Apa yang digoreskan bung Win Wan Nur ini sungguh baik sekali buat mereka mereka 
yang masih memiliki hati nurani, hingga berdaya upaya untuk menyelesaikan 
persoalan Acheh - Sumatra secara Islami. Sebetulnya di Acheh sejak dulu 
termasuk jaman Iskandar Muda belum Islami secara Kaffah. Salah satu buktinya 
pernah diangkat bung Win ketidak benarnya pakain yang digunakan Cut Nyakdhien 
walaupun ada pihak yang membantah secara fanatik buta bahwa pakaian cut 
Nykadhien yang sebenarnya tidak demikian. 

Islam itu kaffah sesuai firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah 
kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu" (QS, 2 : 208)

Berbicara Islam Kaffah adalah berbicara Islam bersystem. Mustahil Islam itu 
bisa Kaffah tanpa exist nya System. Justru itulah bila kita hendak berbicara 
atas nama Islam, kita harus memperjuangkan Systemnya terlebih dahulu, bukan 
hukum rajam sebagaimana di sorot bung Win diatas.  Apabila kita telah berhasil 
memperjuangkan system Islam, yang pertama dipikirkan adalah finansial 
Rakyatnya. Apa bila finansial rakyatnya terabaikan, itu namanya bukan system 
Islam tapi system Taghut dhalim macam Hindunesia dan cabangnya rindang ke Tanah 
rencong. Yang namanya Islam itu, rahmatan lil 'alamin, bukan yang kaya makin 
kaya, yang miskin makin miskin. Itu namanya Hipokrit alian almunafiqun (QS, 2 : 
8, 9)

Lihatlah bagaimana yang namanya ulama dan mendapat jempolan orang mayoritas, 
ternyata ketika kita ambil ayat Allah sebagai acuannya, mereka bukan ulama tapi 
penghardik anak yatim atau pendusta Agama sesuai ayat yang diforward bung Win. 
Kalau istilah saya mereka itu adalah "bal'am". Ini adalah nama seorang ulama 
yang memihak penguasa di jaman Nabi Musa dan Harun. Justru itu MUI DAN MPU 
bukanlah majelis ulama tapi majelis Bal'am dan untuk lebih jelas katakan saja 
majelis syaithan yang berkedok agama.

Bayangkan betapa hancurnya sudah Acheh - Sumatra kalau ulama saja termasuk 
pendusta agama sementara mayoritas penduduk Tanah Rencong mengira mereka itu 
ulama dan tundukpatuh pada mereka. Ilmu apakah yang mereka kaji diseluruh 
pesantren di Acheh? 

Saya pernah menulis di Internet bahwa barang siapa yang tidak mengenal Ulama 
sama dengan tidak mengenal Islam itu sendiri. Justru itulah kita menyaksikan 
komunitas yang mengaku Islam macam Indonesia dan Acheh - Sumatra sekarang 
realitanya tidak berbeda dengan komunitas non Islam dan malah jauh lebih unggul 
komunitas non Islam macam Norwegia, Swiden dan Denmark, dimana negara yang saya 
sebutkan belakangan ini tidak pernah ada anak yatim yang terlantar, tidak 
pernah ada orang yang tidak cukup makan, tidak pernah ada orang sakit yang mati 
tanpa terobati. Seluruh penduduknya tercapai finansialnya. Jadi berdasarkan 
argument ini berarti komunitas yang dinamakan Islam Indonesia, Islam Acheh dan 
komunitas lainnya diseluruh Dunia, dimana penduduknya banyak yang mati 
kelaparan, sakit takterobati, anak yatim yang diexploitasi 
dipesantrenpesantren, sesungguhnya bukan komunitas Islam tapi hipokrit atau 
munafiq. Ini memang sangat menyakitkan sama sakitnya dengan judul
 yang ditulis bung Win: "Hiruk Pikuk "Syariat Islam" di Negri Para Pendusta 
Agama"

