�PPDi� Aide-Mémoire 7th UN Human Rights Council 3rd to 28th Mar ch 2008
February 22nd, 2008 Aide-Mémoire 7th UN Human Rights Council 3rd to 28th March 2008 Indonesia The Government must act upon its international commitments to human rights Since the beginning of its democratic transition in 1998, Indonesia has ratified several international human rights instruments, including the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESC) and the Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT). While these steps are welcomed, Indonesia has yet to act upon the obligations arising from these treaties. Lack of Effective Habeas Corpus Until now, the Indonesian Code of Criminal Procedure contradicts international standards of fair trial. The lack of legal safeguards for suspects and detainees leaves them vulnerable to human rights violations. Suspects are regularly detained for unduly long periods of detention without access to judges, legal counsel and independent medical examination. They are also rarely informed of their rights but denied basic rights such as the right to an interpreter, the right to visits by family members, the right to medical care and the right to remain silent. Torture As the UN Special Rapporteur on Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment has pointed out after his recent visit to Indonesia, the lack of effective habeas corpus in law and practice facilitates the habitual torture of detainees by police and military officers. Also, Indonesia has thus far failed to criminalize torture in its Penal Code and to establish an independent complaints mechanism for victims of torture. Reminded of its obligation to do so under the CAT, the Indonesian government usually claims that this question is to be addressed in the revision of the Penal Code which is currently debated in parliament. However, reform of the Penal Code has been discussed since at least two decades without observable improvements. Countless torture victims cannot wait another two decades for access to legal remedy for their sufferings. Death Penalty The death penalty is still on the statute books in Indonesia and dozens of convicts are on the death row. Numerous civil society groups are calling for the abolition of the death penalty and a moratorium on pending executions. UN Special Rapporteur Nowak echoed this call, "given the lack of legal safeguards and doubts as to how confessions might have been obtained" in a country where torture appears to be the prime investigative method of the police. Human Rights and Environmental Issues National and international economic stakeholders exploit Indonesia's natural resources day by day without concern for the environmental destruction and threats to human rights they cause. The exploitation of natural resources correlates with myriads of land disputes. The national and international companies involved, often in collusion with the local police and military, force the inhabitants off their land. Rights of traditional owners, particularly indigenous people, to give their free, prior and informed consent to the development of their lands is increasingly recognized under international law but is usually still denied in Indonesia. Frequent protests from traditional land owners ensue, often resulting in a heavy crackdowns from the companies' own security forces, the police or the military. Protestors have been arrested, beaten and even killed. Moreover, the sell out of Indonesian forests threatens the mere existence of the 60-90 million people who depend on the forests for their livelihood. Regarding agrofuels, the UN Special Rapporteur on the Right to Food recently warned "that biofuels will bring hunger in their wake. The sudden, ill-conceived, rush to convert food - such as maize, wheat, sugar and palm oil - into fuels is a recipe for disaster. There are serious risks of creating a battle between food and fuel that will leave the poor and hungry in developing countries at the mercy of rapidly rising prices for food, land and water. If agro-industrial methods are pursued to turn food into fuel, then there are risks that unemployment and violations of the right to food may result". Human Rights and Religious Issues Increasing Restrictions on Personal - Especially Women's - Rights and Freedoms Aceh is so far the only province where the shari'a is officially in place. In other areas, local governments have enacted regional bylaws introducing shari'a-inspired regulations. These in some cases infringe on personal rights and freedoms, especially on women's rights. For example, school girls - even non-Muslims - are forced to wear head scarves at school, and in some areas police raids and trials against unmarried couples have taken place. The implementation of inhuman and degrading punishments like public caning has been reported from Aceh. Th
�PPDi� Vedr. [IACSF] solusi untuk ALA dan ABAS
Aceh adalah sebuah daerah dengan berbagai suku bisa hidup berdampingan dari zaman kerajaan sampai sekarang. Bagaimana dalam sejarah kit abaca bahwa nenek moyang kita sangat terbuka menerima para pendatang dari berbagai daerah. Hidup bersama dan bekerja sama membangun daerah. Mereka tersebar di berbagai wilayah dari daerah perkotaan hingga ke pedalaman. Acheh adalah sebuah Negara dengan berbagai suku bukan sebuah daerah. Setelah berakhir penjajahan Belanda putih, digantikan oleh belanda sawomatang yang berasal dari seberang lautan.(baca Indonesia - Jawa) Fenomena terbaru dihembus pusat yang ingin memperkeruh suasana disaat Aceh baru saja sembuh dari "sakit" yang panjang dan baru saja terkena musibah, yaitu isu pemekaran wilayah Aceh yang didengung oleh segelintir orang dan direspon oleh DPR sebab mengangkat tema kesejahteraan rakyat di daerah-daerah pedalaman. Apapun cerita kenapa daerah pedalaman kurang perhatian di berbagai bidang tidak lain karena ulah pusat juga, untuk tingkat nasional, Aceh selalu dianak tirikan begitu juga untuk tingakat Aceh daerah-daerah seperti di ALA dan ABAS dianak tirikan. Jadi wajar sekali jika mereka minta pisah mengatur diri sendiri, memang tak dapat dipungkiri ada kepentingan tertentu di balik semua itu. Acheh tidak sakit. Yang sakit itu Jawa bukan Acheh. Kalaaupun Acheh dikatakan "sakit" itu adalah akibat penjajaahan Jawa yang "sakit" kepala alias tidak memiliki pikiran manusia tapi pikiran binataang buas yang menganggap harta orang, harta mereka. Issue pemekaran Ala adalah isue orang sakit kepala dimana merekaa terperosok dibawaah kaki sang tuannya di Jakarta. DPR adalah Dewaan Penipu Rakyat. Memang dalam pandangan konco DPR pernyataan saya ini dianggap kaasar tapi ketika TNI/POLRI menganianya orang Acheh tak ada pihak yang bilang kasarkan? Termasuk Dewan Penipu Rakyat itu bersekongkol untuk menganianya orang Acheh yang menuntut haknya. Kalau anda katakan mendapat sambuatan DPR disebabkan mengangkat tema kesejahteraan rakyat di daerah-daerah pedalaman, apaakah setolol itukah yang namanya DPR itu? Anda ini aneh sekali, disatu sisi mengaku kurang perhatian diberbagai bidang itu akibat ulah Jakarta (penjajah Jakarta, bahasa yang tidak kabur) tapi dilain sisi anda katakan wajar sekali jika mereka minta pisah mengatur diri sendiri. Anda bertambah aneh lagi ketika mengatakan memang tidak dapat dipungkiri ada kepentingan tertentu dibalik semua itu. Apakah anda sedang melakon sandiwara