Aktivitas "Vulture Investor" Mereka Bisa Tega Membangkrutkan Perusahaan demi Keuntungan
Oleh: Iman Sugema Istilah vulture investor belum populer dipahami oleh khalayak di Indonesia, padahal aktivitasnya sudah begitu mewabah sejak aset-aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional mulai dijual dan direstrukturisasi. Vulture investor pada dasarnya adalah para investor yang membeli surat berharga perusahaan-perusahaan yang sedang mengalami kesulitan finansial atau bahkan yang mengalami kebangkrutan dengan harga diskon. Dari investasi tersebut, mereka kemudian menuai hasil setelah perusahaan direstrukturisasi, atau dari hasil penjualan aset-aset perusahaan yang bangkrut. Sepengetahuan saya, hanya satu kasus yang secara jelas-jelas oleh media masa di dalam negeri diberitakan bahwa perusahaan Indonesia telah menjadi korban vulture investor, yakni Asia Pulp and Paper (APP). Jika diteliti lebih cermat, ratusan aset kredit eks BPPN yang telah menjadi mangsa empuk mereka. Vulture investor tampaknya masih akan menemukan mangsa lainnya karena masih banyak kredit macet dengan nilai puluhan triliun rupiah yang berada di Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) Depkeu, dan bank-bank yang portofolio kredit korporasinya besar. Hal yang mengkhawatirkan adalah dampak buruknya berupa kegagalan proses restrukturisasi sehingga perbankan harus menanggung beban yang lebih besar. Karena itu, ada baiknya pemerintah dan publik mengetahui secara jelas bahaya dan kerugian yang ditimbulkan oleh vulture investor. Ada empat kata kunci untuk memahami aktivitas investor yang satu ini, yaitu surat berharga, harga diskon, restrukturisasi, dan kebangkrutan. Dalam keadaan tertentu, kreditor ataupun pemegang saham memandang bahwa proses restrukturisasi dan prosedur kebangkrutan terlalu rumit dan penuh ketidakpastian. Karena itu, mereka rela untuk menjual kredit atau sahamnya kepada vulture investor dengan harga 10 sampai 20 sen untuk setiap satu dollar nilai nominalnya. Artinya, vulture melakukan spekulasi atas nilai sesungguhnya dari kredit atau surat berharga perusahaan yang bermasalah atau biasa disebut mengalami distress. Berdasarkan tindakannya, vulture investor dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni tipe nest builder dan migratory bird. Tipe yang pertama adalah investor yang memiliki komitmen jangka panjang dan terlibat langsung dalam penyelamatan perusahaan. Nest builder mengambil keuntungan dari pertumbuhan dan keuntungan perusahaan di masa yang akan datang setelah restrukturisasi selesai dilakukan. Berbeda dengan kelompok yang lainnya, tipe migratory bird adalah spekulator murni dan terkadang melakukan maksimalisasi keuntungan tanpa mempertimbangkan kepentingan perusahaan maupun kreditor lainnya. Kalau mereka memandang bahwa likuidasi atas aset perusahaan dan jaminan lainnya mampu menciptakan keuntungan yang besar dalam waktu yang singkat, mereka akan meminta penyelesaian (settlement) pembayaran melalui proses kebangkrutan dan menjual aset seperti barang rongsokan. The grave dancer Aktor Richard Gere secara pas memerankan tokoh ini dalam film Pretty Woman. Dia tidak peduli apakah ribuan pekerja dan keluarganya akan jatuh miskin akibat tindakannya. Hanya satu tujuannya, meraup keuntungan sebesar-besarnya. Karena itu, vulture investor seperti ini sering disebut the grave dancer, orang yang menari di atas penderitaan orang lain. Jika alternatif pemailitan tidak layak, restrukturisasi dan reorganisasi perusahaan dapat ditempuh. Berdasarkan strategi yang ditempuhnya, vulture investor dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu mereka yang bersama kreditor lainnya aktif dalam komite restrukturisasi dan mereka yang âbermainâ di luar komite. Komite ini bersama eksekutif perusahaan bertugas merancang, memutuskan, dan mengawasi restrukturisasi dan reorganisasi perusahaan. Biasanya yang ditempuh adalah pemotongan utang (bunga ataupun pokok), penjadwalan ulang waktu jatuh tempo, dan konversi utang menjadi saham. Pada prinsipnya adalah untuk menjamin bahwa pembayaran kewajiban harus sesuai dengan kemampuan membayar perusahaan, dan untuk menjamin bahwa semua kreditor diperlakukan secara adil (equal treatment). Keputusan komite hanya efektif jika mendapatkan dukungan mayoritas (75 persen) kreditor. Akan tetapi, tidak semua vulture investor memandang bahwa keputusan komite akan menguntungkan mereka. Hal ini terutama jika mereka memiliki klaim utang yang bersifat senior dan atau merasa berhak atas jaminan yang lebih bernilai. Dalam kasus seperti ini, prinsip keadilan justru dipandang tidak menguntungkan. Mereka biasanya mengajukan upaya hukum untuk menggagalkan restrukturisasi dengan tujuan untuk menguasai aset-aset yang dijaminkan. Praktik seperti ini dikenal dengan green mailing. Tentu hal ini akan merugikan kreditor lain karena kue yang dibagi menjadi lebih kecil. Strategi green mailing bisa membahayakan proses restrukturisasi, terutama jika vulture investor ditunggangi agenda perusahaan pesaing. Tujuannya tentu bukan hanya untuk mengeruk keuntungan, juga untuk menguasai jaminan kredit atau bahkan membangkrutkan perusahaan. Berdasarkan berita media masa, setidaknya ada satu perusahaan Indonesia yang jadi korban green mailing, yakni anak perusahaan APP yang terdiri atas PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk, PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli Pulp and Paper Mills, dan PT Lontar Papyrus Pulp and Paper Industry. Oaktree dan Gramercyâ"perusahaan vulture yang berbasis di Amerika Serikatâ"mengajukan tuntutan hukum di pengadilan New York dan meminta agar perjanjian restrukturisasi utang yang telah disetujui 93 persen kreditor tidak berlaku efektif. Dua vulture itu pemegang obligasi minoritas. Anehnya, mereka menuntut pembayaran tinggi, jauh di atas nilai sesungguhnya. Kalau saja tuntutan mereka dikabulkan, mereka memiliki hak membekukan dan melikuidasi aset APP di mana pun. Hal ini berarti tamatlah riwayat APP. Namun, tanggal 17 Mei 2005, pengadilan New York memutuskan untuk tidak mengabulkan tuntutan mereka. Kini mereka juga sedang mengajukan tuntutan hukum di berbagai tempat lainnya, termasuk di Indonesia. Hilary Rosenberg, penulis buku The Vulture Investors sendiri menyebut aktivis vulture adalah petarung gigih yang selalu berebut bangkai sekecil apa pun. Industri vulture di Indonesia telah berkembang pesat tanpa disadari konsekuensi negatifnya. Apalagi perangkat hukum kita sangat tidak memadai untuk menangkal hal ini. Akibatnya, restrukturisasi menjadi terkatung-katung dan bank semakin enggan menyalurkan kredit. Iman Sugema Direktur INDEF ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Try Online Currency Trading with GFT. Free 50K Demo. Trade 24 Hours. Commission-Free. http://us.click.yahoo.com/DldnlA/9M2KAA/U1CZAA/zMEolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> ---------------------------------------------------------- IMQ - THE REAL TIME DATA AND BUSINESS NEWS SERVICE ---------------------------------------------------------- Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/obrolan-bandar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/