Selasa, 01 Maret 2005 03:27 WIB
Penanganan Kasus Pasar Modal (2)
JAKARTA, Investor Daily Online
Terhimpit hendak di atas,
terkurung hendak di luar. Begitulah bunyi pepatah tua
Minangkabau untuk mengungkap perilaku orang-orang cerdik dan licin bagai ular.
Paras akan memerah, jika pepatah tua ini dialamatkan ke Badan pengawas Pasar
Modal (Bapepam) yang terkecoh oleh ulah pelaku kejahatan di pasar modal.
Bapepam sepertinya tak kuasa menjerat para pelakunya dengan hukuman maksimal.
Kalimat itu memang
bernada sinis. Namun, bila melihat fakta-fakta yang ada, pernyataan itu
tidaklah berlebihan. Misalnya, Mei 1995, Jopie Widjaja dengan leluasa
mengambilalih kepemilikan saham PT Bank Papan Sejahtera Tbk. Jopie menguasai
saham bank itu karena mampu memanfaatkan ‘kecerobohan’ aturan pasar modal yang
tidak mencantumkan tata cara take over atau tender offer.
Bapepam pun tak kuasa menahannya.
Walau para pakar getol
memperbincangkan take over ala Jopie, toh, transaksi itu tetap
merupakan sebuah transaksi bisnis. Tak ada kewajiban hukum yang mesti dipenuhi
Jopie Widjaja. Jopie kemudian melego 19,80% saham Bank Papan ke pihak Hashim
Djojohadikusumo. Hashim membeli saham dari Jopie Widjaja dengan harga Rp 4.500
per saham lembar. Dari penjualan saham Bank Papan itu, pemilik perusahaan
taksi Steady Safe itu mampu meraup untung besar.
Pandai
Berkelit
Berbagai kajian soal
kejahatan di pasar modal sudah banyak dibicarakan. Namun, hingga kini nyaris
tak ada satu kasus pun yang masuk ke meja pengadilan. Sejumlah pengamat selalu
mengatakan,"Ini karena pelakunya pandai berkelit dan pintar memikat."
Berdasarkan beberapa
kajian, kejahatan atau manipulasi di pasar modal bermuara pada beberapa model
berikut. Pertama, insider trading. Menurut definisi UU Pasar Modal,
suatu transaksi saham di bursa dapat dikategorikan sebagai insider
trading, jika memenuhi tiga unsur, yakni adanya orang dalam, adanya
informasi orang dalam, dan adanya transaksi yang dilakukan berdasarkan
informasi orang dalam.
Sampai akhir 2004,
setidaknya ada tiga kasus dugaan insider trading yang sempat membuat
heboh bursa saham Indonesia. Ketiga kasus itu adalah transaksi saham PT Semen
Gresik (1998), kasus saham Bank Central Asia (2001), dan perdagangan saham PT
Indosat (2002).
Dalam kasus PT Semen
Gresik, dugaan insider trading bermula dari kenaikan harga saham ini
dari Rp 5.200 menjadi Rp 12.000. PT Danareksa Sekuritas, PT Bahana Securities,
dan PT Jardine Fleming Nusantara diduga kuat terlibat transaksi menyimpang
itu. Tudingan ini muncul karena ketiga perusahaan itu adalah penasihat
keuangan pemerintah untuk kepentingan privatisasi BUMN, termasuk Semen Gresik.
Bursa Efek Jakarta (BEJ)
menemukan data kenaikan harga dan volume saham Semen Gresik yang cukup
material dalam kurun waktu 8-15 Juni 1998. Menurut BEJ, porsi transaksi yang
terjadi dari buyer initiator mencapai 59,63% dari total transaksi
reguler.
Dari transaksi saham
Semen Gresik, Bapepam mendata ada 90 pihak yang diduga terlibat dan mengetahui
proses privatisasi lanjutan Semen Gresik. Dari jumlah itu, ada tiga pihak yang
telah secara langsung diduga meraup keuntungan sekitar Rp 55 milyar. Namun,
kasus dugaan insider trading saham Semen Gresik itu hanya sebatas
wacana. Tak ada pihak yang didaulat sebagai tersangka. Kasus ini pun ikut
terkubur mengikuti bergulirnya waktu.
Kasus lain yang tak
kalah heboh yaitu dugaan insider trading dan manipulasi transaksi saham
BCA. Bapepam mengendus dugaan manipulasi pasar atas transaksi saham BCA ketika
muncul pergerakan dan perubahan harga saham setelah pemecahan nilai nominal
saham (stock split).
