Bung Win. Perkenankanlah aku untuk menyambung tulisanmu. Anggap saja demikian, 
bukan tanggapan. 
Setiap kali kulihat tulisannmu, sepertinya tak terasa terbaca habis. Kali ini 
bung Win lagi berbicara soal Ramadhan.
Sepertinya tulisanmu itu bagus menurutku. Namun perkenankanlah aku untuk 
melihat lanjutannya tentang persoalan 
Ibadah yang menurut bung Win adalah satu-satunya ibadah yang utama.

Saya yakin bung Winpun tau bahwa Islam itu adalah suatu "system" yang Kaffah 
dimana platformnya adalah Aqidah. Aqidah yang kumaksudkan dalam kontek ini 
bukan sekedar formula yang sering diulang-ulang oleh orang yang ingin 
memperoleh pahala. Aqidah yang kumaksudkan adalah pemahaman yang demikian 
mendalam yang terkandung dalam Kalimah "Laa ilahaillallaah, Muhammadur 
Rasulullah" Apabila kita analisa makna yang terkandung dalam shahadah pertama, 
termaktub didalamnya bahwa sekali-kali kita pantang bersatupadu dalam system 
taghut macam Indonesia, kecuali terpaksa bertaqiah. Jadi pengertian yang 
terkandung didalamnya termasuk sekali-kali tidak akan tundukpatuh kecuali 
kepadaNya. Dengan pengertian seperti itu adalah bohong seseorang yang 
mengucapkan walau berjuta kali kalimah shahadah tersebut sementara orang 
tersebut sepakterjangnya sehari-hari dalam kehidupannya bersatupatu dalam 
system Taghut yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah (baca . . .
 . . . .waman lamyahkum bima anzalallah, faulaika humul kafirun . . . . . . . . 
. . (QS Al Maidah 44,45 dan 47)

Apabila seseorang meyakini seperti apa yang saya ungkapkan diatas, orang 
tersebut memahami kalimah syahadah tersebut secara ideology, bukan secara 
kebudayaan. Disinilah muncul istilak Islam Ideology dan Islam kebudayaan 
(culture). Hal ini berhubungan erat dengan fungsi para Rasul dan Imam sebagai 
Ideolog, manusia-manusia berwajah
"merah", bukan manusia berwajah "pucat" (baca para ilmuwan), pinjam istilah Ali 
Syariati, Iran.

Apabila persoalan Aqidah ini sudah mantap barulah berguna Ibadah lainnya, 
termasuk Shalat dan Shaum di bulan Ramadhan. Dengan kata lain Ibadah apapun 
tidak berguna disisi Allah kalau Aqidahnya tidak benar. Orang yang mantap 
Aqidahnya tidak takut kepada siapapun kecuali Allah. Lihatlah ketika Daksur 
mengancam untuk membunuh Nabi Muhammad: "Sekarang aku akan membunuhmu, siapa 
yang akan membelamu, Muhammad?" Tidak siapapun kecuali Allah", Jawab Rasul. 
Pengaruh jawana Rasul itu, Daksur gemetaran dan pedangnyapun jatuh dari 
tangannya.  Lihatlah Imam Ali ketika berbaring ditempat tidur Rasulullah, untuk 
menyelamatkan Rasul. Ketika ada orang tanya pada Imam Ali siapa yang lebih 
utama diantara anda dan Nabi  Musa, Imam menjawab: . . . . . . .Nabi Musa takut 
kepada Firaun setelah membunuh orang Kubti tapi aku tidak takut ketika tidur 
ditempat Rasulullah kendatipun orang Quraish hampir saja membunuhku"

Bung Win yang baik. 
Islam itu terdiri dari Aqidah, Muamalah/Ibadah dan terakhir sekali adalah 
Akhlaq. Untuk memudahkan umpamakan saja sebatang Pohon dimana Akar sebagai 
Aqidah, Batang dan dahan sebagai Ibadah/Muamalah, buah sebagai Akhlaqnya. Kalau 
batang kita tebang akan muncul tunas lainnya, konon pula buah yang kita petik. 
Tapi kalau anda pangkas akarnya tamatlah riwayatnya.  Dengan kata lain saya 
hendak katakan bahwa tidak ada artinya Ibadah/Muamalah dan Akhlaq kalau 
Aqidahnya tidak benar (baca sekedar diucapkan saja walau berjuta kali)


