adalah hasil seleksi individu pada populasi varietas lama, satu varietas hasil introduksi dari India, lima varietas merupakan hasil persilangan. Kedelapan varietas itu adalah Kanesia 1, Kanesia 2, LRA 5166, Kanesia 3, Kanesia 4, Kanesia 5, Kanesia 6, dan Kanesia 7. Ciri utama varietas-varietas Kanesia adalah tahan terhadap S biguttula dan toleran terhadap kekeringan. Produktivitas pada tingkat aplikasi insektisida minimum di daerah yang curah hujannya cukup berkisar antara 1,5 hingga 2 ton per hektare. Pada tingkat proteksi yang optimum, yaitu 3 sampai 4 liter per hektare, tingkat produktivitas varietas-varietas tersebut berada pada batas yang diterima oleh industri pemintalan. Daerah Saat ini pengembangan varietas kapas Kanesia untuk setiap daerahnya berbeda. Seperti Kanesia 1 dan 4 dikembangkan di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Jawa Timur, Kanesia 2 dan 5 di Sulawesi Selatan, LRA 5166 dan Kanesia 6 di Jawa Timur, Kanesia 3 dan Kanesia 7 di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Umur panen untuk masing-masing varietas beragam, mulai dari 130 hari hingga 160 hari. Untuk pengembangan tanaman kapas dibutuhkan tanah dan curah hujan yang cocok agar hasil yang diperoleh bisa optimal. Curah hujan yang dikehendaki adalah 600 hingga 1.600 mm selama empat bulan masa pertumbuhan tanaman. Tanah harus subur, drainase baik, daya pegang air tinggi, pH tanah asam sampai netral dengan pH optimal 5,5. Jarak tanam untuk penanaman monokultur kapas dianjurkan 100 cm x 25 cm satu tanaman per lubang. Untuk tanaman tumpang sari kapas dengan palawija, jarak tanam kapas adalah 150 cm x 30 cm dua tanaman per lubang. Untuk pemeliharaan, perlu dilakukan pengendalian gulma dengan penyiangan yang dilakukan sedikitnya dua kali yang diikuti dengan pembumbunan tanaman. Pengendalian hama dengan insektisida berdasarkan hasil panduan, dilakukan setelah tanaman berumur 70 hari dan dibatasi penggunaannya tidak lebih dari 4 liter per hektare. Tumpang Sari Di Jawa Timur, IKR tahun 2001/2002 seluas 3.425 hektare dilakukan dengan cara tumpang sari dengan kedelai dan jagung. Varietas kapas yang dipilih adalah Kanesia 7 dan dibutuhkan benih sebanyak 20 kg/hektare, kemudian kedelai varietas Wilis sebanyak 40 kg/hektare, dan jagung varietas lokal sebanyak 20 kg/hektare. Lahan sawah yang akan ditanam kapas, sesudah panen padi tidak perlu diolah lagi, tetapi hanya dibuat saluran-saluran drainase dengan kedalaman 30 cm, lebar 30-50 cm, dengan jarak antarsaluran 200 - 300 cm karena benih kapas dan kedelai tidak tahan terhadap genangan. Sisa jerami padi disebarkan di atas bedengan yang telah ditanami kapas dan kedelai sebagai penutup sekaligus berfungsi sebagai mulsa. Kapas dan kedelai ditanam bersamaan secepatnya setelah padi dipanen. Hal ini dimaksudkan untuk memanfaatkan sisa air yang ada. Berdasarkan analisis usaha tani yang dilakukan Balittas, biaya sarana produksi (saprodi) dan tenaga kerja kapas, kedelai, dan jagung sebesar Rp 2.231.500 yang meliputi biaya saprodi Rp 986.500 dan tenaga kerja Rp 1.245.000. Penerimaan total sebesar Rp 6.530.000 yang berasal dari kapas, kedelai, dan jagung. Dengan demikian, pendapatan yang diperoleh sebanyak Rp 4.298.500. Total pendapatan seluruh wilayah pengembangan kapas di Lamongan untuk musim tanam 2001 lalu mencapai Rp 5.768.587.000. Untuk lebih jelasnya pengembangan budi daya tanaman kapas dan prospeknya dapat menghubungi Balittas di (0341) 491447 di Malang, Jawa Timur. Penulis : (S-27) Sumber : SP