Data BEJ menunjukkan
dominasi beli dari beberapa broker pada perdagangan 15 Mei hingga 12
Juni 2001. Setelah itu, antara 13-29 Juni, broker yang sama menjual
saham BCA sehingga harganya turun. Permainan itu diduga telah menyebabkan
pembentukan harga atau manipulasi harga. Namun, menurut Bapepam, tidak ada
fakta yang mengindikasikan adanya insider trading dalam transaksi itu.
Sama seperti dugaan
insider trading pada saham Semen Gresik, kasus dugaan insider
trading dan manipulasi transaksi saham BCA juga tak jelas rimbanya. BEJ
dan Bapepam sama-sama diam.
Setelah kasus saham BCA
menghilang, muncul lagi dugaan insider trading pada transaksi saham PT
Indosat. Yang melontarkan dugaan itu justru Laksamana Sukardi yang ketika itu
menjabat sebagai Menneg BUMN. Menurut Laksamana, Merrill Lynch Indonesia (ML)
patut diduga melakukan transaksi saham Indosat karena adanya insider
information. Pasalnya, perusahaan Merrill Lynch disebut-sebut sebagai
penasihat keuangan Indosat. Selain itu, ML termasuk broker yang paling
banyak melakukan transaksi jual dan beli saham Indosat, saat pemerintah
melakukan pelepasan saham.
Selain ML, pihak
Danareksa pun turut dituding ikut dalam transaksi yang beraroma insider
trading. Namun, pihak Danareksa, yang memang penasihat keuangan
pemerintah, membantah tudingan itu. Tudingan Laksamana pun tak pernah
dibuktikan. Kasusnya pun lenyap.
Manipulasi
Saham
Selain insider
trading, model lain kejahatan di pasar modal yaitu manipulasi harga saham.
Dalam kurun waktu enam tahun terakhir, bursa saham Indonesia diguncang oleh
beberapa isu manipulasi perdagangan saham. Yang terheboh yaitu kasus Bank
Pikko, saham DSFI dan BIMA.
Kasus manipulasi
perdagangan saham Bank Pikko sering juga disebut sebagai model manipulasi
cornering. Kasus ini berawal dari adanya peningkatan volume perdagangan
saham Bank Pikko antara periode Januari sampai Februari 1997. Harga saham Bank
Pikko pada periode itu berkisar antara Rp 875 sampai Rp 1.425.
Menurut Bapepam, pada
pertengahan Maret 1997, Benny Tjokrosaputro melakukan transaksi saham sehingga
jumlah kepemilikannya mencapai 4,5 juta saham. Transaksi itu dilakukan melalui
PT Multi Prakarsa Investama Securities dengan menggunakan nama 13 pihak lain.
Berdasarkan penelitian Bapepam, pada periode 7 April 1997, perdagangan saham
Bank Pikko menjadi sangat aktif dan harga saham tersebut meningkat 20%.
Dengan fakta itu, BEJ
meminta konfirmasi kepada Bank Pikko tentang sebab menggeliatnya harga saham
itu. Namun, manajemen Bank Pikko menjelaskan tidak ada hal material dari
perusahaan yang membuat harga sahamnya melambung.
Meski telah diumumkan
tidak ada corporate action, toh, harga saham Bank Pikko pada
perdagangan 8 April meningkat tajam pada sesi pertama. Harga itu terus naik
pada sesi kedua sampai dihentikannya perdagangan saham Bank Pikko oleh BEJ
pada pukul 14.24 WIB.
Bapepam mengendus sepak
terjang Pendi Tjandra yang ketika itu menjabat sebagai direktur PT Multi
Prakarsa Investama Securities. Perusahaan sekuritas yang dikendalikan oleh
Benny Tjokrosaputro itu bersama afiliasinya, melakukan transaksi saham Bank
Pikko secara aktif melalui PT Putra Saridaya Persada Securities (PSP
Securities). Atas permintaan Pendi, PT PSP Securities memecah order beli dan
jual saham Bank Pikko melalui perusahaan efek lain.
Pendi memecah order beli
dan jual itu dengan tujuan agar kegiatan perdagangan menjadi aktif.
Pada 8 April 1997, total pembelian saham (setelah dikurangi penjualan)
oleh PSP Sekcurities, Multi Prakarsa Investama Sekurities, dan Danasakti
Securities mencapai jumlah perkiraan saham yang tersedia untuk perdagangan.
Jumlah itu termasuk untuk kepentingan nasabah mereka maupun untuk Benny dan
Pendi.
Menurut Bapepam, ada sejumlah pihak yang sengaja memainkan
harga dengan menggunakan informasi klarifikasi manajemen Bank Pikko. Spekulan
memperkirakan harga saham Bank Pikko turun karena adanya klarifikasi itu.
Dengan adanya
klarifikasi dari manajemen, para spekulan pun melakukan aksi jual saham Bank
Pikko meski mereka tidak memiliki saham tersebut (posisi short ).