Rasulullah mengatakan bahwa Shalat itu adalah tiang agama. Ucapan Rasul itu 
pasti benar. “Dan, tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa 
nafsunya. 
Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang 
diajarkan 
kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. ” (QS. An-Najm: 3-5)

Yang menjadi persoalan adalah bahwa ketika kita berbicara Tiang dari suatu 
bangunan sebagai permisalan Islam, kita lupa bahwa masih ada faktor yang lebih 
utama dari tiang tersebut dimana tiang butuh tempat tancapannya yakni 
Platformnya (baca Aqidah) Dalam hal ini Shalat memang Ibadah Ritual yang 
terpenting setelah Ibadah membela kaum dhuafa dalam suatu perjuangan 
kemerdekaan. (baca Ibadah Sosial) Tidak ada artinya samasekali disisi Allah 
bagi orang yang berkhusyuksepi dengan shalat wajib plus Sunahnya sementara 
rintihan kaum dhuafa menjadi bulan-bulanan kaum mutaqabbirun. Allah berfirman: 
"Fawailul lil mushallin" (Celakalah orang-orang yang Shalat). Kenapa?. Mereka 
itu sesungguhnya adalah pendusta agama. Shalat orang seperti itu hanya sekedar 
memperlihatkan pada orang ramai sebagaimana yang pernah dikatakan bung 
Winwannur  dalam tulisannya itu.

Bagaimana dengan Shaumnya? Kendatipun Shaum itu punya sisi khasnya namun masih 
tidak punya makna disisi Allah andaikata orang yang berpuasa tersebut belum 
benar Aqidahnya sebagaimana luluhlantaknya batang dari sebuah pohon akibat 
sirnanya Akar. Rasulullah berkata: "Betapa banyak orang yang berpuasa tidak 
mendapat apa-
apa kecuali lapar dan dahaga". Tepat sekali seperti dikatakan bung Winwannur 
bahwa penampilan yang terkesan alim yang diperlihatkan teman lamanya tidak 
membuat bung Win heran, kecuali, ya biasa saja. Mereka hendak mengejar Akhirat 
secara keliru 180 derajat. Islam adalah agama dua Dimensi, Hablum minallah wa 
hablum minannas. 

Allah,Tuhannya kaum dhuafa menempatkan Hablum minannas diatas hablum minallah 
(baca Sosial atas ritual atau horizontal atas fertikal)   Rasulullah berkata: 
"Tidak pernah beriman kepadaku orang 
yang tidur kenyang sedangkan tetangganya kelaparan, dan jika penduduk sebuah 
desa tidur nyenyak sedangkan ada salah seorang saja dari mereka yang kelaparan, 
maka 
Allah tidak akan melihat kepada mereka pada hari 
kiamat".

Tugas utama para Rasul adalah membebaskan kaum dhuafa dari belenggun yang 
menimpa kuduk-kuduk mereka (Al A'raf, 157).Orang yang benar Imannya adalah 
orang yang mengikuti bagaimana para Rasul berkiprah dala hidupnya. Kecuali 
tidak ada pemimpin yang memimpin perjuangan, kita terpaksa bergerak dibawah 
tanah dulu (baca bersabar tapi aktif) sebagaimana Rasulullah berjuang sebelum 
memiliki powernya.

Sebelum al Asytar menutup tulisan ini tidak lupa menyampaikan Hikmahnya 
berpuasa.
Apabila perut mulai keroncongan dan juga ditimpa teriknya matahari, adakah kita 
teringat secara mendalam bagaimana pedihnya orang yang takpunya? Lebib-lebih 
lagi di bulan Ramadhan ini dimana mereka membuka puasanya dengan telur dan saur 
kangkung?  Apakah kita termasuk dalam golongan orang orang yang berbuka puasa 
kesana-kemari dengan jamuan mewah sebagaimana yang dilakukan kaum mutaqabbirun 
yang tenggelam dalam statusquo?  Bagaimanakah kondisi masyarakat Acheh - 
Sumatra di kampungkampung pedalamanya sekarang ini? 

