----- Original Message ----- 
From: eko_sp 
To:  
Sent: Thursday, July 06, 2006 3:37 PM
Subject: Kasih Ibu Di Dalam Bus


KASIH IBU DI DALAM BUS
   
  Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan. Siapakah yang pantas 
disebut sebagai seorang ibu? Apakah, hanya sosok wanita yang pernah melahirkan 
kita saja? Adakah wanita yang mengasihi seorang anak sedemikian rupa, meskipun 
bukan anaknya sendiri?
   
  Untuk merenung lebih jauh tentang sebuah cinta kasih, Saya teringat penggalan 
kalimat dari sebuah syair lagu yang diciptakan oleh grup musik ternama "DEWA" 
aku mencintaimu, lebih dari yang kau tahu.
   
  Syair ini begitu luar biasa. Mencintai seseorang lebih dari yang 
diketahuinya. Rasanya begitu pas dan sekali bagi seorang ibu, yang tidak pernah 
menghitung-hitung 'jasa' demi anak-anaknya...!
   
  Pagi itu, setelah saya selesai memberi Ceramah Dhuha di salah satu Masjid 
yang cukup megah di kota Lumajang Jawa Timur, saya diantar teman-teman panitia 
menuju terminal Bus. Selanjutnya, saya naik angkutan umum Bus Antar Kota untuk 
kembali pulang ke kota tempat tinggal saya.
   
  Ketika Bus yang saya naiki sampai di kota Probolinggo, bus berhenti di 
terminal beberapa menit. Kemudian berangkat lagi menuju kota Malang dengan 
melalui beberapa kota.
   
  Ada hal menarik bagi saya ketika bus berhenti di terminal Probolinggo yang 
hanya beberapa saat itu. Yang pertama, saya iseng-iseng menghitung jumlah 
penjaja makanan yang naik ke dalam bus, ketika bus berhenti. Saya hitung ada 
sebanyak dua puluh delapan orang dengan membawa berbagai macam barang dagangan. 
Mulai dari minuman air mineral, makanan bungkus, kue-kue, topi, majalah, mainan 
anak-anak, rokok, sampai dengan barang-barang souvenir khas daerah.
   
  Semua dijajakan dengan ekspresi masing-masing. Dan tentu saja yang tidak 
ketinggalan adalah para anak-anak muda pengamen jalanan. Mereka menunjukkan 
kebolehannya dalam 'berolah vokal' melantunkan lagu-lagunya.
   
  Nah, di tengah-tengah riuh rendahnya suara berbagai macam orang dengan 
aktifitasnya masing-masing itulah saya memperhatikan sebuah ekspresi yang cukup 
menarik dari beberapa wajah.
   
  Di kursi seberang di sebelah kanan saya, ada seorang ibu muda menggendong 
anaknya, berumur sekitar tiga tahun. Raut wajah anak itu gelisah. Rupanya ia 
merasa gerah, haus dan lapar. Bahkan, akhirnya ia menangis meskipun tidak 
mengeluarkan suara keras.
   
  Sang ibu mengerti apa yang terjadi dengan anaknya. Tetapi ia tidak juga 
beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil suatu keputusan, misalnya 
membelikan makanan atau minuman.
   
  Setelah agak lama, akhirnya saya lihat ibu tersebut mengeluarkan uang dari 
balik bajunya, sebesar lima ribu rupiah. Uang itu digenggamnya erat-erat. 
Mungkin supaya tidak lepas atau tidak hilang di tengah berjubelnya para 
penumpang dan penjaja makanan yang sangat padat.
   
  'Adegan' berikutnya adalah, dengan penuh keragu-raguan ibu tersebut memanggil 
penjual nasi bungkus yang sedang berdiri di dekat saya. Seorang ibu setengah 
baya. Ibu itu bertanya kepada penjual nasi bungkus. Berapa harga satu bungkus 
makanan yang dijajakannya itu.
  Si penjual nasi bungkus menjawab dengan logat daerah yang sangat kental. Ia 
mengatakan harganya Rp.2.500,- per bungkus. Saya tidak mengetahui secara pasti 
apa yang terpikir dalam benak sang ibu pembeli tersebut. Dengan penuh keraguan, 
bercampur rasa khawatir ia menawar nasi tersebut dengan harga Rp.1.500,-/ 
bungkus.
   
  Saya terus mengikuti dengan seksama 'adegan' menarik yang terjadi di hadapan 
saya itu. Saya berfikir tentu sang ibu penjual tidak akan memberikan barang 
dagangannya, sebab rasanya tidak mungkin nasi satu bungkus dihargai hanya 
seribu lima ratus rupiah.
   
  Benar dugaan saya. Si penjual tidak memberikannya. Ketika si penjual nasi mau 
beranjak ke kursi lain, ibu penjual tersebut tanpa sengaja menatap wajah si 
anak kecil yang sedang gelisah di pangkuan ibunya.
   