Ketoprak, Danil? Bagi rakyat jelata persoalan pertama adalah finansial. Bukankah ekonomi orang Gayo jauh lebih baik dibandingkan masyarakat Acheh kawasan lainnya? Di Lhokseumawe kelihatannya memang banyak orang kaya, tapi mereka itu bukan penduduk tempatan. Mereka itu pengisap kekayaan Acheh, (baca petrodolar) baik orang kulit putih atau sawomatang Jawakarta. Umumnya rakyat jelata acheh tinggal di gubuk-gubuk derita. Justru itulah saya menggunakan bahasa yang membekas agar jantungan pihak penjajah dan konco-konconya atau antek-anteknya dari Acheh sendiri yang sering menulis dengan sekedar "bercanda", menggunakan gaya bahasa ilmiah gadongan. Bahasa seperti itu tidak cocok kita gunakan terhadap penjajah dan antek- anteknya tapi sesama kita. Andai Sultan sekaliber Iskandar Muda melihat fenomena ini pasti beliau akan sangat kecewa atas tindak tanduk anak cucunya sekarang ini, Beliau sudah memperjuangkan daerah hingga ke Sumatra dan semenanjung Malaysia, tapi apa yang terjadi dewasa ini, wilayah yang menjadi bekas taklukannya hancur lebur, malah yang tersisa mau dimekarkan menjadi tiga wilayah, inilah hasil kerjaan generasi berikutnya yang pandai memperciut wilayah dengan berbagai tema dan argument. Siapakah yang menghancur leburkan Acheh - Sumatra? Anda mengatakan aanak cucu Iskandar Muda? Kenapa anda menyalahkan korbannya? Apakah anda tidak mampu berpikir kalau yang membuat Acheh hancur, penjajah Indonesia bersama antek-anteknya diatas tadi? Sekali lagi terulang keanehan anda berbalik menyalahkan orang yang menciut wilayahnya. Betapa anehnya anda ini. Masyarakat tertentu seperti anggota dewan di wilayah tersebut tentu sangat ingin daerah mereka cepat dimekarkan dengan harapan dapat mencari jabatan baru dan kepentingan pribadi. Tentu kita sebagai masyarakat biasa menunggu sikap dan solusi dari Gubernur Irwandi Yusuf, yang harus secara bijak menanggapi masalah ini, Alinia ini juga bertentangan dengan pikiran anda dialinia diatas. Disini anda menyerah kan kepada kebijaksanaan Irwandi, walaupun memang seharusnya Irwandi yang harus mengambil keputusan yang tepat Mungkin ada salah satu solusi untuk meredam isu pemekaran ini, yaitu di Aceh ini ada semacam pemisahan kekuasaan gubernur, dimana untuk wilayah Aceh seluruhnya dipimpin oleh seorang gubernur NAD, kemudian untuk wilayah ALA dipimpin oleh Gubernur Distrik ALA yang dipilih oleh masyarakat ALA, dan masyarakat ABAS di pimpin oleh Gubernur Distrik ABAS yang dipilih oleh masyra
�PPDi� haji otonomu bisa jadi belaga
http://www.youtube.com/watch?v=Lue75dQPxy8 - Original Message From: Anwar Ali <[EMAIL PROTECTED]> To: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; PPDI@yahoogroups.com; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Sent: Saturday, March 22, 2008 5:16:53 PM Subject: «PPDi» Vedr. [IACSF] solusi untuk ALA dan ABAS Aceh adalah sebuah daerah dengan berbagai suku bisa hidup berdampingan dari zaman kerajaan sampai sekarang. Bagaimana dalam sejarah kit abaca bahwa nenek moyang kita sangat terbuka menerima para pendatang dari berbagai daerah. Hidup bersama dan bekerja sama membangun daerah. Mereka tersebar di berbagai wilayah dari daerah perkotaan hingga ke pedalaman. Acheh adalah sebuah Negara dengan berbagai suku bukan sebuah daerah. Setelah berakhir penjajahan Belanda putih, digantikan oleh belanda sawomatang yang berasal dari seberang lautan.