Refleksi : Politik sebagai mata pencaharian telah menjadi bisness keuarga. Hal ini bisa dilihat pada pemilu yang baru lalu. Suami, isteri, ipar, adik, kakak, isteri, paman, gundik, kekasih, mungkin juga nenek dan kakek turut serta dicalonkan atau mencalongkan diri menjadi wakil rakyat. Gejala ini terutama bisa dilihat pada keluarga-keluarga elit partai politik dan mereka yang melekat pada panggung kekuasaan negara di Jakarta dan sekitarnya. Jadi tidak mengherankan bila nasib kehidupan 250 juta manusia ditentukan oleh beberapa gelintir keluarga atas nama rakyat.
Kemungkinan besar lama kelamaan kekuasaan negara akan diwariskan kepada keluarga tertentu. Jadi dengan sendirinya dengan sistem demikian termasuk juga harta kekayaan alam milik rakyat disita atas nama negara berada dalam tangan mereka-mereka ini. Buruk atau baik keadaan ini, tergantung dimana Anda berada. Dekat atau makin dekat dengan panggung kekuasaan makin beruntung Anda, ibarat: " Barang siapa dekat dengan sumur tidak akan kehausan". http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/ketika-politik-sebagai-mata-pencaharian/ Rabu, 02 Desember 2009 15:24 Ketika Politik sebagai Mata Pencaharian OLEH: RIDHO IMAWAN HANAFI Saat memberikan lecture dalam acara NurÂcholish MaÂdjid MeÂmorial Lecture III, di UniÂversitas Para-madina, JaÂkarta, Ahmad Syafii Maarif atau yang akrab diÂpangÂgil BuÂya Syafii meÂnyinggung kondisi politik Tanah Air yang kian diÂdominasi deÂngan praktik-prakÂÂtik penceÂderaan nilai dan ideaÂlismenya. Politik ujungnya haÂnya diarahkan sebagai meÂdan mata pencahaÂrian. Ketika itu terjadi satu pertanda bangÂsa yang tidak berÂadab dan peÂrang melawan koÂrupsi serta meÂwujudkan pemeÂrintah yang berÂsih akan sulit tercapai. Kata politik sebagaimana keÂmunculan awalnya dirumusÂkan oleh Aristoteles (384-322 SM) merupakan sebuah jalan untuk memperoleh kebajikan bersama yang menyejahteÂrakan. Cakupan tujuan yang henÂdak dipertegas dari rumusan ini adalah kebahagiaan (eudaimona) semua orang. Kerja politik merupakan kerja pengabdian yang diniatkan unÂtuk menjauhkan kesengÂsaraan rakyat. Jika dengan berpolitik kenyataan yang muncul justru semakin membuat kehidupan rakyat terpuruk, sementara paÂra pelaku politik sendiri abai terhadap kondisi ini maka politik telah kehilangan "roh" dan semaÂngatnya. Kemuliaan politik menghilang saat para pelaku politik menÂcoba mengubah orientasiÂnya untuk mengubur kepentiÂngan umum dan diganti deÂngan keÂpentingan pribadi. Saat keÂpentingan pribadi menjadi nilai utama maka pragmatisme menjadi panduan bagi setiap laku praksis politik. PragÂmaÂtisme adalah jebakan yang meÂnawarkan politik untuk direduksi sebagai sebuah teknik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan an sich. Dari sinilah lalu cara kerja politik lebih memakai uraian Machiavelli, the ends justify the means (tujuan membenarkan segala cara). Dalam kerangka ini, politik sekadar dipahami sebagai cara dan siasat untuk memperoleh keuntungan materiil. Materi menjadi titik sandar di mana ukuran-ukuran pencapaian tindakan politik dapat dinilai. Dengan kata lain, keberhasilan dan kegagalan aktivitas politik selalu dihubungkan dengan sejauh mana politik itu dapat mengÂhasilkan sesuatu yang siÂfatnya materi. Kondisi ini telah membuat praktik politik meÂminjam George Lukacs (1885-1971), telah terfragmentasi ke dalam sistem sosial yang diÂbingkai oleh kepentingan ekoÂnomi semata. Sehingga menyeÂbabÂkan