Tulisan saudara Al Chaidar ini sepertinya sudah okey kecuali yang terlupakan adalah bahwa persoalan hukum atau fiq saja tidak akan pernah tuntas ketika si pembicara berada dalam system Taghut Zalim, Hipokrit dan Korrupt. Dengan kata lain saya bermaksud bahwa persoalan hukum Islam tidak pernah tuntas ketika si pembicara belum memahami system Islam yang sebenarnya. Kalaupun Al Chaidar mengangkat negara Madinah sebagai sampelnya, masih dapat ditolak dengan argument bahwa aplikasi hukum di Negara Madinah itu tidak seperti yang dimaksudkan Al Chaidar. Justru itu Al Chaidar harus mampu menunjukkan teladan Negara Islam atau System Islam di Jaman kita sekarang ini. Sepertinya Al Chaidar mandel pikirannya dalam kontek yang saya maksudkan ini, kenapa? Sebabnya dia sendiri terjebak dalam system Taghut Indonesia Dhalim, hipokrit dan korrupt. Dalam hal ini Haidar tidak jauh berbeda denga para intelektual menara gading di Kampus-kampus Acheh dan Indonesia lainnya. Hal ini dapat terdeteksi ketika kita membaca di akhir tulisannya dimana Al Khaidar juga setuju agar Syariat Islam diberlakukan di Acheh - Sumatra. Tinggallagi dia mengharapkan agar ditinjau kembali berdasarkan literatur-litteratur Islam yang klask itu sebagaimana yang pernah diterapkan di Negara Madinah dahulu.
Ketimpangan pikiran Al Chaidar terdeteksi bahwa dia itu belum memahami esensi Islam sejati atau Islam murni. Sepertinya dia itu tidak sadar bahwa Acheh sekarang masih dalam bingkai Taghut Indonesia dimana hukum Islam kalaulah tidak dibuat kabur oleh hukum â€positif†warisan Belanda itu, minimal dapat mengkaburkannya atau di peukeu labee†istilah Achehnya. Justru itu kalau hendak menerapkan Syari’at Islam, Systemnya duluan yang harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh yang bertujuan untuk mencari redha Allah bukan sekedar merebut kekuasaan sebagaimana terdeteksi sepakterjang sebagian orang Acheh paska MoU Helsinki. .Kenapa Al Chaidar masih ngaur dalam memahami system yang Islami? Jawabannya adalah disebabkan dia sendiri telah lama menempatkan dirinya sebagai â€sekrup†system Taghut Indonesia. Perlu kita pertanyakan dimana Al Chaidar ketika pejuang pejuang Acheh Merdeka meninggalkan kampus dan gajinya termasuk segala-galanya untuk membebaskan kaum dhuafa Acheh - Sumatra dari belenggu yang menimpakan kuduk-kuduk mereka (QS, QS.7:157 & QS, 90:12-18). Itulah yang membuat pikirannya terhijab hingga tidak mampu memahami esensi Islam. Jadi persoalannya bukan saja anatomi rumusan hukum made in intelektual gadongan itu, yang masih dipertanyakan kebenarannya tapi juga system dimana tempat Syariat yang tepat menurut logika Manusia beriman yang berpijak pada ketentuan Allah swt. Apabila system Islam belum exist macam di Acheh - Sumatra sekarang, hukum belum dapat dipaksakan, kenapa dan apa logikanya? Logikanya Acheh sekarang belum memiliki power untuk menegakkan keadilan. Andaikata para penggagas kanun Jinayah sanggup menjalankan keadilan dimana bukan saja hukum itu diterapkan kepada rakyat jelata tapi juga kepada tentara dan polisi, gubernur, bupati, walikota, camat dan seluruh pejabat lainnya serta pegawai Negeri, silakan sekarang juga hukum jinayah itu boleh diberlakukan dan logis mendapat cap kafir bagi siapa saja yang tidak setuju, sanggupkah? Pastinya tidak. Kenapa tidak? Power Tangut Indonesia masih berkuasa atas Acheh - Sumatra. Justru itu hukum tersebut tidak berlaku bagi pegawai negeri dan pejabat Indonesia di Acheh, apa lagi polisi dan tentara. Nah apabila hukum tersebut hanya dipaksakan kepada orang sipil saja tidak termasuk pegawai negeri dan pejabatnya, para alim palsu dari menara gading tadi mengira Islam telah dipraktekkan di Acheh hingga tertutuplah selamanya usaha untuk pembebasan Acheh dari belenggu Indonesia - Jawa. Inilah effek daripada diberlakukan syariat pura--pura di Acheh - Sumatra dan inilah politik keji daripada Konspirasi jahat para intelectual menara gading, para alimpalsu dari sebahagian