Tahukah Anda: Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih 
Hidup. Sejarah Oleh : Redaksi Swaramuslim .21 Apr 2007 - 1:00 am

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, 
di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat 
ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku 
sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para 
pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, 
bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang 
orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk 
menghancurkan Islam? 

Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai 
tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku 
sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak 
seorang tokoh di zamannya.

Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi 
Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para 
pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini 
sudah ramai saat itu.

Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, 
Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah 
soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in 
Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak 
penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad 
kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa 
jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan 
Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-
benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di 
selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, "Museum Nasional di Jakarta 
memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera 
Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di 
antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 
SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini 
dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah 
sering dijarahÂ…" Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum 
tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan 
hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan 
antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang 
dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki 
wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di 
selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; 
Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, "kerajaan-kerajaan kecil" 
yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang 
terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. 
Pangeran Aji Saka sendiri baru "diketahui" memulai sistem penulisan 
huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa 
antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah 
berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, 
Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. 
Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan 
mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan 
Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan 
Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan 
yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para 
pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts 
menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan 
Nusantara saat itu.

"Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat 
persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina 
sejak abad kelima Masehi, " tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan 
saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang 
seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 
tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan 
setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada 
bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah 
perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah 
Kerajaan Budha Sriwijaya.

Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan 
telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan 
menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah 
beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai 
didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur'an dan pengajaran tentang 
Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga 
merupakan tempat beribadah (masjid).

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang 
pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah 
menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam 
di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa 
penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah 
masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa 
temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah 
dunia Islam di Princetown University di Amerika.

Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah 
pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga 
disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang 
berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer 
selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam 
wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan 
digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam 
wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari 
seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-
sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, 
Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang 
Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada 
abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat 
Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang 
dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu 
kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi 
pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau 
sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal 
sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad 
ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, 
Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 
Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah 
ada pada era itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D'extreme-
Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat 
Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah 
menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi 
sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti 
Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, 
Bengkulu, dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang 
usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan 
di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari 
orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka 
memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat 
maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada 
juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang 
bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-
pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat 
raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula 
penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, 
atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan 
jalan damai (Rz/eramuslim)

Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya "The Preaching of Islam" 
(1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh 
mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal 
abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, 
menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, 
seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah 
mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. 
Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese 
and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, 
hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu 
nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun 
bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan 
bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, 
Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk 
ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat 
dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di 
tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua 
(kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah 
secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar 
kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah 
secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada 
sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi 
hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam 
secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah 
perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf 
Al-Qur'an, karena mushaf Al-Qur'an baru selesai dibukukan pada zaman 
Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur'an 
pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif 
Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang 
penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San'a di Yaman, (4) 
Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang 
sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur'an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi 
dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-
naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa 
dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di 
antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu 
maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur'an itu 
merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu 
mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan 
membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang 
diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di 
dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua 
peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di 
dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh 
kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz 
naskah asli Al-Qur'an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari 
Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah 
dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou'yb, Sejarah 
Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini 
berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para 
al-Huffadz atau penghapal al-Qur'an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan 
Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan 
sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—
perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun 
sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan 
baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan 
kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah 
yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran 
dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, 
setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab 
Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam 
bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan 
mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, 
konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika 
tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 
Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan 
sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, 
setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang 
mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab 
Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan 
Ali bin Abi Thalib r. A..

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara 
sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah 
masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih 
berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat 
menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah 
ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari 
keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, 
dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari 
Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

"Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan 
Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan 
baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau 
itu," ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab 
disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut 
sebagai Tan mi mo ni'. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni', utusan 
Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 
Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah 
Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan 
demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam 
di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman 
bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah 
Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha 
dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang 
Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan 
singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.

Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah 
yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam 
di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India 
(Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari 
Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, 
mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam 
perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh 
sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan 
sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah 
Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah 
Arab dengan Sumatera.

Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para 
pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit 
yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera 
maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah 
di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda 
Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada 
yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di 
daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera 
(sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi 
ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh 
ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari 
Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan 
dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera 
menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh 
inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para 
pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan 
sebutan Serambi Makkah.(Rz, Tamat/eramuslim)


Kirim email ke