Matee Aneuk Meupat Jeurat Gadoh Adat Pat Tamita 

Selasa, 19 Pebruari 2008 
Oleh Zarkasyi Yusuf
Banyak yang mengatakan, tsunami datang tanpa diundang. Namun, realita 
menunjukkan bahwa kedatangan tsunami di Serambi Mekkah bukan tamu tanpa 
diundang, melaikan tamu yang sudah lama ingin datang dan selalu dinantikan. 
Betapa tidak, tatanan hidup yang begitu kokoh dan mapan dibangun oleh endatu 
tempo dulu di atas pondasi syariat dan adat telah hancur berantankan di sama 
kini. Hidup bagaikan tanpa pandangan dan pijakan, terlebih pada hal-hal yang 
dianggap kecil, seperti penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi dalam 
kehidupan. Padahal, endatu telah mengingatkan kita, “Bek meubalek cap meutuka 
cok” yang bermakna bahwa jangan salah langkah dan salah jalan.
Bahasa memang terkadang dipandang sebagian orang menjadi hal remeh dan biasa. 
Namun, kita harus mengakui bahwa menjaga bahasa juga menjaga adat, bahkan 
menjaga budaya yang menunjukkan gambaran kehidupan sebuah komunitas masyarakat. 
Menjaga bahasa juga menjaga budaya. Orang dapat dinilai budayanya melalui 
bahasa yang digunakannya.
Saya sangat sependapat dengan saudara Muhammad Thalal bahwa apabila bahasa Aceh 
tidak dijaga maka kita akan menanti kepunahannya. Jika bahasa telah punah, 
berarti budaya yang kita banggakan akan ikut terimbas punah. Salah satu 
penyebab kepunahan bahasa adalah karena malu berbahasa (Serambi Indonesia, 
11-11-2007).
Namun, tidak hanya bahasa yang perlu dijaga sebagai bahagian dari adat dan 
budaya yang telah dibangun endatu jameun, juga hal-hal lain, termasuk 
kebersamaan tradisi teut apam (tradisi yang berlaku pada saat tiba bulan Rajab) 
merupakan sebuah tradisi yang turun-temurun dalam masyarakat. Tradisi ini 
menunjukkan hubungan kekerabatan yang akrab antarsesama anggota masyarakat. 
Bayangkan, sebuah rumah yang melaksanakan teut apam (serabi Aceh) seluruh 
masyarakat dalam gampong tersebut dapat mencicipinya dengan cara diantar oleh 
yang empunya khanduri ke rumah-rumah warga lain. Ini merupakan sebuah 
solidaritas yang tinggi, yang telah dibangun menjadi adat dan tradisi yang tak 
terpisahkan dalam masyarakat. Namun, sekarang fenomena ini telah sangat jauh 
berubah, gessel salf yang dulunya ditunjukkan masyarakat dan menjadi identitas 
dari kultur Aceh, berubah menjadi gemmel salf yang lebih menonjolkan sifat 
individualisme dalam masyarakat. Kebersamaan tidak lagi dapat
 dipertahankan.
Sebuah tradisi tempo dulu di sebahagian masyarakat Aceh terutama daerah Pidie, 
Aceh Utara, dan Aceh Besar ada istilah Ceumeulho Pade (merontokkan padi). Yang 
dimaksud dalam tradisi ini bukanlah dengan menggunakan mesin perontok seperti 
sekarang, tapi menggunakan kaki sebagai pengganti mesin perontok. Ini dilakukan 
warga secara gotong royong tanpa meminta imbalan apa pun dari saudaranya yang 
dibantu. Fakta ini telah pudar dalam masyarakat Aceh sekarang.
Melihat ini, sebuah pertanyaan besar timbul dari lubuk hati kita, apakah adat 
Aceh bisa dipertahankan kembali seiring terjadinya berbagai dilema yang merusak 
nilai-nilai adat serta kurangnya minat generasi muda untuk melestarikan adat? 
Pertanyaan besar ini akan terjawab jika kita mampu dan mau melakukan kembali 
revitalisasi peran fungsi adat dalam kehidupan kita. Untuk mendukung itu semua 
masyarakat Aceh diharapkan mampu menjaga nilai-nilai budaya adat (indetitas 
keacehannya), baik dalam konsep nilai primer dan juga nilai sekunder. 
Kluck Khonn mengatakan bahwa “nilai merupakan “a conception of desirable” yang 
memiliki beberapa tingkatan, yaitu nilai primer dan juga nilai sekunder. Nilai 
primer merupakan pandangan hidup bagi suatu masyarakat, misalnya kejujuran, 
keadilan, keluhuran budi dan lain-lain. Nilai sekunder adalah nilai-nilai yang 
berhubungan dengan kegunaan, misalnya dasar-dasar menerima keluarga berencana 
atau untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi.
Kemajuan yang ingin dicapai hendaknya jangan memudarkan nilai adat yang telah 
diperjuangkan oleh endatu terdahulu. Bagaimana dulunya para endatu kita mampu 
menyelesaikan sengketa tanpa harus ke meja hijau.  Bagaimana endatu kita 
sanggup seiya dan sekata sehingga lahir semboyan lam baten sama rata. Bagaimana 
pula endatu kita sanggup melakukan kerja, bergotong royong walau tanpa dibayar 
sepeser pun. Hal-hal inilah yang mungkin perlu kita gali dan tumbuhkan kembali.
Menumbuhkan kembali semangat lam bateen sama rata, merupakan hal yang sangat 
diperlukan dalam konteks dunia sekarang. Lewat tulisan singkat ini penulis 
megajak kita untuk mengingat kembali pesan para ureung tuha terdahulu bahwa 
mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita. Marilah sama-sama kita 
mempertahankan kembali tradisi dan adat Aceh sebagai sebuah way of live yang 
didukung oleh penguatan syari’at Islam. Mudah-mudahan kejayaan tempo dulu dapat 
digapai kembali walau dalam konteks dunia maju dan modern. Amin.[]
Penulis adalah Santri Dayah Tgk. Chik di Reung-Reung Kec. Kembang Tanjong Kab. 
Pidie


      Be smarter than spam. See how smart SpamGuard is at giving junk email the 
boot with the All-new Yahoo! Mail.  Click on Options in Mail and switch to New 
Mail today or register for free at http://mail.yahoo.ca 

Kirim email ke