Mereka berharap harga saham itu akan turun. Hal ini terbukti dari
terjerumusnya 52 perusahaan efek yang telah gagal menyerahkan saham Bank Pikko
pada tanggal penyelesaian transaksi.
Bapepam berupaya
mengusut kasus itu. Pihak otoritas pasar modal telah memberi sanksi kepada
beberapa pihak. Benny Tjokrosaputro dan Pendi Tjandra diwajibkan untuk
menyerahkan keuntungan yang diperoleh atas transaksi saham Bank Pikko pada
periode Maret-April 1997 masing-masing sebesar Rp 1 miliar dan Rp 500 juta ke
kas negara.
Kasus Gagal
Bayar
Selain kasus Bank
Pikko, kasus manipulasi perdagangan saham terbesar yang terjadi pada tahun
2002 adalah kasus gagal bayar atas transaksi saham PT Dharma Samudera Fishing
Tbk (DSFI) dan kasus PT Primarindo Asia Infrastruktur Tbk (BIMA).
Sejak 5 Juli hingga 8
Agustus 2002, menurut BEJ, harga saham DSFI memelonjak 155,17% dari Rp 145
menjadi Rp 370. Bahkan, hingga 22 Agustus 2002, peningkatannya mencapai
313,79% dengan posisi akhir Rp 600.
Lonjakan harga itu
memunculkan dugaan penyimpangan. Setelah diteliti, ternyata selama periode itu
ada beberapa anggota bursa yang mendominasi transaksi. Adanya dominasi
beberapa anggota bursa itu mengindikasikan adanya kerja sama atau konsorsium
pihak-pihak tertentu untuk menggerakkan harga saham DSFI.
Bersamaan dengan itu,
pada periode 13 Agustus 2002, BEJ melarang Jasabanda Garta memperdagangkan
saham DSFI. Perusahaan itu telah gagal menyelesaikan kewajibannya (gagal
bayar) untuk transaksi tanggal 7 Agustus 2002 senilai Rp 11,86 miliar. Total
nilai transaksi PT Jasabanda Garta untuk tanggal 7 Agustus 2002 sebesar Rp
21,80 miliar dimana Rp 21,57 miliar merupakan nilai transaksi dari saham DSFI
(99,04 %).
Setelah kasus saham
DSFI, manipulasi saham melibatkan transaksi saham BIMA. Dugaan itu berawal
dari transaksi selama periode 21 Januari-19 Juli 2002 yang dilakukan PT Usaha
Bersama Sekuritas (UBS).
Selama periode itu, UBS
telah membeli 303.200.500 saham BIMA atau 93,48 % dari total transaksi.
Sebaliknya, perusahaan sekuritas itu hanya mejual 44.500 saham. Berdasarkan
data, jumlah saham BIMA yang tercatat di BEJ ternyata hanya 86.000.000 saham.
Per 31 Desember 2002,
UBS menjadi pemegang 38,35 % saham BIMA. Hal ini berarti selama periode
penelitian, anggota bursa UBS telah melakukan pembelian saham BIMA lebih dari
3,5 kali jumlah saham tercatat.
Bersamaan itu, ternyata
UBS gagal membayar transaksi pembelian saham BIMA senilai Rp 41 miliar ke PT
KPEI. Berbeda dengan kasus saham DSFI, pada kasus saham BIMA tak terjadi
pergolakan harga saham yang mencolok. Pada 21 Januari 2002, harga saham BIMA
Rp 1.500. Lantas, turun menjadi Rp 1.150 pada akhir Maret 2002, untuk kemudian
naik lagi Rp 1.200 pada 19 Juli 2002.
Berdasarkan penelitian
Bapepam, UBS telah membeli 303 ribu saham BIMA sejak 21 Januari hingga 19 Juli
2002, atau 93 % dari total transaksi saham BIMA di BEJ. Janggalnya, pada
periode itu pula, PT UBS tercatat hanya menjual 86 ribu saham BIMA. Di sinilah
muncul dugaan bahwa PT Usaha Bersama Sekuritas telah melakukan transaksi
pembelian saham BIMA yang fiktif.
Selain itu, UBS juga
diduga merekayasa penjebolan dana PT KPEI. Di bursa saham, PT KPEI memang
bertindak sebagai lembaga penjamin dalam mekanisme transaksi saham, baik untuk
kegiatan jual maupun beli. Kalau broker saham belum ada dana untuk
membayar transaksi, PT KPEI yang menalangi lebih dulu. Nanti, begitu transaksi
jatuh tempo, pihak yang terlibat transaksi harus membayar embali ke PT KPEI.
Dalam kasus ini, ternyata PT Usaha Bersama Sekuritas selaku pembeli saham BIMA
tak kunjung membayar kembali ke PT KPEI. (michael
ferdin)