Nah setelah Ramadhan meninggalkan kita, bagaimana sepakterjang kita? Masihkah 
berpenampilan kaum mutaqabbirun itu?  Inilah yang patut kita renungkan ketika 
kita berbicara Ramadhan secara pribadi, sementara secara komunitas, kita 
diperintahkan berjuang membela kaum dhuafa, melepaskan belenggu yang menimpakan 
kudukkuduk merka.  Dari renungan seperti inilah dapat ditemukan indikasinya 
diterima atau tidaknya puasa kita.

Billahi fi sabililhaq
Ali al Asytar
Acheh - Sumatra






________________________________
From: winwannur <winwan...@yahoo.com>
To: acehk...@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, August 19, 2009 4:05:51 AM
Subject: [acehkita] Selamat Datang Ramadhan, Bulan yang Suci dan Istimewa

  
Bulan Ramadhan adalah bulan istimewa yang selalu kunantikan dengan antusias 
kedatangannya. Bulan ini menjadi istimewa bagiku karena di bulan ini ada sebuah 
ibadah istimewa yang bernama Syiam atau PUASA.

Kaum Deist, atheis dan para penganut kepercayaan yang berbeda denganku mungkin 
merasa lucu melihat perilakuku ini. karena secara logika ibadah umat Islam ini 
yang menuntut umat yang meyakininya ini menahan lapar dan haus seharian ini 
adalah perilaku konyol dan sangat tidak masuk akal. Tapi bagiku yang terlahir 
dan dibesarkan dalam tradisi Islam, bulan ini memang selalu istimewa.

Ibadah ini menjadi istimewa bagiku bukan karena belakangan beberapa ahli 
beragama Islam yang membuat berbagai penelitian tentang ibadah ini yang 
hasilnya kemudian dipublikasasikan, yang katanya mereka berhasil membuktikan 
bahwa berpuasa baik untuk kesehatan. 

Tapi ibadah ini menjadi istimewa bagiku karena karakter ibadah ini yang 
sepenuhnya memberikan hak untuk menilai benar tidaknya ibadah ini dijalankan 
kepada orang yang menjalankan ibadah ini sendiri, bukan orang lain. Yang tahu 
apakah ibadah itu benar dijalankan atau tidak hanya orang yang menjalankannya, 
bukan orang lain. 

Kebaikan yang diurusi oleh orang berpuasa juga kebaikan untuk dirinya sendiri, 
bukan kebaikan untuk orang lain sehingga orang lain tidak perlu mengagumi.
Ini yang membuat ibadah ini berbeda dengan ibadah lainnya baik yang wajib 
seperti Shalat, Zakat, Haji maupun ibadah sunah semacam bersedekah  shalat 
sunah dan juga membaca serta mengkaji Al Qur'an.

Berbeda dengan puasa, ibadah lain yang biasanya melibatkan orang lain, dalam 
pelaksanaannya membuat orang yang melakukan ibadah punya peluang untuk 
mendapat'tepuk tangan' dan 'kekaguman' atau sekedar pujian dari manusia lain. 
'Tepuk tangan' dan 'Kekaguman' atau pujian dari manusia lain adalah tiga hal 
yang cenderung membuat orang yang menjadi sasaran tepuk tangan dan kekaguman 
itu sering tanpa sadar terjebak menjadi sombong, baik sombong yang bersifat 
aktif seperti sikap angkuh dan merasa paling hebat maupun sombong yang bersifat 
pasif yang membuat orang bersikap terlalu merendah untuk meninggikan mutu diri.

Aku menemui banyak sekali ahli ibadah, orang yang banyak melakukan shalat, 
banyak mengkaji dalil-dalil agama yang terjebak menjadi orang SOMBONG sehingga 
tidak lagi proporsional dalam menilai diri sendiri entah itu SOMBONG AKTIF yang 
menilai diri terlalu tinggi, atau menjadi SOMBONG PASIF yang membuat orang 
jenis ini terlalu amat sangat merendahkan diri sendiri. Ahli ibadah jenis ini 
biasanya adalah orang-orang yang merasa hidupnya begitu penuh dosa di masa 
lalu, karenanya hidupnya begitu tidak berharga dibandingkan nikmatnya akhirat 
yang abadi selamanya. Dengan cara pandang terhadap diri seperti itu, ahli 
ibadah tipe ini kadang tidak merasa ragu sedikitpun untuk menukar nyawanya demi 
menebus semua dosa masa lalu, untuk memastikan satu tempat di Sorga yang tak 
terpermanai indah dan nikmatnya, demi memastikan kalau saat di akhirat nanti 
akan ada 70 (atau 77) bidadari menyambutnya di gerbang taman firdaus.