merosotnya dimensi maÂnusia yang utuh menjadi maÂteri belaka dan tercerabut dari makna hidup yang otentik. Proses seperti ini tidak lagi meÂnyisakan ruang bagi munculnya darma pengabdian yang tuÂlus kepada rakyat. Gambaran suram tentang politik kian menemukan pemÂbeÂnaran ketika para pelaku politik memperkukuhnya deÂngan perilaku penyalahgunaan wewenang dan segala praktik kekuasaan yang menyimpang. Interaksi yang rapat antara politik dan kekuasaan memÂbuat zona interaksi penuh seÂsak deÂngan transaksi materi. Akibatnya, peluang munculnya korupsi dan kolusi semakin terbuka lebar. Terbukanya keran korupsi seperti itu oleh sebab adanya apa yang disebut HarÂyatmoko (2003) sebagai modaÂlitas pendorong seperti fasilitas dan kemudahan yang sering dianggap sebagai seÂsuatu yang diperoleh dengan usaha, seÂhingga penggunaannya unÂtuk bisa mendatangkan kekayaan dianggap wajar. Politik kemudian menjadi jalan untuk mendulang pundi keÂmewahan pribadi. Maka di wilÂayah politik muncullah seperti yang dikatakan Hannah Arendt (1958) orang-orang dengan mentalitas animal laborans. Sebuah mentalitas orang yang terjun dalam aneka petualangan politik di mana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi-konÂsumsi sangat dominan dan politikus cenderung menjaÂdikan politik sebagai tempat mata pencaharian utama. Syarat "Gizi" Mentalitas animal laborans kecenderungannya kian meÂnguat sekarang ini seiring deÂngan luasnya gejala banalisasi transaksi politik di hampir setiap sudut aktivitas politik. TranÂsaksi politik menjadi lazim dan dijadikan syarat kepatutan unÂtuk melancarkan tujuan. Sis-tem demokrasi dengan proses komÂpetisi secara langsung melibatkan rakyat, membuat politik tidak bisa lepas dari "gizi" (maÂteri). Hasilnya siapapun yang berÂniat memutuskan terjun ke wilayah politik, sulit baÂginya menghindari syarat "gizi" tersebut. Seiring dengan itu setiap keberhasilan transaksi politik juga akan disertai dengan proÂses kelanjutan mencari nilai tambah keuntungan baginya. Elite politik dengan kekuasaan yang diperolehnya semakin gencar mengumpulkan dana politik yang sulit untuk dikontrol. Pada titik kritis ini keÂkuasaan dikonversi menjadi keÂkayaan pribadi dan kelompok sebagai cara untuk mem-perÂtÂahankan dan mengukuhÂkan kekuasaan. "Demokrasi daÂlam hal ini telah dikorup," kata Montesquieu. Demokrasi membutuhkan legitimasi sistem politik dan kredibilitas institusi-institusi publik. Dengan demokrasi diÂharapkan muncul aneka keputusan yang menentukan kehiÂÂdupan kolektif yang mendasarÂkan pada pertimbaÂngan rakyat. Demokrasi juga menyediakan ruang bagi munculnya keadilan sesama sambil mendorong pertumbuhan ekonomi. Tekanan akan pentingnya partisipasi, reÂpresentasi, dan akuntabilitas membuat demokrasi diimpikan sebagai sebuah sistem yang bisa mendekatkan tujuan-tuÂjuan bersama. Ketika demokrasi diÂhaÂdirkan di bumi pertiwi menggantikan sistem otoritariaÂnisme Orde Baru, seketika itu rakÂyat menyambutnya secara gemÂpita. Demokrasi diÂekspekÂtaÂsikan akan memberikan pengÂharapan hidup yang lebih baik. Namun, ketika demokrasi tidak kunjung mewujudkan janji-janji manisnya, muncullah kekecewaan rakyat yang kian hari kian menebal. MengÂgiring politik pada pencedeÂraan nilai dan keutamaannya dengan menjadikannya sebagai lahan mata pencaharian merupakan jeÂratan yang dapat meÂnyurutkan sistem politik deÂmokrasi. Penulis adalah Peneliti pada Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta