http://www.gatra.com/artikel.php?id=111292


Aceh
Rapor Merah Penyediaan Rumah


Dengan sepatu sportnya yang rombeng, Muhammad Ali, 50 tahun, berjalan 
tertatih-tatih. Ia mengelilingi barak hunian --hal yang disebutnya sebagai 
olahraga-- di kawasan Stadion Lhong Raya, Kecamatan Banda Raya, Kota Banda 
Aceh. Kaki sebelah kirinya tidak lagi berfungsi sempurna. "Dihantam drum 
sewaktu tsunami," ucapnya.

Saat gempa bumi dan tsunami menghantam Aceh, 26 Desember 2004 lalu, Ali mengaku 
tinggal di kawasan Peunayoeng, Banda Aceh. Kini ia menjadi salah satu penghuni 
salah satu barak sementara di kawasan Stadion Lhong Raya. Keluarga? "Sudah 
tidak ada lagi," ujarnya singkat. Ali adalah salah satu penghuni di antara 
sekitar 80 kepala keluarga (KK) yang masih bertahan di tempat itu.

Sebelumnya, jumlah penghuni barak jauh lebih banyak. "Ada yang sudah dapat 
(rumah), ada yang belum seperti kami," kata Helmi, 28 tahun, seorang penghuni 
lainnya. Sampai saat ini, Helmi mengaku belum mendapatkan kabar tentang bantuan 
rumah, baik dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) maupun dari 
lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya yang bertebaran di Aceh. "Tsunami sudah 
berlalu tiga tahun, tapi kami masih tinggal di barak," ujar Helmi, gemas.

Kondisi baraknya memprihatinkan. Lantai barak yang terbuat dari kayu terlihat 
rapuh, sanitasi tak terurus, bahkan air bersih masih belum tersedia maksimal. 
"Untuk buang air besar saja kami tidak tahu harus ke mana," kata Helmi. Akibat 
kondisi itu, beberapa pengungsi kini terserang penyakit, seperti sakit perut 
dan demam. Waktu tiga tahun sepertinya telah melunturkan rasa iba para pemberi 
bantuan. Tak ada lagi bantuan obat-obatan atau makanan yang diterima mereka.

Di Stadion Lhong Raya sendiri masih terdapat tiga tempat penampungan korban 
tsunami. Sebagian besar pengungsi berasal dari seputaran kota Banda Aceh. 
Jumlahnya diperkirakan mencapai 250 kepala keluarga. "Di shelter terdapat 
sebanyak lebih kurang 149 KK. Rata-rata satu kepala keluarga itu tiga orang," 
kata Zulkarnaini, koordinator dua shelter dari Palang Merah Australia (ARC).

Zulkarnaini adalah pengungsi asal Ule Lhee, kawasan bibir pantai Banda Aceh. 
Hampir satu tahun dia menetap di shelter itu. Beberapa kali pihaknya mendatangi 
BRR. Mereka meminta agar BRR membebaskan tanah di Desa Ule Tui, Banda Aceh. 
Tanah tersebut bisa digunakan sebagai pengganti tanah dan rumah mereka yang 
kebanyakan sudah tergerus air laut. Tapi, hingga kini, permohonan mereka di 
BRR, tak jelas nasibnya. "Seharusnya, BRR itu bisa lebih canggih, lebih cepat," 
kata Zulkarnaini.

Selama hampir tiga tahun bekerja di bumi Serambi Mekkah itu, pihak BRR 
mengklaim telah membangun 107.000 unit rumah. Bahkan, hingga April 2008, ia 
memasang target untuk menuntaskan pembangunan hingga 120.000 unit rumah. 
Menurut Chief Operating Officer BRR, Eddy Purwanto, sesuai dengan target yang 
diberikan, setelah April 2008 tak ada pembangunan rumah lagi. "Tapi, jika ada 
yang mengaku belum dapat, dan kita verifikasi ternyata dia berhak, akan kita 
bangun," ujar Eddy kepada Gatra.