Untuk ahli ibadah jenis kedua ini, aku teringat seorang temanku saat kuliah di 
ekstensi dulu. Dia tamatan Politeknik Lhokseumawe yang melanjutkan kuliah di 
program ekstensi untuk mendapatkan gelar sarjana.

Sebagaimana umumnya anak-anak Politeknik yang sudah selesai kuliahnya, temanku 
ini sering mendapat pekerjaan di berbagai proyek konstruksi, dari uang hasilnya 
bekerja itu teman saya ini bisa membeli berbagai perangkat hiburan semacam 
Televisi dan DVD Player, perangkat mewah yang tidak bisa dimiliki oleh 
kami-kami yang belum bekerja. 

Temanku ini anaknya agak bandel, sebagaimana umumnya anak muda seumuran kami 
yang agak bandel dan tinggal di Banda Aceh, dia suka mengisap ganja dan juga 
senang menonton film dewasa. Saya yang beberapa kali berkunjung ke tempat 
kosnya di Kampung Keramat sering memanfaatkan fasilitas miliknya itu pernah 
menemukan berbagai jenis film dewasa dalam tumpukan VCD dan DVD yang dia punya, 
dengan bintang-bintang mulai dari Jeena Jameson sampai Asia Carrera, saat itu 
belum ada Maria Ozawa.

Karena agak bandel dan punya banyak relasi dari berbagai kalangan, sesekali 
teman saya ini berperan sebagai agen penjualan motor curian. Aku sendiri 
bergaul dengan dia sejauh pergaulan itu tidak melewati batas-batas yang aku 
buat sendiri. 

Saat demo reformasi meledak, sebagaimana umumnya mahasiswa zaman itu akupun 
ikut-ikutan di dalamnya. Situasi keamanan di Banda Aceh jadi tidak menentu, 
program ekstensi yang kuliah malam dihentikan sementara. Sejak itu aku jadi 
tidak pernah lagi bertemu dengannya.

Ketika situasi keamanan membaik aku tidak pernah lagi kembali ke kampus untuk 
kuliah karena aku sudah mulai sibuk dengan bisnis dan pekerjaanku yang menuntut 
aku untuk sering berpergian keluar dari Banda Aceh.

Aku bertemu lagi dengannya sekitar tiga tahun setelah reformasi, rupanya saat 
itu dia sudah pindah ke Lamprit, beberapa lorong di belakang tempat tinggalku. 
Saat itu menjelang shalat ashar, aku duduk mengobrol sambil minum kopi di 
Kantin Selekta di simpang jalan Cumi-cumi. Kulihat temanku ini lewat di depan 
jalan utama Lamprit. Kulihat dia memakai sarung yang menutupi bagian bawah 
badannya sampai di atas tumit, dia mengenakan penutup kepala untuk shalat dan 
dagunya sudah ditumbuhi jenggot. Mengingat sosoknya yang kukenal sebelumnya, 
aku merasa aneh melihatnya dengan kostum dan penampilan seperti itu.

Tapi meskipun penampilannya sudah sangat berbeda dengan yang kukenal 
sebelumnya, wajahnya tetap sangat kukenal. Saat melihatnya aku langsung 
memanggilnya dan dia menoleh dan wajahnya terlihat gembira ketika melihatku 
'assalammu'alaikum' , katanya. Aku menjawab salamnya dengan perasaan aneh 
karena biasanya orang mengucapkan salam seperti itu padaku hanya anak-anak 
fosma atau orang-orang yang berbicara dalam pertemuan formal, sementara dengan 
teman-teman biasa termasuk dengan temanku ini, aku sama sekali tidak pernah 
bersikap formal seperti itu sebelumnya.

Selanjutnya karena aku sering nongkrong di Selekta dan diapun selalu shalat di 
Mesjid Lamprit, akupun makin sering bertemu dengannya. Kadang aku shalat 
maghrib di Mesjid Lamprit dan kami pulang bersama. Saat pulang bersama itu atau 
saat selesai shalat dan dia selesai melaksanakan shalat sunat muakkad, kami 
sering mengobrol. Saat itulah aku tahu kalau temanku ini sudah sangat berbeda 
dengan yang pernah kukenal sebelumnya. 

