http://www.antara.co.id/arc/2008/2/3/linggawaty-hakim-perajut-benang-diplomasi-ri-swedia/

03/02/08 01:30

Linggawaty Hakim, Perajut Benang Diplomasi RI-Swedia


London (ANTARA News) - Tugas negara yang dibebankan di pundak perempuan 
berkulit kuning langsat dan berpenampilan bersahaja itu bukanlah hal yang 
mudah. Ia menjadi perajut benang hubungan diplomasi Republik Indonesia (RI) 
dengan Kerajaan Swedia yang sempat kusut lantaran kasus Gerakan Aceh Merdeka 
(GAM).

Tugasnya sebagai Duta Besar (Dubes) Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk 
Kerajaan Swedia yang menjunjung tinggi masalah Hak Azasi Manusia (HAM), bagi 
Linggawati Hakim dijalaninya secara tekun. Apalagi, ia merangkap tugas yang 
sama untuk Republik Latvia.

Selama empat tahun Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Stockholm, 
Swedia, yang berhimpitan di antara gedung apartemen rumah tinggal di 
Sysslomansgatan 18 - 1tr, 112 41 Stockholm, tidak memiliki Dubes, menyusul 
hubungan RI-Swedia yang kurang harmonis dengan adanya kasus GAM.

Banyak aktivis GAM selama puluhan tahun bermukim di Swedia. Bahkan, mereka 
membentuk organisasi yang disebutnya sebagai pemerintahan dipimpin Hasan Tiro. 
Namun, konflik RI-GAM terhenti dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman 
(Memorandum of Understanding/MoU) Damai di Helsinksi, Finlandia, pada 15 
Agustus 2005.

Pengangkatan Linggawaty Hakim sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh 
RI untuk Kerajaan Swedia dan Republik Latvia pada November 2006 menjadi 
tantangan bagi alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) di 
Bandung itu. Bahkan, baginya hal tersebut sekaligus menjadi puncak karirnya 
sebagai seorang perempuan diplomat dewasa ini.

Beruntung Linggawaty, yang berhasil meraih gelar Master of International Law 
dari University of Stockholm, Swedia, itu pernah bertugas sebagai diplomat muda 
di negeri tersebut.

KBRI Stockholm pada 1988 - 1991 adalah debutannya selaku diplomat, sehingga 
membuat Kerajaan Swedia dengan pemerintahan monarki konstitusional menjadi 
tidak asing lagi baginya.

"Profesor yang mengajar saya di universitas dulu merasa bangga, karena salah 
seorang muridnya menjadi duta besar," ujar Linggawaty dalam wawancara khusus 
dengan ANTARA News di ruang kerjanya.

Mengenakan busana jas hitam bergaris yang dipadu celana panjang dan blus merah, 
serta tanpa perias wajah, Linggawati Hakim menerima tamunya di ruang kerjanya 
yang tidak terlalu mewah sebagai kantor utusan resmi dari Presiden Indonesia 
itu.

Alunan nada dari seperangkat alat musik yang terletak di pojok ruangan 
terdengar sesayup. Kondisi apartemen perumahan berjendela kaca dilengkapi 
seperangkat sofa, dan menyatu dengan ruang kerja Linggawaty selaku Dubes RI 
membuatnya sempat khawatir terhadap keselamatan dirinya.

"Coba bayangkan bila ada orang yang iseng melempar batu atau bom, bisa langsung 
mengenai saya," ujar Linggawati sambil melepas tawa.

Ia pun menuturkan serangkaian tugas yang dilakoninya, antara lain menjaga citra 
KBRI Stockhom yang di masa lalu sempat dituduh ada praktik korupsi, kemelut RI 
dengan GAM pimpinan Hasan Tiro yang sakit-sakitan, dan kegiatannya mengikuti 
kegiatan para perempuan Dubes di Swedia.

Linggawaty hingga kini terus berupaya merajut hubungan bilateral di antara 
pemerintah dan bangsa Indonesia dengan Swedia, yang berpenduduk sekira sembilan 
juta, menjadi kian erat.

Mulai dari hubungan politik, ekonomi, sosial dan budaya, termasuk program 
pariwisata guna menyukseskan Tahun Kunjungan ke Indonesia (Visit Indonesia 
Year/VIY) 2008 terus disusun secara pasti oleh diplomat karir Departemen Luar 
Negeri (Deplu) RI yang pernah berdinas di Perwakilan Tetap RI (PTRI) untuk 
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York itu, sehingga menampakan hasil 
nyata.

Salah satu langkah nyata adalah terbentuknya Dialog Hak Asasi Manusia (HAM) di 
antara RI-Swedia, ujar mantan Kepala Bidang Politik (Kabidpol) Perwakilan RI 
untuk Uni Eropa (UE) yang berkedudukan di Brussels, Belgia, tersebut.

Menurut Linggawati, dialog itu bertujuan lebih menekankan pada aksi nyata 
(concrete action), antara lain dengan pertukaran pengalaman bagi kedua negara 
untuk memajukan dan mempromosikan HAM.