Toh, tak semua percaya dengan data yang dirilis BRR. "Gerak (Gerakan 
Antikorupsi) adalah lembaga yang meragukan data BRR," ujar Akhirudin Mahyudin. 
Koordinator lembaga antikorupsi di Aceh ini membeberkan sejumlah temuan yang 
didapat dari hasil investigasi dia dan teman-temannya. Data yang dilansir BRR 
itu, kata Akhirudin, termasuk rumah yang baru selesai 10% saja. Bahkan ada yang 
baru tahap kontraknya.

Dalam laporan tanggal 31 Mei 2007, misalnya. BRR mengklaim telah membangun 
77.194 unit rumah. Dari jumlah itu, katanya, yang dibangun BRR sendiri sebanyak 
21.292 unit dan selebihnya (55.902 unit) ditangani LSM. Data 21.292 unit rumah 
yang dibangun BRR itu, menurut Akhirudin, ternyata termasuk angka rumah yang 
baru selesai dalam urusan perjanjian kontrak dengan pengembang dan sama sekali 
belum dikerjakan di lapangan.

Hal yang sama ditemukan Gerak pada laporan BRR bulan Juli 2007. BRR mengklaim 
telah membangun 91.540 unit rumah. Namun, dari temuan Gerak, data itu tak 
akurat. Data rumah yang disajikan ternyata sebagian belum dikerjakan, baru 
mulai ditangani kontraktor. Bahkan, hampir 1.879 unit pembangunan rumah 
ditinggalkan kontraktor begitu saja tanpa dilanjutkan pembangunannya sarananya.

Kejanggalan data yang dipublikasikan BRR itu, menurut Akhirudin, sudah 
berlangsung sejak tahun sebelumnya. Hingga April 2007, fakta yang didapat Gerak 
bertolak belakang dari kenyataan. Rumah yang baru diselesaikan BRR sesungguhnya 
hanya 13.300 unit.

Dari sisi kualitas, Gerak juga menilai banyak masalah yang muncul dalam 
pembangunan rumah korban tsunami. Ketidaksesuaian spesifikasi rumah, 
penyimpangan penggunaan material, termasuk pemakaian bahan asbes yang dianggap 
sebagai bahan berbahaya, menurut Akhirudin, menjadi hal yang lumrah. Praktek 
penyimpangan ini, menurut Akhirudin, karena banyaknya kontraktor hitam yang 
ikut bermain di air keruh.

Gerak mencatat tak kurang dari 226 kontraktor pembangunan di Aceh dan Nias yang 
masuk daftar hitam. Selain kontraktor lokal, kontraktor nasional juga ada yang 
masuk daftar hitam Gerak. Di antaranya, PT Equipindo Perkasa. Perusahaan yang 
beralamat di Kelapa Gading, Jakarta Utara, ini sempat disidik pihak kepolisian 
Aceh. Perusahaan perdagangan umum ini dituding melakukan pemalsuan dokumen 
dalam kasus tender pengadaan alat berat senilai Rp 57,9 milyar.

BRR sendiri membantah semua temuan Gerak tersebut. Menurut Eddy Purwanto, data 
rumah yang disajikan BRR adalah rumah yang sudah selesai dibangun. Sedangkan 
rumah yang masih dalam tahap pengerjaan ataupun yang masih dalam proses 
negosiasi kontrak tidak masuk dalam hitungan.

"Jadi, yang namanya rumah selesai adalah rumah selesai. Bukan yang baru 
kontrak," Eddy menegaskan. Deputi infrastruktur BRR ini juga membantah jika 
kualitas rumah yang dibangun BRR dibilang buruk dan mengkhawatirkan. Jika pun 
ada yang bermasalah, menurut Eddy, jumlahnya tak seberapa. Itu pun sebagian 
sudah diperbaiki setelah BRR menegur kontraktor rumah tersebut.

Eddy juga menjamin, semua pengungsi yang berhak atas rumah bakal kebagian rumah 
permanen. Jikapun masih ada yang tinggal di barak pengungsi, menurut Eddy, 
karena tak semua berhak atas rumah. Mereka yang benar-benar kehilangan tanah 
dan rumah saja yang berhak atas rumah itu. "Kita tahu mana yang berhak, mana 
yang tidak, dan kita punya daftarnya kok," ujar Eddy.

Qahar Muzakar (Banda Aceh)
[Ekonomi, Gatra Nomor 9 Beredar Kamis, 10 Januari 2008

<<6.jpg>>

Kirim email ke