sumber?

Pada 11 Agustus 2009 14:09, zacky <z_nou...@yahoo.co.id> menulis:

>
>
> Mereka,
> lelaki dan perempuan yang begitu berkomitmen dengan agamanya.
> Melalui ta'aruf yang singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk
> melanjutkannya
> menuju khitbah.
>
> Sang lelaki, sendiri, harus maju menghadapi lelaki lain: ayah sang
> perempuan.
> Dan ini, tantangan yang sesungguhnya. Ia telah melewati deru pertempuran
> semasa
> aktivitasnya di kampus, tetapi pertempuran yang sekarang amatlah berbeda.
>
> Sang perempuan, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka
> menggenapkan agamanya.
>
> Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki
> muda
> menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk 'merebut' sang perempuan
> muda,
> dari sisinya.
>
> "Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?" tanya sang setengah baya.
> "Iya, Pak," jawab sang muda.
>
> "Engkau telah mengenalnya dalam-dalam? " tanya sang setengah baya
> sambil menunjuk si perempuan.
> "Ya Pak, sangat mengenalnya, " jawab sang muda, mencoba meyakinkan.
> "Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak
> bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model
> seperti
> itu!" balas sang setengah baya.
> Si pemuda tergagap, "Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal
> sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu."
> "Lamaranmu kutolak. Itu serasa 'membeli kucing dalam karung' kan, aku
> takmau kau akan
> gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya. Jangan-jangan kau nggak
> tahu
> aku ini siapa?" balas sang setengah baya, keras.
>
> Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang lelaki
> muda.
> Bisiknya, "Ayah, dia dulu aktivis lho."
>
> "Kamu dulu aktivis ya?" tanya sang setengah baya.
> "Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di
> Kampus," jawab sang muda, percaya diri.
> "Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu,
> kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini
> kan?"
> "Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak
> yang nggak datang kalau saya suruh berangkat."
> "Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok mau
> ngatur keluargamu?"
>
> Sang perempuan membisik lagi, membantu, "Ayah, dia pinter lho."
> "Kamu lulusan mana?"
> "Saya lulusan Teknik Elektro UGM Pak. UGM itu salah satu kampus terbaik di
> Indonesia lho Pak."
> "Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini
> tho? Menganggap saya bodoh kan?"
> "Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya
> saja tujuh tahun, IPnya juga cuma dua koma Pak."
> "Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik
> anak-anakmu kelak?"
>
> Bisikan itu datang lagi, "Ayah dia sudah bekerja lho."
> "Jadi kamu sudah bekerja?"
> "Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera
> jualan produk saya Pak."
> "Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak
> bakal sempat memperhatikan keluargamu."
> "Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak terlalu
> laku."
> "Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau
> kerja saja nggak becus begitu?"
>
> Bisikan kembali, "Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya."
> "Rencananya maharmu apa?"
> "Seperangkat alat shalat Pak."
> "Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf."
> "Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta
> Pak."
> "Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan
> uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku."
>
> Bisikan, "Dia jago IT lho Pak"
> "Kamu bisa apa itu, internet?"
> "Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya
> nge-net."
> "Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan anggaran
> untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata."
> "Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak."
> "Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Facebook, Blog, Twitter,
> Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu."
>
> Bisikan, "Tapi Ayah..."
> "Kamu kesini tadi naik apa?"
> "Mobil Pak."
> "Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya Riya'.
> Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik."
> "Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa
> nyetir"
> "Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini
> namanya payah. Memangnya anakku supir?"
>
> Bisikan, "Ayahh.."
> "Kamu merasa ganteng ya?"
> "Nggak Pak. Biasa saja kok"
> "Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang
> cantik ini."
> "Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak."
> "Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal
> selingkuh!"
>
> Sang perempuan kini berkaca-kaca, "Ayah, tak bisakah engkau tanyakan soal
> agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?"
> Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang muda
> yang
> sudah menyerah pasrah.
> "Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur'an dan Hadits?"
> Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga.
> Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya, "Pak, dari tiga puluh juz
> saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja.
> Hadits-pun
> cuma dari Arba'in yang terpendek pula."
> Sang setengah baya tersenyum, "Lamaranmu kuterima anak muda. Itu cukup.
> Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja pun, aku masih
> tertatih."
> Mata sang muda ikut berkaca-kaca.
>
> Ini harus happy ending, bukan?
>
> Lebih Bersih, Lebih Baik, Lebih Cepat - Rasakan Yahoo! Mail baru yang Lebih
> Cepat hari ini! http://id.mail.yahoo.com
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
>  
>


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke