Komunitas manapun yang mengira Muawiyah bin Abi Sofyan itu sebagai “Amirul
Mukminin” membuktikan bahwa mereka tidak memiliki ideology yang haq dalam
mengarungi “Samudera kehidupan” Dunia ini. Dalam sejarah, kendatipun Imam Ali
bin Abi Thalib as diangkat Allah dan RasulNya sebagai penerus keimamahan
Rasulullah, namun disebabkan adanya pihak yang ambisius untuk menjadi pemimpin,
sebqgaima na realita yang terjadi di Acheh - Sumatra sekarang ini, pastinya
setelah terbunuhnya Usman bin ‘Affan, diakui juga sebagai Khalifah ke IV secara
mayoritas. Tapi justru Mu’awiyah bin Abu Sofyan dengan sokongan politikus keji,
Amru bin ‘Ask yang tidak lain adalah anak zina dari Abu Sofyan sendiri dari
hasil perzinaannya dengan si Nabilah yang karena pelitnya Abu Sofyan hingga
terpaksa mengaku kandungan dalam rahimnya itu milik Abu ‘Ask, melawan Khalifah
yang sah disisi Allah dan juga disisi manusia kala itu. Pastinya Mu’awiyah
adalah seorang penguasa
dhalim yang munafiq, dimana sosok semacam itu diaplikasikan sepakterjangnya
oleh Shah Redza Palevi Iran, Saddam Husen Irak, Marcosnya Pilipina dan
Suhartonya Indonesia. Yang terakhir ini diwarisi juga oleh Yudhoyono -
Kalla yang sedang bersandiwara ketoprak di Acheh - Sumatra. Sederetan
penguasa yang saya sebutkan tadi adalah pembohong, dimana sepakterjangnya
merupakan symbolisasi daripada “Qabil“, pembunuh manusa.
Kalau ada komunitas yang meyakini bahwa Muawiyah itu “Amirul Mukminin” ini
terindikasi bahwa komunitas tersebut masuk dalam kategori “korban sejarah“.
Mereka itu tidak berdaya untuk keluar dari “penjara sejarah“. Andaikata suatu
komunitas tidak berdaya untuk melepaskan diri dari penjara Sejarah, dapat
dipastikan komunitas tersebut juga tidak berdaya sama sekali untuk keluar dari
“penjara materi“, yang merupakan penjara terbesar dan terhebat sebagai
penghalang manusa dari meraih esensinya. Dengan kata lain bahwa komunitas
tersebut tidak berdaya untuk beresensi tapi sekedar exist di planet Bumi ini.
Sesungguhnya mereka itu bukan manusa tapi basyar, pakai istilah ‘Ali Syari’ati.
Qabil dan Habil merupakan symbolisasi bagi kita ummat manusa untuk mengambil
I’tibar secara jelas sekali bahwa manusia disetiap jamannya senantiasa
memperlihatkan sosok Habil dan Qabil. Habil merupakan symbolisasi dari manusia
yang sesungguhnya dan sosok Qabil merupakan symbolisasi dari manusa palsu
atau basyar. Sosok Qabil diwarisi oleh Namrud, Fir’aun, Hamman, Karun, dan
Bal’am sementara sosok Habil diwarisi oleh Nabi Ibrahim, Musa dan Harun.
Selanjutnya prototipe yang paling mirip dengan Habil yang tidak melawan ketika
dibunuh Qabil adalah nabi ’Isa bin Maryam yang terkenal dengan nabi yang
cintakasih. Nabi Muhammad adalah pengejawantahan Musa dan ’Isa, dimana beliau
disamping memiliki kepalan tinju nabi Musa, beliau juga menyimpan hati nabi
’Isa didadanya. Imam ’Ali bin Abi Thalib adalah saudara sepupu Nabi Muhammad
sekaligus sebagai murid Istimewa dan utamanya, dimana Allah telah mempersiapkan
sebagai pelanjut keimamahan Rasul
sebagai hujjah Allah setelah nabi Muhammad hingga diwarisi terus sampan Imam
Mahdi yang terakhir.
Selanjutnya sepakterjang Qabil diaplikasikan oleh Samiri yang berhasil
memperdayakan ummad nabi Musa dengan “anak lembu” yang terbuat dari emas. Di
jaman nabi Muhammad saww, sepakterjang Qabil diaplikasikan oleh Mu’awiyah bin
Abi Sofyan dan anaknya Yazid bin Mu’awiyah yang sesekali muncul pembelanya di
jaman kita sekarang ini. Antara Imam ‘Ali dan Mu’awiyah merupakan dua sosok
manusa yang sangat Kontraversi, dimana Imam ‘Ali sebagai pewaris Habil,
Muawiyah adalah pewaris Qabil. Betapa banyak manusa mulia (baca keturunan
Rasulullah) yang dibunuh Mu’awiyah setelah syahidnya Imam ‘’Ali. Imam Hasan
sendiri syahid diracun atas perintah Muawiyah sendirii, masih adakah yang
meyaki ni Mu’awiyah sebagai amirul mukminin? Belum lagi kita uraikan
sepakterjang Mu’awiyah dalam memalsukan hadist Rasulullah melalui para ’alim
palsu macam Abu Hurairah yang terlanjur disangka masih sama baiknya ketika
Rasulullah masih hidup. Lebih ironis
lagi kalau ada pihak yang tidak dapat membedakan antar Imam Hussein yang
shahid di Karbala, demi “menyiram phon Islam” dengan darahnya dan
darah ahlulbayt Rasulullah. Bagaimana lugunya suatu komunitas yang tidak
mampu membedakan antar pembunuh dan korbannya?
Andaikata masih ada komunitas yang meyakini bahwa kedua makhluk yang paling
dhalim itu, nyakni Muawiyah bin Abi Sofyan dan Yazid bin
Mu'awiyah sebagai amirul mukmi nin, betapa lugunya komunitas
tersebut masih saja tenggelam dalam kesesatan yang nyata. Siapakah
sebetulnya komunitas macam itu? Islamkah atau Islam palsu. Inilah sesungguhnya
yang diyakini orang-orang yang bersatupadu dalam system Indonesia Dhalim dan
Munafiq dewasa ini. Mereka menganggap bahwa Yudhoyono juga sebagai
“amiril mukminin“. Justru itu mereka menggunakan “hikayat musang” untuk membela
Yudhoyono - Kalla dalam konprontasinya dengan Acheh - Sumatra dan Wes