----- Original Message ----- 
From: "Ananto" <pratikno.ana...@gmail.com>
Sent: Tuesday, November 24, 2009 2:17 AM
Subject: [ppiindia] (Tokoh of the Day) Syamsuddin Al Sumatrani, Banda Aceh


Syamsuddin Al Sumatrani



Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi
keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam
kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah
tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin Sumatrani.



Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut
mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan
hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain
karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya
sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.


Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah
mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya
sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang
dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh,
Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan
hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data
historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar
memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.


Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia
lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya,
itu merupakan penisbahan dirinya kepada "negeri Sumatra" alias Samudra
Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri
sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia
juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.


Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun
Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang
tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka bisa diduga bahwa
ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di
Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini
telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.


Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan
Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh.
Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan
15 M, yakni sebelum akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514.
Sementara beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh
Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524.


*Peranan dan Pengaruhnya*


Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani
sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan
al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin
Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan
istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa. Syamsuddin Sumatrani
wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari
masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan
disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan
penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.


Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia
berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan
intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa
dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?),
Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf
Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin
Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya.


Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A.
Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah
Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis
Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran
Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah
Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.



Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara
pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani
wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin
Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun
1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan
(mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan
hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis.
Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah
semuanya.


Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti
kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai
penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian
mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal
adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu
itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India.
Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai
corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.


*Karya-karyanya*


Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya
tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan
Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang
mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab,
sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat
dijumpai adalah sebagai berikut:



1.     Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya
yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini
menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan.

2.     Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr
Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van
Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung
penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang
bukan mulhid.

3.     Mir'at al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini
menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya,
kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi
pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan
dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah (tepatnya Asy'ariah-Sanusiah).

4.     Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya
ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri.
Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).

5.     Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini
merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah Fansuri yang
mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.

6.     Nur al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa
Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953)
mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).

7.     Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini
mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, 'adam, haqq,
bathil, wajib, mumkin, mumtani' dan sebagainya.

8.     Mir'at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu).
Karya ini berbicara tentang ma'rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.

9.     Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula
yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma'rifah atau martabat
tujuh.


*Ajaran Tasawufnya*


Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham
wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu
Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh
Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem
pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.


Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274)
adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja
al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen.
Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud.
Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah
wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah
pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.


Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut
adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan
dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang
maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada
Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik
(penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan
pengertian bahwa tiada ada ma'bud (yang disembah) kecuali Allah.


Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah
(al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa
tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang
sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut
difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali Allah.


Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman
wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin
al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut
panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat
dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud
selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau
majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman
yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka
memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud
alam. Jadi bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan
dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi
penampakannya).


Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam.
Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa
membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian
menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para
penganut tauhid yang benar.


Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, adalah Keesaan
Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali
Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah
karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi
keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma'dum); tetapi
jika dilihat dari segi "keberadaannya karena wujud Tuhan" maka jelaslah
bahwa alam itu ada (maujud).


Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini
diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan
tujuh martabatnya. Tulisnya:

"I'lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh
martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat
wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam
martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan."


Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta'ala, martabat Dzat Allah Ta'ala dan
wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan
wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam 'alaihi al-Salam dan kita
sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta'ala, maka alam arwah martabat
(hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa,
maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu
martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan
wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta'ala, maka alam arwah, alam mitsal alam
ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.


Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan
memberikan ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan
'anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang
terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat
al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.


Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan)
dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut
muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah 'alam tidak
digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat
martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat
ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang martabat alam
atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya. Wallahu A'lam.



Dari berbagai sumber.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com
4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com
5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com
6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com
Yahoo! Groups Links



Kirim email ke