  Hanya selang beberapa detik, sang ibu penjual nasi seperti terkena 'hipnotis' 
oleh wajah sedih yang haus dan lapar dari anak kecil tersebut. Akhirnya ibu 
penjual pun membalikkan tubuhnya menghadap ke ibu yang menggendong anaknya itu. 
Dan dengan penuh rasa iba ia relakan nasi bungkusnya dibeli dengan harga 
Rp.1.500,-
   
  Saya fikir kejadian itu sudah selesai. Dan sudah berakhir sampai disitu saja. 
Ternyata perkiraan saya salah. Karena kejadian itu terus berlanjut dengan 
'episode-episode' yang lebih menarik lagi...
   
  Berikutnya saya lihat ibu pembeli, memberikan lembaran uang kertas sebesar 
lima ribu rupiah yang rupanya uang itu merupakan satu-satunya uang yang ia 
miliki saat itu. Karena harga nasi bungkus Rp.1500,- berarti si penjual harus 
mengembalikan uang sebesar Rp.3.500,- kepada si pembeli.
   
  Apa yang terjadi berikutnya? Ternyata ibu penjual nasi bungkus tidak memiliki 
uang kembalian, sebab saat itu barang dagangannya belum laku sama sekali. Maka 
si penjual nasi bungkus pun berupaya untuk menukarkan uang lima ribuan tersebut 
kepada para pedagang lainnya yang ada di sekitarnya.
   
  Beberapa kali ia mencoba menukarkan uang tersebut kepada para pedagang 
disekitarnya, tapi tidak satupun yang mau menukar uang tersebut. Sampai-sampai 
penjual nasi bungkus itu menjadi kebingungan, sebab bus beberapa saat lagi akan 
berangkat.
   
  Agak lama si penjual kebingungan. Dan rupanya bus sudah mau berangkat. Saat 
itu, datang seorang ibu penjual onde-onde yang sudah agak tua. Saya lihat Ibu 
penjual nasi bungkus melakukan pembicaraan singkat dengan ibu penjual onde-onde 
dengan logat bahasa daerah yang sangat kental sambil menunjuk kepada anak kecil 
yang ada di pangkuan ibunya.
   
  Saya lihat ibu penjual onde-onde itu langsung mencari uang yang terselip di 
bawah barang dagangannya. Dan iapun menukar uang lima ribuan tadi dengan 
uangnya. Sehingga ibu penjual nasi bungkus tersebut akhirnya bisa memberikan 
uang kembalian kepada ibu pembeli nasi yang masih memangku anaknya.
   
  Dari kejadian singkat itu, saya mendapat satu pengalaman yang menarik dan 
berharga. Sebuah kejadian dari sekian ratus kejadian serupa di tempat-tempat 
lain. Yang mungkin tidak sempat terperhatikan. Point apa yang bisa kita ambil 
dari kejadian sederhana itu?
   
  Bahwa perasaan cinta kasih seorang ibu, senantiasa bisa 'menembus batas' 
kesulitan yang dialaminya.
   
  Mari kita lihat kesulitan apa yang dialami oleh masing-masing ibu tersebut.
  Ibu muda (pembeli) yang uangnya tinggal lima ribu rupiah.
    
   Duit satu lembar lima ribu rupiah itu rupanya akan dipakai untuk keperluan 
lain yang sudah direncanakannya. Mungkin saja untuk transport setelah turun 
dari bus.Tetapi karena anaknya lapar, maka iapun merasa kesulitan untuk 
mengambil keputusan. Apabila uang itu dipakai untuk membeli nasi seharga dua 
ribu lima ratus, berarti sisa uang tinggal dua ribu lima ratus rupiah saja yang 
mungkin tidak cukup untuk keperluan lainnya.  
   Tetapi akhirnya toh, ia lakukan juga membeli nasi bungkus demi anaknya yang 
sedang kelaparan.  
   Ia `nekat' membeli nasi bungkus dengan menawar pada harga yang bukan pada 
tempatnya, demi anaknya!  
   Meskipun dengan perasaan agak malu, terpaksa juga ia lakukan.  
   Hal itu dilaksanakan demi kasih sayangnya kepada buah hatinya.
   
  Ibu setengah baya, penjual nasi bungkus.
    
   Ia mau dan mampu menjual barang dagangannya dibawah harga normal, yang 
mungkin akan menyebabkan ia rugi.  
   Hal itu bisa ia lakukan setelah ia melihat sorot mata iba dari sang anak 
yang sedang kelaparan.   
   Mungkin saja, ia teringat kepada anaknya yang ada di rumah, yang suatu saat 
mungkin juga akan mengalami peristiwa semacam itu
   
  Ibu tua, penjual onde-onde
    
   Ia mau menukar uang penjual nasi bungkus, setelah ia juga ikut menyaksikan / 
merasakan kegelisahan sang anak.  
   Meskipun dagangannya tidak ikut laku, iapun rela repot mencarikan uang untuk 
menukar uang si penjual nasi.  
   Padahal bus sudah mau berjalan, tetapi ia tetap berkeinginan untuk menolong 
orang lain.
   