Nah para pembaca sekalian, berlapang dadalah terutama sekali orang Acheh yang 
terlanjur memuji diri sendiri dan sejarah Achenya, ternyata kosong dari ide 
Islam. Apa bila hal ini kita sadari dan mau bertaubat, mulailah dengan 
meluruskan UUPA made in Hindunesia yang hipokrit itu kepada UUPA sesuai hasil 
perjanjian Helsinki. Untuk ini kita percayakan kepada Bang Hasbi. Beliau 
sepertinya memiliki potensial untuk hal tersebut. Melaui jalan itulah kita 
berkemungkinan untuk bangkit mendirikan System yang redha Allah. Kalau tidak 
apapun tulisan ilmiah yang dicanangkan setiap lembaga di Tanah Rencong adalah 
bohong belaka. Mereka itu kita ketahui sangat memuji "ulama". Kalau ulama itu 
ternyata pendusta agama konon pula mereka yang ilmiah gadongan itu dapat 
diharapkan untuk memperjuangkan negara yang redha Allah. Mereka menggunakan 
tulisan ilmiahnya untuk bisnis bukan untuk mencerahkan pemikiran kaum dhuafa.

Tsunami yang terjadi di Acheh sesungguhnya peringatan Allah kepada kaum yang 
mendustakan agama. Semoga tulisan yang sangat singkat ini minimal dapat menjadi 
bahan renungan, buat orang-orang Acheh yang konsisten dalam perjuangan.  Jangan 
hanya memiliki semangat Sementara orang-orang Acheh yang memanfaatkan momentum 
perjanjian Helsinki untuk memperkaya diri (baca perangai cangkul, menimbun 
kedepan sendiri), mustahil dapat diharapkan dan mereka ini sudah barang pasti 
macam cacing dalam kepanasan ketika menanggapi tulisan hsndwsp ini. Mereka ini 
akan mengalami hukuman Allah secara pasti di suatu saat nanti, kecuali mereka 
yang mau bertaubat sebelum terlambat.

Billahi fi sabililhaq
Angku Awegeutah 
di Tampok Donya




________________________________
From: winwannur <winwan...@yahoo.com>
To: acehk...@yahoogroups.com
Sent: Tue, October 27, 2009 8:37:06 AM
Subject: [acehkita] Hiruk-pikuk Syari'at Islam di Negeri Para Pendusta Agama

  
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
Itulah orang yang menghardik anak yatim 
Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (QS : 107 ayat 1-3)

Sejujurnya, saya bukanlah jenis orang yang suka menggunakan tafsiran teks 
ayat-ayat suci sebagai basis argumen. Karena itulah tiga ayat Al Qur'an di atas 
saya tuliskan di sini bukan untuk beradu debat soal penafsirannya tapi tidak 
lain hanya sebagai ilustrasi, tentang betapa ayat-ayat yang dipercaya suci dan 
dipercaya berasal dari Tuhan sendiri pun pada penerapannya sebenarnya tidak 
pernah bisa dilepaskan dari cara pandang, selera dan hawa nafsu manusia yang 
sama sekali tidak bersifat Ilahiah.

Tiga ayat di atas sengaja saya kutip di awal tulisan ini karena di Aceh negeri 
saya, belakangan ini saya melihat beberapa kalangan begitu antusias untuk 
memberlakukan hukum-hukum Tuhan yang ketat dan tanpa kompromi untuk menjatuhkan 
hukuman bagi beberapa kasus. Sementara anjuran Tuhan yang lain mereka abaikan.

Berkaitan dengan tiga ayat yang saya kutip di atas. 

Bencana tsunami yang meluluh lantakkan Aceh pada tahun 2004 yang menewaskan 
ratusan ribu orang telah membuat ratusan ribu anak Aceh menjadi yatim yang 
kehilangan orangtua dan juga rumah. Hal ini membuat banyak orang yang ada di 
berbagai penjuru Aceh yang terpikir untuk mendirikan panti asuhan untuk 
menampung anak-anak yatim itu.

