Pak Martinus,
 
Ada artikel yang pertama nggak ?
Kalo ada tolong dong - menarik banget nih ......
 
Thanks - Arie
 
----- Original Message -----
Sent: Tuesday, March 01, 2005 4:59 PM
Subject: [obrolan-bandar] Contoh Cara Kerja Bandar Membentuk Consortium

Selasa, 01 Maret 2005 03:27 WIB
Penanganan Kasus Pasar Modal (2)

JAKARTA, Investor Daily Online

Terhimpit hendak di atas, terkurung hendak di luar. Begitulah bunyi pepatah tua Minangkabau untuk mengungkap perilaku orang-orang cerdik dan licin bagai ular. Paras akan memerah, jika pepatah tua ini dialamatkan ke Badan pengawas Pasar Modal (Bapepam) yang terkecoh oleh ulah pelaku kejahatan di pasar modal. Bapepam sepertinya tak kuasa menjerat para pelakunya dengan hukuman maksimal.

Kalimat itu memang bernada sinis. Namun, bila melihat fakta-fakta yang ada, pernyataan itu tidaklah berlebihan. Misalnya, Mei 1995, Jopie Widjaja dengan leluasa mengambilalih kepemilikan saham PT Bank Papan Sejahtera Tbk. Jopie menguasai saham bank itu karena mampu memanfaatkan ‘kecerobohan’ aturan pasar modal yang tidak mencantumkan tata cara take over atau tender offer. Bapepam pun tak kuasa menahannya.

Walau para pakar getol memperbincangkan take over ala Jopie, toh, transaksi itu tetap merupakan sebuah transaksi bisnis. Tak ada kewajiban hukum yang mesti dipenuhi Jopie Widjaja. Jopie kemudian melego 19,80% saham Bank Papan ke pihak Hashim Djojohadikusumo. Hashim membeli saham dari Jopie Widjaja dengan harga Rp 4.500 per saham lembar. Dari penjualan saham Bank Papan itu, pemilik perusahaan taksi Steady Safe itu mampu meraup untung besar.

Pandai Berkelit

Berbagai kajian soal kejahatan di pasar modal sudah banyak dibicarakan. Namun, hingga kini nyaris tak ada satu kasus pun yang masuk ke meja pengadilan. Sejumlah pengamat selalu mengatakan,"Ini karena pelakunya pandai berkelit dan pintar memikat."

Berdasarkan beberapa kajian, kejahatan atau manipulasi di pasar modal bermuara pada beberapa model berikut. Pertama, insider trading. Menurut definisi UU Pasar Modal, suatu transaksi saham di bursa dapat dikategorikan sebagai insider trading, jika memenuhi tiga unsur, yakni adanya orang dalam, adanya informasi orang dalam, dan adanya transaksi yang dilakukan berdasarkan informasi orang dalam.

Sampai akhir 2004, setidaknya ada tiga kasus dugaan insider trading yang sempat membuat heboh bursa saham Indonesia. Ketiga kasus itu adalah transaksi saham PT Semen Gresik (1998), kasus saham Bank Central Asia (2001), dan perdagangan saham PT Indosat (2002).

Dalam kasus PT Semen Gresik, dugaan insider trading bermula dari kenaikan harga saham ini dari Rp 5.200 menjadi Rp 12.000. PT Danareksa Sekuritas, PT Bahana Securities, dan PT Jardine Fleming Nusantara diduga kuat terlibat transaksi menyimpang itu. Tudingan ini muncul karena ketiga perusahaan itu adalah penasihat keuangan pemerintah untuk kepentingan privatisasi BUMN, termasuk Semen Gresik.

Bursa Efek Jakarta (BEJ) menemukan data kenaikan harga dan volume saham Semen Gresik yang cukup material dalam kurun waktu 8-15 Juni 1998. Menurut BEJ, porsi transaksi yang terjadi dari buyer initiator mencapai 59,63% dari total transaksi reguler.

Dari transaksi saham Semen Gresik, Bapepam mendata ada 90 pihak yang diduga terlibat dan mengetahui proses privatisasi lanjutan Semen Gresik. Dari jumlah itu, ada tiga pihak yang telah secara langsung diduga meraup keuntungan sekitar Rp 55 milyar. Namun, kasus dugaan insider trading saham Semen Gresik itu hanya sebatas wacana. Tak ada pihak yang didaulat sebagai tersangka. Kasus ini pun ikut terkubur mengikuti bergulirnya waktu.

Kasus lain yang tak kalah heboh yaitu dugaan insider trading dan manipulasi transaksi saham BCA. Bapepam mengendus dugaan manipulasi pasar atas transaksi saham BCA ketika muncul pergerakan dan perubahan harga saham setelah pemecahan nilai nominal saham (stock split).

