Aceh Tidak Pernah Berontak Pada NKRI
Oleh : Redaksi Swaramuslim (12 Apr, 07 - 7:00 pm)

Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, 
beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Nangroe Aceh 
Darussalam, kita sering mendengar istilah `pemberontakan rakyat 
Aceh' atau `pemberontakan Aceh' terhadap Negara Kesatuan Republik 
Indonesia (NKRI).

Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden 
penerusnya, sejumlah `kontingen' pasukan dari berbagai daerah—
terutama dari Jawa—dikirim ke Aceh untuk `memadamkan' pemberontakan 
ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah `pemberontakan' yang 
dilakukan Aceh terhadap NKRI.

Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan 
kurang tepat? Karena sesungguhnya—dan ini fakta sejarah—bahwa 
Naggroe Aceh Darussalam sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, 
namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah 
ini, "berontak" dengan "menarik kesepakatan" merupakan dua hal yang 
sangat berbeda.

Sudah Merdeka Sebelum NKRI Lahir
NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. 
Sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam sudah berabad-abad sebelumnya 
merdeka, memiliki hukum kenegaraan (Qanun)nya sendiri, menjalin 
persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah 
menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Tuki Utsmaniyah.

Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak 
abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan 
Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru 
merdeka di abad ke -20?

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan negara berdaulat yang sama sekali 
tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua 
kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk 
menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, 
walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-
pusat negerinya.

Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada 
rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, 
Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat 
berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.

Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak rakyat 
Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, 
berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan 
diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai "Negara" yang merdeka dan 
berdaulat.

Istilah "Indonesia" sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika 
diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang 
manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, 
dan mandiri, sedang "Indonesia" masih berupa jabang bayi yang untuk 
makan sendiri saja belumlah mampu melakukannya.

Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh 
sebagai "Rakyat Aceh", tapi tidak pernah menyebut hal yang sama 
untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut 
orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat 
Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya rakyat Aceh. Karena Aceh 
sedari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.

Dipersatukan Oleh Akidah Islamiyah
Kesediaan rakyat Aceh mendukung perjuangan bangsa Indonesia, bahkan 
dengan penuh keikhlasan menyumbangkan segenap sumber daya manusia 
dan hartanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia—lebih dari 
daerah mana pun di seluruh Nusantara, adalah semata-mata karena 
rakyat Aceh merasakan ikatan persaudaraan dalam satu akidah dan satu 
iman dengan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.

Ukhuwah Islamiyah inilah yang mempersatukan rakyat Aceh dengan 
bangsa Indonesia. Apalagi Bung Karno dengan berlinang airmata pernah 
berjanji bahwa untuk Aceh, Republik Indonesia akan menjamin dan 
memberi kebebasan serta mendukung penuh pelaksanaan syariat Islam di 
wilayahnya. Sesuatu yang memang menjadi urat nadi bangsa Aceh.

Namun sejarah juga mencatat bahwa belum kering bibir Bung Karno 
mengucap, janji yang pernah dikatakannya itu dikhianatinya sendiri. 
Bahkan secara sepihak hak rakyat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri 
dilenyapkan. Aceh disatukan sebagai Provinsi Sumatera Utara. Hal ini 
jelas amat sangat menyinggung harga diri rakyat Aceh.

Dengan kebijakan ini, pemerintah Jakarta sangat gegabah karena sama 
sekali tidak memperhitungkan sosio-kultural dan landasan historis 
rakyat Aceh. Bukannya apa-apa, ratusan tahun lalu ketika masyarakat 
Aceh sudah sedemikian makmur, ilmu pengetahuan sudah tinggi, dayah 
dan perpustakaan sudah banyak menyebar seantero wilayah, bahkan 
sudah banyak orang Aceh yang menguasai bahasa asing lebih dari empat 
bahasa, di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Provinsi Sumatera 
Utara pada waktu itu, manusia-manusia yang mendiami wilayah itu 
masih berperadaban purba. Masih banyak suku-suku kanibal, belum 
mengenal buku, apa lagi baca-tulis. Hanya wilayah pesisir yang sudah 
berperadaban karena bersinggungan dengan para pedagang dari banyak 
negeri.

Saat perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda pun, bantuan 
dari Aceh berupa logistik dan juga pasukan pun mengalir ke Medan 
Area. Bahkan ketika arus pengungsian dari wilayah Sumatera Utara 
masuk ke wilayah Aceh, rakyat Aceh menyambutnya dengan tangan 
terbuka dan tulus. Jadi jelas, ketika Jakarta malah melebur Aceh 
menjadi Provinsi Sumatera Utara, rakyat Aceh amat tersinggung.

Tak mengherankan jika rakyat Aceh, dipelopori PUSA dengan Teungku 
Daud Beureueh, menarik kembali janji kesediaan bergabung dengan 
Republik Indonesia di tahun 1953 dan lebih memilih untuk bergabung 
dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih dulu diproklamirkan 
S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Ini semata-mata demi kemaslahatan 
dakwah dan syiar Islam. Dengan logika ini, Aceh bukanlah berontak 
atau separatis, tapi lebih tepat dengan istilah: menarik kembali 
kesediaan bergabung dengan republik karena tidak ada manfaatnya.

Pandangan orang kebanyakan bahwa Teungku Muhammad Daud Beureueh dan 
pengikutnya tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan a-
historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa rakyat 
Aceh dan Daud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-
gempita dan sumpah setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan 
yang ada berjibaku mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi 
rongrongan konspirasi Barat.


Cara Pandang `Majapahitisme'
Mengatakan Aceh pernah melakukan pemberontakan terhadap NKRI 
merupakan cara pandang yang berangkat dari 
paradigma `Majapahitisme'. Bukan hal yang perlu ditutup-tutupi bahwa 
cara pandang Orde Lama maupun Baru selama ini terlalu Majapahitisme' 
atau Jawa Sentris, semua dianggap sama dengan kultur Jawa Hindu. 
Bahkan simbol-simbol negara pun diistilahkan dengan istilah-istilah 
sansekerta, yang kental pengaruh Hindu dan paganisme yang dalam 
akidah Islam dianggap sebagai syirik, mempersekutukan Allah SWT dan 
termasuk dosa yang tidak terampunkan.

Bukankah suatu hal yang amat aneh, suatu negeri mayoritas Islam 
terbesar dunia tapi simbol negaranya sarat dengan istilah Hindu. Ini 
merupakan suatu bukti tidak selarasnya aspirasi penguasa dengan 
rakyatnya. Padahal Islam tidak mengenal, bahkan menentang mistisme 
atau hal-hal berbau syirik lainnya. Rakyat Aceh sangat paham dan 
cerdas untuk menilai bahwa hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang 
tidak bisa diterima.

Sosio-kultural raja-raja Jawa sangat kental dengan nuansa Hinduisme. 
Raja merupakan titisan dewa, suara raja adalah suara dewa. Sebab 
itu, di Jawa ada istilah "Sabda Pandhita Ratu" yang tidak boleh 
dilanggar. Raja di Jawa biasa berbuat seenaknya, bisa menciptakan 
peraturanya sendiri dan tidak ada yang protes ketika dia 
melanggarnya. Malah menurut beberapa literatur sejarah, ada raja-
raja di Jawa yang memiliki hak untuk "mencicipi keperawanan" setiap 
perempuan yang disukainya di dalam wilayah kekuasaannya. Jadi, 
ketika malam pengantin, mempelai perempuan itu bukannya tidur dengan 
sang mempelai laki, tetapi dengan rajanya dulu untuk dicicipi, 
setelah itu baru giliran sang mempelai lelaki.

Ini sangat bertentangan dengan sosio-kultural para Sultan dan 
Sultanah di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam Islam, penguasa adalah 
pemegang amanah yang wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di 
hari akhir kelak kepada Allah SWT.

Kerajaan Aceh Darussalam saat diperintah oleh Sultan Iskandar Muda 
telah memiliki semacam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan 
Permusyawaratan Rakyat (DPR-MPR) yang hak dan kewajibannya telah di 
atur dalam `Konstitusi Negara" Qanun Meukota Alam. Ada pula Dewan 
Syuro yang berisikan sejumlah ulama berpengaruh yang bertugas 
menasehati penguasa dan memberi arahan-arahan diminta atau pun 
tidak. Aceh juga telah memiliki penguasa-penguasa lokal yang 
bertanggungjawab kepada pemerintahan pusat. Jadi, seorang penguasa 
di Kerajaan Aceh Darussalam tidak bisa berbuat seenaknya, karena 
sikap dan tindak-tanduknya dibatasi oleh Qanun Meukuta Alam yang 
didasari oleh nilai-nilai Quraniyah.

Jadi, jelaslah bahwa sosio-kultur antara Nanggroe Aceh Darussalam 
dengan kerajaan-kerajaan Hindu amat bertolak-belakang.

Nangroe Aceh Darussalam bersedia mendukung dan menyatukan diri 
dengan NKRI atas bujukan Soekarno, semata-mata karena meyakini tali 
ukhuwah Islamiyah. Namun ketika Aceh dikhianati dan bahkan di masa 
Orde Lama maupun Orde Baru diperah habis-habisan seluruh sumber daya 
alamnya, disedot ke Jawa, maka dengan sendirinya Aceh menarik 
kembali kesediaannya bergabung dengan NKRI. Aceh menarik kembali 
kesepakatannya, bukan memberontak. Ini semata-mata karena kesalahan 
yang dilakukan "Pemerintah Jakarta" terhadap Nanggroe Aceh 
Darussalam.

Dan ketika Nanggroe Aceh Darussalam sudah mau bersatu kembali ke 
dalam NKRI, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia meletakkan 
senjatanya dan memilih jalan berparlemen, Aceh sekarang dipimpin 
seorang putera daerahnya lewat sebuah pemilihan yang sangat 
demokratis, maka sudah seyogyanya NKRI memperlakukan Aceh dengan 
adil dan proporsional.

Puluhan tahun sudah Aceh menyumbangkan kekayaannya untuk 
kesejahteraan seluruh Nusantara, terutama Tanah Jawa, maka sekarang 
sudah saatnya "Jawa" membangun Aceh. Mudah-mudahan `kesepakatan' ini 
bisa menjadi abadi, semata-mata dipeliharanya prinsip-prinsip 
keadilan dan saling harga-menghargai. (Rz/eramuslim)
-----


Kirim email ke