Saat saya meninggalkan Takengen tahun 2003 silam, di kota kelahiran saya ini 
baru ada dua panti asuhan untuk menampung anak yatim. Satu milik pemerintah 
yang terletak di Kemili dan satunya lagi milik swasta terletak di  Paya Tumpi. 
Saya sendiri pernah cukup lama menghuni salah satu panti asuhan tersebut.

November tahun lalu saya kembali ke kota ini, saya saksikan jumlah panti asuhan 
di kota ini tumbuh dengan drastis seperti jamur di musim hujan. Salah satu dari 
panti asuhan baru yang didirikan pasca tsunami tersebut bernama Panti Asuhan 
Yayasan Noordeen. Terletak di Dedalu, sebuah desa di tepi danau Laut Tawar, 2 
kilometer dari pusat kota Takengen. 

Panti Asuhan ini dikelola oleh Bapak Syamsuddin A.S, mantan pengurus panti 
Asuhan Budi Luhur, panti yang sempat saya huni dalam waktu yang cukup lama. 
Gedung Panti Asuhan ini didirikan di atas tanah milik pribadi Bapak Syamsuddin 
A.S, di atas puing-puing rumah pribadi beliau yang dulu dibangun dengan susah 
payah yang dengan ikhlas sengaja beliau hancurkan demi berdirinya gedung panti 
asuhan ini.

Pembangunan gedung dan biaya sehari-hari Panti Asuhan ini ditanggung oleh 
Givelight Foundation, sebuah yayasan yang didanai oleh muslim amerika  yang 
dibentuk salah satunya oleh Dian Alyan, seorang keponakan Bapak Syamsuddin A.S 
yang telah menjadi warga negara Amerika dan sekarang bermukim di San Francisco. 
Dian Alyan yang lulusan IPB ini adalah puteri Gayo asli kelahiran 1965, yang 
meniti karir di Procter & Gamble Indonesia. Karena kecemerlangannya Dian 
kemudian ditarik ke kantor pusat Procter & Gamble di Cincinati untuk duduk 
sebagai brand manager. Tapi beberapa tahun yang lalu Dian memutuskan untuk 
meninggalkan karirnya yang cemerlang untuk memfokuskan diri kepada 
kegiatan-kegiatan kemanusiaan melalui Givelight Foundation yang karena 
terinspirasi keberhasilan proyek panti Asuhan Yayasan Noordeen di Dedalu, 
sekarang telah membangun satu Panti Asuhan lagi di Kashmir, India.

Karena keterbatasan daya tampung, Panti Asuhan Yayasan Noordeen hanya mampu 
menampung 58 orang anak. Tapi melalui Yayasan Noordeen Givelight Foundation 
juga membantu membiayai anak-anak yatim korban tsunami yang tinggal di Panti 
Asuhan lain di Takengen. Mekanisme pemberian bantuan itu adalah; pengelola 
panti asuhan memberikan daftar nama penghuni Panti Asuhan yang dia kelola 
kemudian pengelola yayasan Noordeen mentransfer uang bantuan untuk nama-nama 
itu ke rekening pengurus panti. Suatu kali pengelola yayasan Noordeen curiga 
dengan daftar nama yang ada dalam daftar yang diserahkan pengurus Panti Asuhan 
yang dibantu tersebut karena bertahun-tahun nama itu tidak pernah berubah. 
Sebagai orang yang lama berkecimpung di dunia panti asuhan, pengelola Panti 
Asuhan Yayasan Noordeen tahu persis kalau setiap tahun ada anak Panti yang 
lulus dan meninggalkan Panti. berdasarkan kecurigaan itu beliaupun mengecek 
kebenaran laporan pengurus panti tersebut ke lokasi
 panti asuhan itu berdiri. Dan apa yang beliau temukan, ternyata jumlah anak 
yang ditampung oleh panti asuhan tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan 
daftar nama anak-anak yang diberikan pengurusnya. Dan fakta yang lebih 
mencengangkan lagi adalah ternyata kebanyakan dana bantuan tersebut masuk ke 
kantong pribadi pengurus Panti. Sejak saat itu Yayasan Noordeen hanya mau 
mentransfer uang bantuan ke rekening pribadi anak yang menerima bantuan.