Data BEJ menunjukkan dominasi beli dari beberapa broker pada perdagangan 15 Mei hingga 12 Juni 2001. Setelah itu, antara 13-29 Juni, broker yang sama menjual saham BCA sehingga harganya turun. Permainan itu diduga telah menyebabkan pembentukan harga atau manipulasi harga. Namun, menurut Bapepam, tidak ada fakta yang mengindikasikan adanya insider trading dalam transaksi itu.

Sama seperti dugaan insider trading pada saham Semen Gresik, kasus dugaan insider trading dan manipulasi transaksi saham BCA juga tak jelas rimbanya. BEJ dan Bapepam sama-sama diam.

Setelah kasus saham BCA menghilang, muncul lagi dugaan insider trading pada transaksi saham PT Indosat. Yang melontarkan dugaan itu justru Laksamana Sukardi yang ketika itu menjabat sebagai Menneg BUMN. Menurut Laksamana, Merrill Lynch Indonesia (ML) patut diduga melakukan transaksi saham Indosat karena adanya insider information. Pasalnya, perusahaan Merrill Lynch disebut-sebut sebagai penasihat keuangan Indosat. Selain itu, ML termasuk broker yang paling banyak melakukan transaksi jual dan beli saham Indosat, saat pemerintah melakukan pelepasan saham.

Selain ML, pihak Danareksa pun turut dituding ikut dalam transaksi yang beraroma insider trading. Namun, pihak Danareksa, yang memang penasihat keuangan pemerintah, membantah tudingan itu. Tudingan Laksamana pun tak pernah dibuktikan. Kasusnya pun lenyap.

Manipulasi Saham

Selain insider trading, model lain kejahatan di pasar modal yaitu manipulasi harga saham. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir, bursa saham Indonesia diguncang oleh beberapa isu manipulasi perdagangan saham. Yang terheboh yaitu kasus Bank Pikko, saham DSFI dan BIMA.

Kasus manipulasi perdagangan saham Bank Pikko sering juga disebut sebagai model manipulasi cornering. Kasus ini berawal dari adanya peningkatan volume perdagangan saham Bank Pikko antara periode Januari sampai Februari 1997. Harga saham Bank Pikko pada periode itu berkisar antara Rp 875 sampai Rp 1.425.

Menurut Bapepam, pada pertengahan Maret 1997, Benny Tjokrosaputro melakukan transaksi saham sehingga jumlah kepemilikannya mencapai 4,5 juta saham. Transaksi itu dilakukan melalui PT Multi Prakarsa Investama Securities dengan menggunakan nama 13 pihak lain. Berdasarkan penelitian Bapepam, pada periode 7 April 1997, perdagangan saham Bank Pikko menjadi sangat aktif dan harga saham tersebut meningkat 20%.

Dengan fakta itu, BEJ meminta konfirmasi kepada Bank Pikko tentang sebab menggeliatnya harga saham itu. Namun, manajemen Bank Pikko menjelaskan tidak ada hal material dari perusahaan yang membuat harga sahamnya melambung.

Meski telah diumumkan tidak ada corporate action, toh, harga saham Bank Pikko pada perdagangan 8 April meningkat tajam pada sesi pertama. Harga itu terus naik pada sesi kedua sampai dihentikannya perdagangan saham Bank Pikko oleh BEJ pada pukul 14.24 WIB.

Bapepam mengendus sepak terjang Pendi Tjandra yang ketika itu menjabat sebagai direktur PT Multi Prakarsa Investama Securities. Perusahaan sekuritas yang dikendalikan oleh Benny Tjokrosaputro itu bersama afiliasinya, melakukan transaksi saham Bank Pikko secara aktif melalui PT Putra Saridaya Persada Securities (PSP Securities). Atas permintaan Pendi, PT PSP Securities memecah order beli dan jual saham Bank Pikko melalui perusahaan efek lain.

Pendi memecah order beli dan jual itu dengan tujuan agar kegiatan perdagangan menjadi aktif. Pada 8 April 1997, total pembelian saham (setelah dikurangi penjualan) oleh PSP Sekcurities, Multi Prakarsa Investama Sekurities, dan Danasakti Securities mencapai jumlah perkiraan saham yang tersedia untuk perdagangan. Jumlah itu termasuk untuk kepentingan nasabah mereka maupun untuk Benny dan Pendi.
Menurut Bapepam, ada sejumlah pihak yang sengaja memainkan harga dengan menggunakan informasi klarifikasi manajemen Bank Pikko. Spekulan memperkirakan harga saham Bank Pikko turun karena adanya klarifikasi itu.

Dengan adanya klarifikasi dari manajemen, para spekulan pun melakukan aksi jual saham Bank Pikko meski mereka tidak memiliki saham tersebut (posisi short ). Mereka berharap harga saham itu akan turun. Hal ini terbukti dari terjerumusnya 52 perusahaan efek yang telah gagal menyerahkan saham Bank Pikko pada tanggal penyelesaian transaksi.