Dengan adanya Dubes HAM Swedia di PBB yang dijabat oleh Jan Axel Nordlander, 
menurut dia, maka memudahkan bagi kedua negara melakukan berbagai dialog, 
malahan dalam beberapa kasus khusus Swedia justru ingin banyak belajar dari 
Indonesia.

Pemerintah Swedia mengalami kesulitan dengan banyaknya pendatang dari negara 
Timur Tengah yang membuat warga negara Muslim di negeri itu mencapai 300.000 
orang, di tengah beredarnya isu rasis-agamis. Tahun lalu, antara lain ditandai 
dengan beredarnya kartun Nabi Muhammad SAW yang membuat Swedia merasa kewalahan 
menghadapi hujatan kalangan Muslim dan negara Islam sedunia.

"Oleh karena itu, Swedia mengharapkan Indonesia dapat menjembatani berbagai 
kepentingan itu," ujar Linggawaty.

Berkaitan dengan hal itulah, ia berharap akan adanya kunjungan di level tingkat 
atas dalam upaya membicarakan berbagai kepentingan kedua negara. Bahkan, 
Pemerintah Swedia merencanakan kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu)-nya ke 
Indonesia.

"Saya tengah melakukan penjajakan dan menentukan tanggal pastinya," katanya.

Menyinggung hubungan ekonomi kedua negara, Linggawaty merasa masih prihatin 
dengan kecilnya nilai ekspor Indonesia ke Swedia yang baru senilai 92,9 juta 
dolar Amerika Serikat (AS), padahal nilai impor Indonesia dari Swedia bernilai 
350,9 juta dolar AS.

Namun, ia optimistis bahwa penanaman modal Swedia ke Indonesia bakal meningkat, 
apalagi di bidang pengembangan pusat energi alternatif "bio fuel" dari biji 
jarak bernilai investasi mencapai 300 juta dolar AS.

Manakala membicarakan suka dukanya selaku Dubes RI di Swedia, Linggawaty tampak 
tidak bisa menyembunyikan kegembiraanya saat bercerita pengalaman layaknya 
Putri Cinderela saat menyerahkan surat kepercayaan penugasannya dari Presiden 
Susilo Bambang Yudhoyono kepada Raja Carl XVI Gustaf di Istana Kerajaan Swedia.

Berkereta kuda, Linggawaty Hakim dibawa menuju Istana Kerajaan Swedia, kemudian 
disambut dengan penghormatan barisan yang terdiri atas marching band dan 
barisan pengawal kerajaan.

"Waktu itu, saya sempat hanya berdua dengan Raja, dan kami sempat bertukar 
cerita," katanya. Linggawaty yang lulusan pendidikan pasca-sarjana di Swedia 
memang sangat fasih berbahasa negeri kerajaan tersebut.

Usai menyerahkan surat kepercayaan, Linggawaty langsung merajut benang 
diplomasi RI-Swedia, agar menjadi lebih erat. Salah satu upayanya adalah segera 
menghubungi sang profesor yang menjadi promotor tugas kerjanya saat meraih 
gelar Master of International Law dari University of Stockholm.

"Saya halo-halo ke semua orang, dan mengundang mereka makan," ujarnya membuka 
sekelumit kiat dalam mengawali tugas.

Dengan demikian, para diplomat dan kalangan pemerintah di Swedia mengakui 
keberadaannya, sehingga kemudian mempermudah tugas Linggawaty menjadi Dubes RI.

"Saya banyak dibantu, dan ini merupakan langkah positif," ujarnya. Ia pun tidak 
mengingkari bahwa naluri keperempuanan dan pendekatan personal yang beretika 
memudahkannya berdiplomasi. 

Linggawati mengemukakan, selain bergabung dalam kelompok diplomat Perhimpunan 
Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Swedia, ia juga tergabung dan membentuk 
kelompok Perempuan Dubes (Ladies Ambassador). Di Stockholm terdapat sebanyak 21 
orang Perempuan Dubes, dan menjadi salah satu kelompok terkenal di dunia 
diplomasi, lantaran baru ada di Swedia.

"Kami dijuluki dengan The Most Powerfull Group, karena dalam setiap pertemuan 
kita mengundang para pembicara dari berbagai kalangan, bahkan para menteri 
sangat senang bila diundang oleh kelompok ini," katanya. 

Ketika ditanya mengenai Pekerjaan Rumah (PR) yang perlu segera dituntaskan, 
Linggawaty pun mengemukakan bahwa keberadaan KBRI Stockholm masih 
memprihatinkan, apalagi sewa gedungnya akan habis pada akhir 2008.

Selain itu, pihak KBRI Stockholm agaknya memerlukan Wisma Duta guna memudahkan 
penginapan bagi tamu negara dari Indonesia yang bertugas atau berkunjung 
singkat di ibukota Swedia itu.

"Kapan lagi, kalau tidak dari sekarang KBRI Stockholm memiliki gedung sendiri 
yang representatif? Hal yang perlu diperhatikan juga masalah keamanan dan citra 
Indonesia di kalangan diplomat dunia. Saya sempat merasa malu sewaktu menteri 
Swedia ingin datang ke kantor," demikian komentar Dubes Linggawaty Hakim. (*)

Kirim email ke