Saat berada di Takengen, saya juga menyempatkan diri menemui Tengku Ali Djadun. 
Seorang ulama besar di kota ini yang sangat saya hormati karena saya angap 
konsisten antara ucapan dan tindakannya dan terkenal tanpa kompromi. Saat saya 
jumpai beliau menjabat sebagai ketua MPU Aceh Tengah. Dari beliau saya 
mendapati cerita yang lebih mengejutkan. Menurut Tengku Ali Djadun yang juga 
mengelola Panti Asuhan Muhammadiyah, eksploitasi anak yatim di kabupaten yang 
rencananya kalau jadi dimekarkan menjadi provinsi sendiri akan digelari Serambi 
Madinah ini jauh lebih parah dari cerita yang saya dengar dari Bapak Syamsuddin 
A.S. Menurut Tengku Ali Djadun, pasca tsunami ada belasan panti asuhan yang 
berdiri di Aceh Tengah yang mengatasnamakan diri untuk menampung korban tsunami 
tapi sama sekali tanpa penghuni. Uang dana bantuan yang diperuntukkan untuk 
Panti Asuhan tersebut sepenuhnya masuk ke kantong pengurus panti.

Berdasarkan kondisi faktual yang ada di Aceh yang menunjukkan fakta banyaknya 
anak yatim dan ketika anak yatim dieksploitasi sedemikian rupa, jika 
orang-orang Aceh benar-benar menerapkan hukum atas dasar cinta kepada agama dan 
menjalankan perintah Tuhan tanpa dipengaruhi selera dan hawa nafsu. Saya pikir 
orang-orang Aceh tentu mereka akan bergidik ketika membaca ayat Tuhan yang saya 
kutip di atas dan merekapun akan mencari dasar hukum agama yang kuat untuk 
menghukum manusia-manusia yang mengeksploitasi anak-anak yatim ini.

Tapi yang terjadi tidaklah demikian, ketika di negeri ini anak yatim 
dieksploitasi sedemikian rupa Pemda dan DPRK Aceh tengah alih-alih turun 
tangan. Pemda dengan sepersetujuan DPRK malah menjual lahan dan mesjid milik 
Panti Asuhan Budi Luhur yang tidak lain adalah panti asuhan tertua di Aceh 
Tengah. Yang lebih ironis lagi, Tengku Ali Djadun, Ulama ketua MPU yang saya 
hormati itu pun malah memilih berada di belakang Pemda dan menghardik anak 
yatim http://www.serambin ews.com/news/ tanah-panti- asuhan-budi- luhur-bukan- 
milik-yayasan.

Melihat pengabaian dan eksploitasi terhadap anak yatim yang terjadi di bumi 
Aceh pasca tsunami, melihat bagaimana eksploitasi itu dibiarkan oleh anggota 
DPRA 2004-2009, pemerintah dan ulama. Jika ayat-ayat Al Qur'an yang saya kutip 
di atas dijadikan acuan untuk menilai, maka jelas parlemen, pemerintah dan 
ulama yang ada di Aceh saat ini tidak lain adalah PARA PENDUSTA AGAMA.

Tapi seperti yang sering saya katakan, semua manusia sebetulnya tidak bisa 
lepas dari subyektifitas pengalamannya sendiri. Hukum yang dibuat manusia pun, 
meskipun katanya berasal dari Tuhan tapi pilihan atas Hukum Tuhan mana yang 
diikuti dan diterapkan serta hukum Tuhan yang mana yang boleh diabaikan juga 
tidak terlepas dari subyektifitas pengalaman manusia itu sendiri. 