Bapepam berupaya mengusut kasus itu. Pihak otoritas pasar modal telah memberi sanksi kepada beberapa pihak. Benny Tjokrosaputro dan Pendi Tjandra diwajibkan untuk menyerahkan keuntungan yang diperoleh atas transaksi saham Bank Pikko pada periode Maret-April 1997 masing-masing sebesar Rp 1 miliar dan Rp 500 juta ke kas negara.

Kasus Gagal Bayar

Selain kasus Bank Pikko, kasus manipulasi perdagangan saham terbesar yang terjadi pada tahun 2002 adalah kasus gagal bayar atas transaksi saham PT Dharma Samudera Fishing Tbk (DSFI) dan kasus PT Primarindo Asia Infrastruktur Tbk (BIMA).

Sejak 5 Juli hingga 8 Agustus 2002, menurut BEJ, harga saham DSFI memelonjak 155,17% dari Rp 145 menjadi Rp 370. Bahkan, hingga 22 Agustus 2002, peningkatannya mencapai 313,79% dengan posisi akhir Rp 600.

Lonjakan harga itu memunculkan dugaan penyimpangan. Setelah diteliti, ternyata selama periode itu ada beberapa anggota bursa yang mendominasi transaksi. Adanya dominasi beberapa anggota bursa itu mengindikasikan adanya kerja sama atau konsorsium pihak-pihak tertentu untuk menggerakkan harga saham DSFI.

Bersamaan dengan itu, pada periode 13 Agustus 2002, BEJ melarang Jasabanda Garta memperdagangkan saham DSFI. Perusahaan itu telah gagal menyelesaikan kewajibannya (gagal bayar) untuk transaksi tanggal 7 Agustus 2002 senilai Rp 11,86 miliar. Total nilai transaksi PT Jasabanda Garta untuk tanggal 7 Agustus 2002 sebesar Rp 21,80 miliar dimana Rp 21,57 miliar merupakan nilai transaksi dari saham DSFI (99,04 %).

Setelah kasus saham DSFI, manipulasi saham melibatkan transaksi saham BIMA. Dugaan itu berawal dari transaksi selama periode 21 Januari-19 Juli 2002 yang dilakukan PT Usaha Bersama Sekuritas (UBS).

Selama periode itu, UBS telah membeli 303.200.500 saham BIMA atau 93,48 % dari total transaksi. Sebaliknya, perusahaan sekuritas itu hanya mejual 44.500 saham. Berdasarkan data, jumlah saham BIMA yang tercatat di BEJ ternyata hanya 86.000.000 saham.

Per 31 Desember 2002, UBS menjadi pemegang 38,35 % saham BIMA. Hal ini berarti selama periode penelitian, anggota bursa UBS telah melakukan pembelian saham BIMA lebih dari 3,5 kali jumlah saham tercatat.

Bersamaan itu, ternyata UBS gagal membayar transaksi pembelian saham BIMA senilai Rp 41 miliar ke PT KPEI. Berbeda dengan kasus saham DSFI, pada kasus saham BIMA tak terjadi pergolakan harga saham yang mencolok. Pada 21 Januari 2002, harga saham BIMA Rp 1.500. Lantas, turun menjadi Rp 1.150 pada akhir Maret 2002, untuk kemudian naik lagi Rp 1.200 pada 19 Juli 2002.

Berdasarkan penelitian Bapepam, UBS telah membeli 303 ribu saham BIMA sejak 21 Januari hingga 19 Juli 2002, atau 93 % dari total transaksi saham BIMA di BEJ. Janggalnya, pada periode itu pula, PT UBS tercatat hanya menjual 86 ribu saham BIMA. Di sinilah muncul dugaan bahwa PT Usaha Bersama Sekuritas telah melakukan transaksi pembelian saham BIMA yang fiktif.

Selain itu, UBS juga diduga merekayasa penjebolan dana PT KPEI. Di bursa saham, PT KPEI memang bertindak sebagai lembaga penjamin dalam mekanisme transaksi saham, baik untuk kegiatan jual maupun beli. Kalau broker saham belum ada dana untuk membayar transaksi, PT KPEI yang menalangi lebih dulu. Nanti, begitu transaksi jatuh tempo, pihak yang terlibat transaksi harus membayar embali ke PT KPEI. Dalam kasus ini, ternyata PT Usaha Bersama Sekuritas selaku pembeli saham BIMA tak kunjung membayar kembali ke PT KPEI. (michael ferdin)





----------------------------------------------------------

    IMQ - THE REAL TIME DATA AND BUSINESS NEWS SERVICE

----------------------------------------------------------









----------------------------------------------------------

    IMQ - THE REAL TIME DATA AND BUSINESS NEWS SERVICE

----------------------------------------------------------





Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
click here


Yahoo! Groups Links

Kirim email ke