Suatu
malam, Aslam bersama Khalifah Umar bin al Khaththab bersandar di sebuah dinding
bilik. Sayup-sayup didengarnya dialog antara seorang ibu penjual susu dan anak
gadisnya.
"Anakku,
campurlah air itu ke dalam susu!", perintah sang ibu, "Maaf bu, bukankah
Khalifah melarangnya?", jawab si gadis, anaknya. "Saat ini Khalifah
tidak mungkin tahu", sahud sang ibu lagi."
"Ibu
bukankan kita berkewajiban menaati khalifah disaat ramai dan di saat
sepi?" Jawab sang anak.
Penggalan
dialog ini di rekam oleh Sang Khalifah, Umar radliallahu anhu. Wahai Aslam
tandailah rumah ini, dan besok engkau cari tahu siapa mereka!"
Pagi
menjelang, tahulah Sang Khalifah, ternyata meraka adalah seorang janda dan anak
gadisnya semata wayang.
Umar
radliallahu anhu, mendatangi ketiga anaknya, Abdullah, Abdurrahman dan 'Ashim
radliallahu anhum ajma'in.
"Wahai
anakku, maukah engkau menikahi seorang gadis mulia, jika seandainya bapakmu ini
masih ingin menikah lagi, niscaya aku akan mendahului kalian.
"Aku
sudah menikah ayahanda", seru Abdullah. 
"Akupun
sudah menikah ayahanda", seru Abdurahman
"Nikahkanlah
aku dengannya wahai ayahku!" pinta Ashim.
Mereka
pun menikah, dari pernikahannya lahirlah seorang wanita, dan dari rahimnya
kemudian lahir seorang khalifah yang terkenal keadilan, ketaqwaan dan
kebijaksanaannya, Umar bin Abdul Aziz.
Sepenggal
fragmen kehidupan Khalifah Umar bin Al Khaththab ini dinukil bahkan oleh Ibnu
Qayyim Al Jauzi, juga di kitab Al Hilyah.
Sebuah
kisah yang dapat kita ambil hikmahnya.
Pertama,
Kebiksanaan Pemimpin
Betapa
sehebat apapun pangkatnya, sebesar apapun kedudukannya, seorang pemimpin jika
sudah menduduki tampuk kursinya, saat itu pula ia adalah pelayan rakyatnya. Dan
itulah sesungguhnya tugas terbesar bagi seorang pemimpin, selain tugas utamanya
kepada Rabbnya. Umar bin Khathathab adalah teladan terbaik setelah Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Abu Bakr Ash Shiddiq radliallahu anhu.
Khalifah
Umar selalu gelisah hatinya manakala melihat rakyatnya sengsara.  Beliau 
seperti bapak ditengah keluarganya,
ketika hak-hak rakyatnya terampas dialah yang memberikannya. Ketika rakyatnya
ketakutan dirinyalah yang memberikan rasa keberanian dengan menyingkirkan
kedhaliman yang melingkupinya. Beliau merasakan kehidupan yang dijalani
rakyatnya. Maka tak ayal bersandar di sebuah dinding bilik ia lakoni karena
istananya bukanlah gedung menjulang berhias emas.
Kedua,
Kejujuran adalah permata
Kejujuran
seorang gadis miskin, anak seorang janda tua penjual susu, bukanlan calon istri
ideal bagi pria manapun. Karena ia sangat jauh dari type ideal, kaya, cantik,
keturunan berada dan terhormat.
Tapi
bagi Sang Khalifah kejujurannya mengalahkan atribut duniawi itu, ia tawarkan
kepada anak-anaknya setelah ia sendiri mengakui bahwa seandainya ia masih ingin
menikah lagi niscaya ia akan menikahi sebelum anak-anaknya. Dan benarlah
ternyata kejururan itu berbuah ranum. Dari rahimnya, lahir seorang wanita
shalihah yang melahirkan Khalifah besar setelahnya, Umar bin Abdul Aziz.
Ketiga,
Ketaatan kepada pemimpin
Pemimpin
dipilih atau diangkat untuk ditaati. Sebagai seorang muslim kita harus mentaati
perintah pemimpin kita. Walau pimpinan itu seorang yang hitam legam, keriting
sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Nabi Shallahu alaihi wa sallam. 
Namun
sebagaimana yang dijelaskan buku-buku fikih para ulama terdahulu, ketika
perintahnya melanggar perintah Allah subhanahu wata'ala maka kita hanyalah
menaati yang bersesuaian dengan aturan Allah saja. Karena tidak ada ketaatan
kepada Makhluq dalam kemaksiatan Al Khaliq. 
Menaati
pemimpin dalam kebaikan dan taqwa adalah manifestasi dari ibadah kepada Allah
subhanahu wata'ala.Athiullaha waathiur rasuul, waulul amri minkum. "Taatlah 
kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul, serta kepada pemimpin-pemimpin
dari kalian". Kata Taatlah diulang dua kali, kemudian dilanjutkan kepada
pemimpin…
Keempat,
Muraqabatullah
Manusia
harus selalu sadar bahwa ia selalu diawasi dari detik-ke detik selama 24 jam
sehari selama ia hidup didunia. Setiap hal yang ia lakoni walaupun sebesar
atom, kelak ia akan menerima pahala atau dosa. Maka sungguh seorang yang
bijaksana adalah orang yang selalu menghitung timbangan kebaikan dan
keburukannya.
Semoga
timbangan kebaikan kita lebih berat daripada timbangan kejelekan kita. Wallahu
a'lam bishwab. Aminuddin, 7 Ramadlan 1430 H. Disampaikan di Masjid AtTauhid
ARH, UI, Jakarta kamis,28-08-2009
Sponsored. www.madinastore.com


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke