Pemusnahan unggas, momentum untuk meningkatkan konsumsi daging kambing
Oleh : Ir. H. Andri Fajria, M.Kom
- Alumni TF ITB dan Magister Komputer UI yang menjadi Ketua Himpunan
Peternak Domba & Kambing Indonesia/HPDKI DPD Banten.
- Pendiri LP3W Harmonia, lembaga inkubator bisnis di Tangerang
- Pengusaha : Aqiqah Center Raja Kambing Jabodetabek
- Dapat ditemui di : 08176809285, [EMAIL PROTECTED]
Semakin berkembangnya virus Flu Burung (Avian Influenza)
menyebabkan pemerintah terpaksa mengambil langkah langkah yang tegas untuk
menghambat penyebarannya. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso telah mengeluarkan
Peraturan Gubernur No. 5 tahun 2007, yang meminta masyarakat meniadakan semua
ternak unggas di pemukiman hingga 31 Januari 2007, dan setelah itu unggas tak
boleh lagi dipelihara di perumahan.
Akibat Flu Burung pula, pasokan ayam ke DKI Jakarta yang
jumlahnya biasanya 1 juta ekor per hari, kini tinggal separohnya. Padahal
pasokan ke DKI Jakarta tersebut merupakan 29 % dari total produksi nasional
sebesar 3,5 juta ekor per hari.
Wabah flu burung ini bisa menghambat pencapaian swa sembada
daging yang dicanangkan pemerintah akan dicapai pada tahun 2010. Sebab daging
ayam memang merupakan pilihan utama masyarakat Indonesia saat memutuskan untuk
mengkonsumsi daging. Dari total konsumsi daging nasional, 56 % adalah daging
ayam, 23 % daging sapi, 13 % daging babi, sementara konsumsi daging kambing
hanya 5 % dan lain lain 3 %.
Kecilnya konsumsi daging kambing, antara lain disebabkan oleh
persepsi negatif masyarakat tentang daging kambing, antara lain :
Bau yang menyengat.
Padahal menurut pengalaman penulis, bau tersebut dapat dihilangkan apabila
sejak proses penyembelihan hingga memasaknya menggunakan teknik standard dan
menjaga kebersihan daging. Menurut pengamatan penulis pada saat penyembelihan
qurban pada Hari Raya Idul Qurban yang lalu, banyak masyarakat yang masih awam
tentang teknik menyembelih ikut membantu sehingga menimbulkan bau yang
menyengat pada daging.
Teknik standard yang penulis maksud adalah sebagai berikut :
a. Pada saat menyembelih, usahakan jangan terlalu menekan bagian perut.
Apabila bagian perut ditekan terlalu keras, pada saat hewan sekarat, ada
sebagian isi dari perut atau kotoran yang terhisap dan bercampur dengan daging.
Hal ini bisa menyebabkan bau yang kurang sedap pada daging.
b. Menguliti dalam posisi menggantung. Sebaiknya setelah disembelih,
hewan tersebut dikuliti dalam posisi tergantung (jangan di lantai). Selain
mempermudah proses pengulitan, teknik ini juga menghindari resiko daging
terkena kotoran.
c. Menggunakan tangan, pisau dan peralatan yang bersih. Cara ini akan
meminimalisir penggunaan air untuk membersihkan daging.
d. Bagi penggemar kepala kambing, usahakan supaya kelenjar keringat di
bagian kepala kambing jantan dibuang sebelum kepala itu diolah.
Menyebabkan darah tinggi
Bagi kami para peternak dan pengusaha kambing, persepsi ini merupakan
penyebab utama masyarakat enggan mengkonsumsi daging kambing. Padahal banyak
pedagang sate, gulai, tongseng dan lain lain yang telah berjualan puluhan
tahun, dan belum pernah ada konsumen yang langsung pingsan setelah makan daging
kambing. Kami memang belum pernah mendapatkan hasil penelitian yang membantah
persepsi negatif tersebut, sehingga penulis hanya bisa membantah berdasarkan
pengalaman empiris di lapangan. Maka dengan tulisan ini penulis mengimbau
kepada pihak peneliti untuk meneliti korelasi antara mengkonsumsi daging
kambing dengan penyakit darah tinggi.
Ada cara lain yang bisa digunakan untuk mengurangi resiko penyakit, baik
menggunakan cara tradisional seperti makan sirih atau pinang, atau makan pil
tertentu yang menurunkan kadar kolesterol dalam darah setelah mengkonsumsi
daging kambing. Bagi anak muda sekarang, makan sirih merupakan suatu hal yang
sangat aneh dan akan menjadi eksperience kuliner yang mengesankan.
Apabila kedua persepsi negatif masyarakat terhadap daging kambing
bisa diatasi, penulis yakin bahwa konsumsi daging kambing akan bisa meningkat
secara tajam. Atau paling tidak bisa melampaui prosentase konsumsi daging babi.
Keawaman masyarakat terhadap jenis ternak ruminansia kecil ini
juga tercermin dari ketidaktahuan masyarakat terhadap perbedaan kambing dengan
domba, antara kambing jawa dengan kambing kacang, antara domba garut dengan
domba parahyangan, dan lain lain. Hal ini cukup menyulitkan pada saat tender
pengadaan hewan qurban di beberapa tempat, di mana panitia tender tidak
mengetahui perbedaan tersebut, sehingga vendor memberikan jenis hewan qurban
yang lebih murah dari jenis domba, padahal panitia mensyaratkan jenis kambing.
Pada saat Idul Qurban yang lalu, penulis antara lain menjual
Domba Ekor Gemuk, yang di kalangan pedagang le