Saat itu di keningnya sudah ada dua titik yang menghitam, wajahnya tampak 
selalu tersenyum dan dia selalu terlihat bahagia. Saat kuperhatikan ketika dia 
sedang shalat sunat langsung di atas lantai marmer Mesjid Lamprit, kulihat dia 
melakukannya dengan khusuk sekali. 

Suatu saat ketika berbincang dengannya, dia mengatakan padaku betapa hidupnya 
saat ini begitu tenang. Dia mengatakan begitu menyesal dengan masa lalunya yang 
dia katakan sama sekali tidak berguna, dan hidupnyapun sama sekali tidak 
berharga dan kini masa lalu itu akan dia kubur dan akan dia tebus dengan 
penyerahan diri total pada yang kuasa. Supaya saat mati nanti, di akhirat dia 
bisa mendapatkan sorga  yang tak terkatakan indah dan nikmatnya. Dia tak lupa 
pula menjelaskan padaku betapa singkat dan tidak berarti dan tidak berharganya 
hidup di dunia ini jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang abadi.

Ketika berbicara dengannya, aku seperti dipaksa untuk hanya menerima masukan 
satu arah darinya saja tanpa dia mau mendengarkan sama sekali pandangan berbeda 
yang aku sampaikan.  Beberapa kali kulihat dia seperti merasa kasihan melihatku 
yang masih larut dalam urusan 'dunia' yang menurutnya sama sekali tidak ada 
nilainya.

Di waktu lain kulihat dia mengenakan kaos bergambar Osama Bin Laden yang 
ditulis dengan nama Usamah Bin Ladin " Win, ini pahlawan Islam", katanya padaku 
dengan sorot mata yang dingin sambil menunjukkan gambar pada T-shirt yang dia 
kenakan.

Sebenarnya aku ingin mendebat apa yang dia katakan tapi aku tahu dari 
pengalaman sebelumnya, itu hanya perbuatan sia-sia karena baginya apa yang dia 
ketahui sekarang adalah kebenaran satu-satunya dan tidak ada lagi kompromi 
dengan 'kebenaran' lainnya. Karena itulah meskipun dia beberapa kali mengajakku 
mengikuti pengajian yang dia ikuti, aku selalu menolaknya. 

Banyak orang di lingkungan baru temanku ini yang memuji perubahan ke arah 
'kebaikan' yang telah dia lakukan. Tapi aku sendiri tidak merasa nyaman dengan 
perubahannya itu. Karena bagiku, hidup sesingkat apapun itu, tetap adalah 
sesuatu yang sangat berharga. Bagiku waktu yang singkat waktu hidup itulah 
kesempatan kita untuk berbuat, menurunkan generasi yang lebih baik yang akan 
mengabadikan eksistensiku, baik generasi yang diturunkan secara genetik maupun 
generasi yang diturunkan secara 'pemikiran'. Meskipun di masa lalu banyak 
berbuat kesalahan, untuk memperbaikinya aku selalu ingin melakukannya di saat 
aku masih hidup pula.

Setelah aku benar-benar meninggalkan Banda Aceh secara permanen, aku tidak 
pernah lagi mendapat berita tentang temanku ini. Aku juga tidak mengetahui 
bagaimana kabarnya ketika tahun 2004 Tsunami meluluh lantakkan kota Banda Aceh 
tercinta.

Begitulah yang aku lihat ketika ibadah menjadi urusan orang luar untuk menilai 
baik buruknya, 'kebenaran'pun menjadi urusan penilaian orang luar pula. Ibadah 
yang seharusnya berdimensi spiritual, ibadah yang seharusnya merupakan hubungan 
antara makhluk dengan khaliknya dimodifikasi menjadi sebuah pemaksaan nilai 
'kebenaran' dari manusia satu terhadap manusia lainnya.

Karakter ini yang tidak kulihat eksis dalam ibadah puasa, karena itulah bagiku 
Ramadhan selalu istimewa dan aku selalu antusias menantikan kedatangannya. 

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur. blog.com
www.winwannur. blogspot. com

Bersambung ke Bagian II


   


      

Kirim email ke