pesantren dan penguasa Indonesia yang bersembunyi dibalik layar. Al Chaidar benar ketika mengatakan bahwa proses saling lempar bola panas syariat Islam di Acheh dilakukan kelompok ‘neo -fundamentalis wahabiyah’. Sebetulnya inilah malapetakanya Indonesia dan Acheh - Sumatra sekarang ini. Sepertinya karakter orang Acheh yang awwam masih dapat berdiam diri ketika hartanya dirampas orang, tapi begitu agama dirampasnya dengan pelintiran atau perusakan ala "al mufsidun" atau "fasad fil ardh", mereka dengan sertamerta bangkit melawan walau harus bergerilya sekalipun. Ingat ketika Belanda tidak mampu mengalahkan Acheh dahulu, merobah strateginya dengan tehknik "agama vs agama". Orang Acheh yang fanatik agama kala itu (baca bukan fanatik buta), tau persis siapa Belanda itu, hingga berdaya upaya untuk meluluhlantakkannya. Kalau Jepang langsung menyerah begitu Rajanya tertaklukkan, sebaliknya endatu kita dulu setiap rajanya tertawan atau syahid, dengan serta merta muncul penggantinya. Snock Hocgronye belajar Agama Yaziddin/wahabi di Saudi Arabia serta bahasa Arabnya. Agama Snock yang wahabi itu ternyata mampu meluluhlantakkan agama orang Acheh kala itu. Hal itu ditunjang oleh kemampuan bahasa Arab yang dimiliki Snock, membuat sebahagian orang Acheh terkesima. Perlu digarisbawahi bahwa saya tidak mengatakan semua orang Acheh semudah itu dapat dikelabui, minimal orang-orang Acheh yang teguh pendiriannya berkurang kekuatannya dalam menghadapi Snock tersebut. Indikasi tersebut sepertinya masih dimiliki orang Acheh di jaman kita sekarang dimana mereka masih terpengaruh dengan apa saja yang datang dari Arabnya. Mereka sepertinya tidak sadar bahwa yang namanya Arab itu bukan hanya Muhammad, Rasulullah tapi juga Abu Lahab cs, pamannya, dimana Wahabi adalah mewarisi Abu Sofyan, sahabatnya Abu Lahab dan Abu Jahal. Saat ini aliran Wahabi/Yaziddin Arabiya bukan saja mendominasi pesantren di Indonesia dan Acheh - Sumatra tapi juga sudah mendominasi kampus-kampus Acheh, Mereka itu hanya meniru penampilan pakaian Rasulullah doang tapi sepakterjangnya adalah Yazid bin Muawiyah, pembantai Ahlulbayt Rasulullah di Karbala. Justru itu tidaklah mengherankan kalau penguasa Saudi Arabia memaksakan jamaah dari pengikut Ahlulbayt Rasulullah supaya beragama seperti mereka, kalau tidak dinyatakan sesat. Mereka tidak sadar sesungguhnya merekalah yang sesat. Berhubung Irwandi tidak sependapat dengan mereka para wahabi itu atau para jenggotan, pakai istilah bung Otto Samsuddin Ishaq, Mereka bekerja sama dengan Legislatif lama yang juga didominasi para jenggotan. Nah kini penguasa Indonesia bekerjasama dengan â€Bal’amnya†menerima bantuen Pemerintah Saudi Arabia untuk membangun Pesantren ala Wahabi/Yaziddin sebanyak-banyaknya. Indikasi ini dapat dideteksi sepakterjang MUI dimana semua aliran yang bertentangan dengan agama mereka dinyatakan sesat secara sepihak. (lihat kasus Ahmadiah). Kita tidak membela Ahmadiah tapi MUI itu realitanya lebih sesat daripada Ahmadiah. Sepatutnya kita harus mengkaji kenapa Ahmadiah muncul di Indonesia, dimana hal tersebut tidak terlepas dari ketimpangan sepakterjang MUI itu sendiri yang bersatupadu dengan penguasa dhalim sementara rakyat jelata hidup menderita, merasa terjajah oleh bangsanya sendiri. Penguasa manapun di Planet Bumi ini akan tetap langgeng sejauh mereka mampu bergandengan dengan para â€ulamaâ€. Takdapat dibantah bahwa Ulama menjadi panutan rakyat dimana-mana. Pabila posisi tersebut mampu direbut oleh ulama gadongan /(baca ulama palsu atau ulama suq), mereka dengan gampangnya dapat meredam kekuatan rakyat jelata agar tidak menyerang Penguasa Dhalim. Pabila ketara sekali kedhaliman penguasa terhadap rakyat jelata, para ulama Palsu itu menghimbau rakyat jelata agar melakukan â€do’a tolakbalaâ€, melaui peragaan tangan terlungkup kebawah, selesailah aplikasi rakyat jelata untuk â€menembak†penguasa Dhalim dengan keyakinan yang ditanam oleh para Bal’am bahwa â€Do’a adalah senjata bagi