(baca Indonesia - Jawa) Fenomena terbaru dihembus pusat yang ingin memperkeruh suasana disaat Aceh baru saja sembuh dari "sakit" yang panjang dan baru saja terkena musibah, yaitu isu pemekaran wilayah Aceh yang didengung oleh segelintir orang dan direspon oleh DPR sebab mengangkat tema kesejahteraan rakyat di daerah-daerah pedalaman. Apapun cerita kenapa daerah pedalaman kurang perhatian di berbagai bidang tidak lain karena ulah pusat juga, untuk tingkat nasional, Aceh selalu dianak tirikan begitu juga untuk tingakat Aceh daerah-daerah seperti di ALA dan ABAS dianak tirikan. Jadi wajar sekali jika mereka minta pisah mengatur diri sendiri, memang tak dapat dipungkiri ada kepentingan tertentu di balik semua itu. Acheh tidak sakit. Yang sakit itu Jawa bukan Acheh. Kalaaupun Acheh dikatakan "sakit" itu adalah akibat penjajaahan Jawa yang "sakit" kepala alias tidak memiliki pikiran manusia tapi pikiran binataang buas yang menganggap harta orang, harta mereka. Issue pemekaran Ala adalah isue orang sakit kepala dimana merekaa terperosok dibawaah kaki sang tuannya di Jakarta. DPR adalah Dewaan Penipu Rakyat. Memang dalam pandangan konco DPR pernyataan saya ini dianggap kaasar tapi ketika TNI/POLRI menganianya orang Acheh tak ada pihak yang bilang kasarkan? Termasuk Dewan Penipu Rakyat itu bersekongkol untuk menganianya orang Acheh yang menuntut haknya. Kalau anda katakan mendapat sambuatan DPR disebabkan mengangkat tema kesejahteraan rakyat di daerah-daerah pedalaman, apaakah setolol itukah yang namanya DPR itu? Anda ini aneh sekali, disatu sisi mengaku kurang perhatian diberbagai bidang itu akibat ulah Jakarta (penjajah Jakarta, bahasa yang tidak kabur) tapi dilain sisi anda katakan wajar sekali jika mereka minta pisah mengatur diri sendiri. Anda bertambah aneh lagi ketika mengatakan memang tidak dapat dipungkiri ada kepentingan tertentu dibalik semua itu. Apakah anda sedang melakon sandiwara Ketoprak, Danil? Bagi rakyat jelata persoalan pertama adalah finansial. Bukankah ekonomi orang Gayo jauh lebih baik dibandingkan masyarakat Acheh kawasan lainnya? Di Lhokseumawe kelihatannya memang banyak orang kaya, tapi mereka itu bukan penduduk tempatan. Mereka itu pengisap kekayaan Acheh, (baca petrodolar) baik orang kulit putih atau sawomatang Jawakarta. Umumnya rakyat jelata acheh tinggal di gubuk-gubuk derita. Justru itulah saya menggunakan bahasa yang membekas agar jantungan pihak penjajah dan konco-konconya atau antek-anteknya dari Acheh sendiri yang sering menulis dengan sekedar "bercanda", menggunakan gaya bahasa ilmiah gadongan. Bahasa seperti itu tidak cocok kita gunakan terhadap penjajah dan antek- anteknya tapi sesama kita. Andai Sultan sekaliber Iskandar Muda melihat fenomena ini pasti beliau akan sangat kecewa atas tindak tanduk anak cucunya sekarang ini, Beliau sudah memperjuangkan daerah hingga ke Sumatra dan semenanjung Malaysia, tapi apa yang terjadi dewasa ini, wilayah yang menjadi bekas taklukannya hancur lebur, malah yang tersisa mau dimekarkan menjadi tiga wilayah, inilah hasil kerjaan generasi berikutnya yang pandai memperciut wilayah dengan berbagai tema dan argument. Siapakah yang menghancur leburkan Acheh - Sumatra? Anda mengatakan aanak cucu Iskandar Muda? Kenapa anda menyalahkan korbannya? Apakah anda tidak mampu berpikir kalau yang membuat Acheh hancur, penjajah Indonesia bersama antek-anteknya diatas tadi? Sekali lagi terulang keanehan anda berbalik menyalahkan orang yang menciut wilayahnya. Betapa anehnya anda ini. Masyarakat tertentu seperti anggota dewan di wilayah tersebut tentu sangat ingin daerah mereka cepat dimekarkan dengan harapan dapat mencari jabatan baru dan kepentingan pribadi. Tentu kita sebagai masyarakat biasa menunggu sikap dan solusi dari Gubernur Irwandi Yusuf, yang harus secara bijak menanggapi masalah ini, Alinia ini juga bertentangan dengan pikiran anda dialinia diatas. Disini anda menyerah kan kepada kebijaksanaan Irwandi, walaupun memang seharusnya Irwandi yang harus mengambil keputusan y