Misalnya Hukum rajam dipercaya banyak orang adalah hukum dari Tuhan bukan 
buatan manusia dan karenanya wajib dikuti. Katakanlah asumsi itu memang benar, 
tapi marilah kita renungkan, siapa yang memilih hukum rajam untuk diterapkan 
sementara hukum Tuhan yang lain diabaikan?.. .Bukankah manusia sendiri?.

Pilihan tersebut tidak bisa lepas dari subyektifitas pengalaman orang yang 
memilih itu sendiri.

Kita ambil contoh bapak pengelola Panti Asuhan Yayasan Noordeen. Karena sejak 
kecil sudah dekat dengan lingkungan anak yatim dikarenakan orang tua beliau 
juga bekas pengurus Panti Asuhan. Orang seperti bapak pengelola Panti Asuhan 
Yayasan Noordeen ini percaya Tuhan akan sangat marah jika ada anak yatim 
dieksploitasi. Orang seperti beliau akan ketakutan setengah mati ketika 
mendapati ada anak yatim dieksploitasi. Orang seperti beliau ini sering merasa 
kalau bencana yang banyak terjadi di negeri ini terjadi adalah akibat 
orang-orang, pemerintah dan ulama di negeri ini tidak mempedulikan anak yatim.

Sebaliknya orang-orang yang dekat dengan penguasa yang otaknya selalu berada di 
SELANGKANGAN, selalu merasa bahwa urusan SELANGKANGAN lah yang paling 
diperhatikan Tuhan. Sehingga Hukum Tuhan yang mereka pilih untuk diterapkan 
dengan ketat pun tidak jauh-jauh dari urusan SELANGKANGAN. 

Anggota DPRA 2004-2009 bukanlah sekumpulan manusia yang dekat dan memahami 
permasalahan anak yatim dan orang miskin. Sebaliknya mereka adalah kumpulan 
orang-orang dengan subjektifitas pengalaman pribadi dekat dengan penguasa dan 
otak yang selalu berada di SELANGKANGAN. Mereka percaya bahwa berbagai masalah 
yang terjadi di negeri saya belakangan ini terjadi akibat orang Aceh tidak bisa 
menjaga SELANGKANGAN. 

Dari orang-orang dengan subjektifitas pribadi semacam ini, yang menjadi anggota 
DPRA 2004-2009 adalah tidak mungkin kita melihat keluarnya pasal-pasal Qanun 
yang melarang orang 'menghardik' anak yatim ataupun pasal-pasal Qanun yang 
menganjurkan memberi makan orang miskin. Yang mungkin dihasilkan oleh 
orang-orang dengan subjektifitas pengalaman pribadi semacam ini hanyalah 
pasal-pasal Qanun yang berurusan dengan SELANGKANGAN. Terbukti orang-orang 
inilah yang di luar sidang paripurna mengeluarkan pasal Hukum rajam dalam Qanun 
Jinayat yang ditolak oleh Gubernur Irwandi.

Di Aceh dan juga di daerah lain yang memiliki komunitas 'ikhwan' dan 'akhwat', 
penolakan Irwandi ini langsung jadi kontroversi. Para pendukung hukum syari'ah 
berbasis SELANGKANGAN langsung menghujat Irwandi dengan berbagai cacian, 
diantaranya ada yang dengan terus terang mengatakan bahwa Irwandi yang menolak 
menandatangani Qanun ini adalah seorang yang pro Penzina.

Padahal jika para 'ikhwan' dan 'akhwat' ini mau sedikit membuka mata dan tidak 
pilih-pilih selera dalam menerapkan ayat-ayat Al Qur'an yang mereka percaya 
suci. Lalu mau menggunakan ayat-ayat Al Qur'an yang saya kutip di atas sebagai 
referensi. Maka mata mereka akan jelas melihat bahwa, Qanun Jinayat yang 
sekarang jadi kontroversi ini sebenarnya tidak lain adalah Hukum Syariat produk 
dari PARA PENDUSTA AGAMA.

Wassalam

Win Wan Nur

www.winwannur. blog.com
www.winwannur. blogspot. com


   


      

Kirim email ke