orang yang berimanâ€. Justru itu â€ulama wahabi bekerja sama dengan penguasanya demikian juga MUI bekerja sama dengan penguasanya. Di Acheh juga tidak berbeda dengan di pulau jawa dimana ulama tetap tunduk patuh kepada penguasanya. Jadi apa tugas ulama tersebut? Hanya memimpin doa ketika pelantikan pejabat cap burung Garuda, memimpin doa ketika adanya peresmian suatu bangunan dan memimpin doa ketika adanya acara â€peusidjuek†orang besar yang datang dari kalangan manapun juga. Ketika sebuah Rumah sakit dibangun, ulama tersebut tidak tergerak lidahnya untuk membuat suatu perjanjian agar siapapun yang tidak berdaya ekonominya dapat diobati secara cuma-cuma. Ulama tsb hanya berdoa semata. Dia sepertinya khawatir kesempatan yang â€bersedekah†lumaian itu akan bergeser ke pribadi lain kalau dia meminta perjanjian sebagai syarat maunya berdoa. Ulama yang sesungguhnya adalah Ulama warasatul ambiya. Ulama warasatul ambiya pantang bersatupadu dalam system Taghut Dhalim. Di Irak lembaga Ulama terpisah dengan penguasa yang dikepalai Saddam sebagai presidennya. Ketika Muhammad al-Tijani al-Samawi. Mengunjungi Irak, beliau menyaksikan 2 orang yang bertikai soal harta diputuskan dalam majlis Ulama yang terpisah dari system Irak kala itu ,dalam tempo hanya 1 hari saja. Kedua pihak yang bertikai menerima keputusan Ulama secara ihklas dan puas sekali. Sebagai ciri-ciri orang yang benar imannya menyerahkan persoalan mereka kepada sang Ulama bukan kepada penguasa atau hakim negara Taghut Dhalim. Al Samawi bertanya kenapa mereka tidak menyerahkan persoalan mereka ke hakim Negara, Ulama tersebut mengatakan kalau mereka menjerahkan persoalan ke pengadilan Negara akan menghabiskan waktu berbulan-bulan dan bisa jadi bertahun tidak akan selesai. Sepertinya mereka yang menyerahkan persoalan mereka ke hakim negara terindikasi sebagai orang yang tidak beriman, mereka tidak percaya kepada Ulama. ( Lihat: Akhirnya Kutemukan Kebenaran) Billahi fi sabililhaq Muhammad al Qubra Acheh - Sumatra ________________________________ From: HELB <hai_otodi...@yahoo.com> To: ia...@yahoogroups.com Sent: Thu, November 5, 2009 3:11:56 AM Subject: [IACSF] Al Chaidar & M. Muntasir Alwy: WH jangan sok suci !! REFORMULASI SYARIAT ISLAM ACEH ALA PIAGAM Pro Kontra Qanun Jinayah Written by Al Chaidar | Peneliti Persoalan Aceh dan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malukussaleh, Lhokseumawe, NAD. | M. Muntasir Alwy | Jurnalis Independen, Editor dan Associate Researcher pada Freedom Foundation, Jakarta. Thursday, 05 November 2009 08:43 Razia jilbab, orang pacaran, dan yang keterlaluan adalah larangan mengenakan celana panjang atau jeans bagi wanita adalah puncak salah kaprah pemahaman orang Aceh akan syariat Islam. | FOTO ACEHKITA Proses saling lempar bola panas syariat Islam di Aceh yang dilakukan kelompok ‘neo-fundamentalis wahabiyah’ sampai detik ini mengakibatkan citra Islam semakin pucat, suram, dan terpuruk. Razia jilbab, razia pacaran, dan yang keterlaluan adalah larangan mengenakan celana panjang atau jeans bagi wanita di sebagian wilayah Aceh menjadi puncak tragedi salah kaprah pemahaman orang Aceh khususnya dan umat Islam umumnya akan signifikansi penerapan syariat Islam bagi masyarakat muslim. Aksi petugas Wilayatul Hisbah yang ‘hiperaktif’ juga menjadi tanda tanya besar bagaimana instrumen negara dengan legalitas tertentu telah ‘memborong habis’ semua hak sosial maupun hak privat umat bahkan yang tidak pernah diberlakukan Rasul SAW di Negara Madinah sekalipun. ...sebenarnya tidak ada difinisi ‘Polisi Moral’ dalam penerapan syariat Islam dimana pemerintah membentuk satuan ‘polisi’ yang mengawasi setiap perilaku dan tindak-tanduk pribadi rakyatnya. Kalau toh dibentuk, tugas polisi mestinya hanya menindak apabila terjadi kasus pelanggaran, bukan mencari-cari kesalahan warga dengan mengadakan sweeping, razia, dan aksi-aksi ‘sok suci’ lainnya. Baca lengkapnya di web Aceh Institute: http://id.acehinsti tute.org