  Kalau kita perhatikan, kejadian itu cukup singkat. Tetapi ada suatu nilai 
yang tersembunyi di dalamnya. Peristiwa kecil itu bagaikan drama singkat satu 
babak, yang diperankan oleh tiga orang ibu dengan usia yang berbeda.
  1. Ibu muda pembeli nasi bungkus
  2. Ibu setengah baya penjual nasi bungkus
  3. Ibu tua si penjual onde-onde
   
  Semuanya mempunyai 'kasus' yang sama. Mereka asalnya merasa keberatan dan 
kesulitan untuk mengambil jalan keluar dari sebuah persoalan.Tetapi pada 
akhirnya semuanya mau berbuat sesuatu untuk menolong sang anak, yaitu setelah 
mereka memahami dan ikut merasakah perasaan sang anak yang sedang gelisah 
karena haus dan lapar...
   
  Ibu pembeli rela duitnya berkurang, demi anak, Ibu penjual nasi bungkus rela 
rugi, demi anak, Ibu penjual onde-onde rela repot, demi anak.
   
  Seorang ibu...,
  dimanapun, kapanpun, dan kemanapun ia akan selalu memiliki kasih sayang. 
Lebih-lebih kepada seorang anak yang membutuhkan bantuannya. Seseorang disebut 
sebagai ibu, bukan sekedar karena ia pernah melahirkan anak, tetapi karena ia 
memiliki kasih sayang kepada setiap insan. Apakah kepada anak kandungnya 
sendiri, ataukah kepada anak orang lain. Tiga orang ibu di dalam bus tersebut 
telah membuktikan kepada kita semua, bahwa benar "...kasih ibu adalah sepanjang 
jalan..."
   
  Pernahkah kita mencoba membaca keadaan ibunda kita masing-masing ?
   
  Mungkin saja, banyak sekali peristiwa-peristiwa kecil semacam itu yang 
terjadi pada ibu kita masing-masing pada zamannya dahulu. Hanya saja kita tidak 
mengetahuinya atau tidak mendapatkan informasinya. Tetapi yakinlah bahwa ibu 
kita bisa membesarkan diri kita sampai dengan kita dewasa ini tentu melalui 
berbagai macam peristiwa 'luar biasa' yang pahit dan manisnya menjadi kenangan 
tersendiri bagi mereka...
   
  Pernahkah suatu malam, kita melewati pasar subuh? Betapa banyaknya para ibu 
penjual sayuran atau sejenisnya, yang tertidur menunggu pembeli sambil mendekap 
anaknya yang masih balita. Sang ibu rela tidak menggunakan kain sarungnya untuk 
menutupi tubuhnya yang kedinginan, sebab kain itu ia selimutkan kepada buah 
hatinya yang tertidur lelap di dekatnya...
   
  Pernakah kita mengingat kembali, peristiwa-peristiwa sepele ketika kita masih 
sebagai anak-anak dahulu?
   
  Ingatkah kita ketika ibu kita mengupas buah mangga, bagian yang manis ia 
berikan kepada anak-anaknya, sementara bagian yang masam untuknya? Bahkan 
beliau makan bagian yang masam itu sambil tertawa lucu dan bahagia ?
   
  Atau ingatkah kita dengan peristiwa-peristiwa senada itu, dimana sang ibunda 
kita melakukamsesuatu yang lebih mengutamakan kepentingan anaknya daripada 
kepentingan dirinya sendiri? ...Ya Tuhan, ampunilah dan maafkan dosa dan 
kesalahan ibu kami, sayangilah ia sebagaimana ia menyayangi kami ketika kami 
masih kecil

 

  ----------

IMPORTANT -
The contents of this email and its attachments are confidential and intended 
only for the individual or entity named above.
Any unauthorized use of the contents is expressly prohibited. If you receive 
this email in error, please contact us, then delete the email.
Please note that any views or opinions presented in this email are solely those 
of the author and do not necessarily represent those of the company and should 
not be seen as forming a legally binding contract without express written 
confirmation.
Finally, the recipient should check this email and any attachments for the 
presence of viruses. PT Astra Honda Motor accepts no liability for any damage 
caused by any virus transmitted by this email.


[Non-text portions of this message have been removed]



----Hapus qoute yang tidak relevan jika me-reply!----
Arsip milis ada di:
http://www.mail-archive.com/smu2jombang@yahoogroups.co.uk/
Situs sekolah ada di:
http://www.smun2-jbg.sch.id 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://uk.groups.yahoo.com/group/smu2jombang/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://uk.docs.yahoo.com/info/terms.html
 



Kirim email ke