Refleksi : Kalau listerik sering mati, maka mungkin sekali pertanyaannya, 
kemana saja hasil kekayaan alam rakyat Papua yang dikeruk selama ini? 


http://www.harianjogja.com/web2/artikels/detailartikel/241/lagi-kabar-dari-nabire-view.html


Lagi, kabar dari Nabire ... 
Kamis, 05 November 2009 13:07:40Masih ada kisah dari Nabire, sebuah kota di 
pesisir utara tengkuk kepala burung daratan Papua, tentang anak-anak yang 
antusias mau menulis. Meski didera listrik mati seperti sore-sore sebelumnya, 
berbekal lampu darurat sekedar menyaput kegelapan, ada pertanyaan yang menarik 
dari Paul, "Pak guru, saya sudah mencoba menulis, tetapi sering tersendat atau 
berhenti, bagaimana usaha mengatasi itu?". Paul yang tinggal di asrama nun jauh 
dari pedalaman tempat asalnya, yang harus ditempuh tujuh hari berjalan kaki, 
antusias mengungkapkan pengalaman sekaligus minta peneguhan.

Paul, menulis tersendat itu terjadi karena bahan di kepala kita habis. Bisa 
juga pikiran tidak mampu mengaitkan masalah yang kita bahas dengan lentur. 
Kiranya tidak berlebihan jika Romo Baker menyebut menulis sebagai tindakan 
membongkar tabungan yang berupa bacaan di kepala. Entah kepala kita ditumbuhi 
rambut kriting seperti rambut Paul, atau lurus seperti rambut teman sebelahmu 
yang bukan asli Papua, harus diisi dengan bekal bacaan. Sedangkan pakar yang 
lain menyebut menulis sebagai saudara kembar membaca. Intinya, membaca adalah 
syarat  penting untuk bekal menulis.

Dengan antusias harus saya sampaikan kepada Paul dan kawan-kawannya di ruang 
remang-remang itu bahwa sekolah yang menjadi bagian asramanya telah memiliki 
perpustakaan dengan buku-buku mutakhir. "Paul, sempatkan setiap sore singgah di 
perpustakaan untuk membaca, kalau perlu meminjam buku untuk dibaca. Lebih baik 
buku-buku itu kumal atau rusak karena dibaca, daripada kotor berdebu karena 
tidak pernah dimanfaatkan". Tentu saja, wajah hitam legam itu tampak sumringah 
mendengar provokasi yang penuh semangat.

Pengalaman bersama Paul berbeda dengan pengalaman bersama sejumlah guru di 
Kulonprogo. Salah seorang guru bertanya, "Pak, bagaimana mengatasi kemacetan 
ketika  menulis? Tapi jangan disarankan agar saya membaca, lho!" Artinya, bapak 
guru yang seprofesi dengan saya itu tahu, bahwa membaca adalah cara utama 
menemukan ide dan menimba berbagai inspirasi penting. Untuk Paul dan anak-anak 
sebayanya di Nabire ketika memulai membaca akan menghadapi hambatan yang tidak 
mampu mereka atasi. Hambatan membaca pada malam hari adalah listrik mati!

Listrik mati
Betapa saya mengalami situasi yang dihadapi Paul selama sepekan di sana. Hampir 
saban sore hingga tengah malam, banyak wilayah mengalami listrik mati dengan 
alasan giliran. Namun, ironisnya rumah bupati terang benderang bermandikan 
lampu, sementara persis di seberang jalan gelap gulita. Rumah-rumah penduduk, 
asrama pelajar atau mahasiswa yang seharusnya memperoleh pasokan listrik untuk 
membaca dan belajar malam hari justru sering terkena giliran pemadaman. Mereka 
yang sedikit di pedalaman tentu situasinya lebih berat. Pagi-pagi anak-anak 
berjalan kaki menuju sekolah, dengan jalan kaki pula pada sore hari baru tiba 
di rumah, sementara pada malam hari mau membaca atau belajar apa daya gelap 
gulita. Lengkap sudah ketertinggalan pendidikan mereka.

Anak-anak kita membutuhkan listrik cukup untuk membaca dan belajar. Kalau tidak 
hati-hati kita pun mengalami hambatan karena cara berpikir yang perlu 
dikoreksi.  Lazim perusahaan listrik negara (PLN) mengampanyekan hemat listrik, 
setiap rumah mengurangi lampu sejak sore hingga tengah malam. Namun, ironisnya 
PLN tidak mengendalikan pasokan listrik di jalanan untuk lampu-lampu iklan, 
yang tentu saja menelan daya berlebihan. Rumah-rumah yang mestinya leluasa 
terang benderang untuk memberikan kesempatan anak-anak nyaman membaca malahan 
dibatasi. Dalih giliran karena kelebihan beban pada sore hingga malam mestinya 
tidak ditimpakan ke rumah-rumah pada saat anak-anak belajar. Pangkas 
lampu-lampu iklan di jalanan yang justru tidak ada kaiatannya dengan 
pencerdasan anak-anak kita.

Akhirnya, membaca tidak menjadi kebiasaan baik, apalagi dilakukan pada malam 
hari, karena kekurangan cahaya mudah mengantuk. Saatnya untuk mencukupkan 
penerangan di rumah demi menumbuhkan antusiasme belajar anak-anak kita. Paul 
dan kawan-kawan sebayanya di Nabire masih harus berjuang untuk memperpanjang 
waktu membaca dan belajar, sambil berharap tidak mengalami pemadaman listrik 
pada jam belajar!

Kirim email ke