TERJADINYA KESALAH PAHAMAN AKIBAT BELUM MEMAHAMI ESENSI ISLAM KAFFAH
Bismillaahirrahmaanirrahiim



PROKONTRA  ANTARA ORANG - ORANG YANG ANTUSIAS
UNTUK MENERAPKAN SYARIAT ISLAM GADONGAN 
DAN ORANG - ORANG YANG MAU BERFIKIR 
TAPI BELUM CUKUP ENERGY, 
HINGGA ALASANYA MELENCENG 
DARI ”KACA MATA” ALLAH SWT
Muhammad al Qubra
DI
Ujung Dunia



Menolak
kanun Acheh yang berhubungan dengan jinayah, kedudukan wali nanggroe
dan hukum ekonomi ala kapitalis tidaklah berarti setuju berbuat maksiat
tapi persoalan Islam kaffah yang belum dipahami oleh penggagas kanun
tersebut hingga tujuannya melenceng dari/untuk mencari keredhaan Allah.
Kali ini kita kasih contoh yang gampang dipahami walau oleh orang awwam
sekalipun.

Negara itu kali ini kita umpamakan "Kebun Raya",dimana didalam
nya
kita hendak bercocoktanam. Ketika kami bercocoktanam dulu, yang kami
pikiri pertama sekali adalah pagarnya yang harus mantap, agar babi-babi
liar nanti tidak berdaya njelonong kedalamnya. Setelah kami tancapkan
tiang yang kokoh, lalu kami ikat bambu sementara dibawahnya kami
gunakan kawat beronjong agar bukan saja babi hutan yang tidak berdaya
untuk masuk, tapi juga biawak - biawak liar sekalipun. Nah setelah itu
barulah aman apa saja yang kami tanam didalamnya.

Apakah
terlalu sukar dipahami oleh orang'orang yang masih ngotot untuk
menerapkan Syariat gadongan di Tanah Rencong? Hukum yang akan
diterapkan di Acheh - Sumatra umpama tanaman termaksud. Jadi agar
tanaman tersebut aman dari gangguan binatang liar, diperlukan pagarnya
dulu yang kokoh. Pagar yang kita maksudkan adalah systemnya. Bagaimana
mungkin di Acheh - Sumatra hendak diterapkan hukum Islam sementara
Negaranya atau systemnya belum Islami, dimana masih di dalam bingkai
system Taghut Indonesia zdalim, hipokrit dan korrupt. Dapatkah anda
memotong tangan para koruptor dari pegawai negri dan pejabat di Acheh -
Sumatra sementara untuk mereka masih diberlakukan hukum Nasionalnya
Indonesia? Bukankah nantinya justru orang yang masih lemah ekonominya
saja yang menjadi korban? Ini belum lagi kita bicara jinayah yang
dilakukan para tentara dan polisi. 

Islam
itu adalah rahmatan lil alamin. Hukum Islam memerlukan systemnya.
Apabila system telah mampu kita dirikan, belumpun semua hukum dapat
diterapkan dalam waktu yang bersamaan. Contohnya hukum potong tangan,
minimal hanya dapat
diterapkan
kepada para koruptor dulu, sementara pencuri, dimana mereka mencuri
disebabkan kehidupan mereka yang begitu menderita tidak dapat
diberlakukan hukum potong tangan. Kapan juga hukum itu diberlakukan?
Setelah finansial rakyat keseluruhan tercapai. Jadi System Islam harus
berdaya upaya finansial rakyatnya dulu tercapai baru kemudian berbicara
hukum potong tangan. Inilah yang belum dipahami pihak Internasional
yang notabenenya Non Islam dan kaum hipokrit Indonesia di Tanah Rencong.

Jadi
biarpun adanya hukum potong tangan dalam Islam, rakyat dalam systemnya
gak pernah terpotong tangannya, kenapa? Sebabnya semua orang merasakan
bahwa negara tersebut adalah milik mereka. Buktinya harta kekayaan
negara bukan hanya dinikmati oleh penguasa negara dan pegawai negeri
tapi juga non pegawai negri (baca rakyat jelata). Mereka inipun
mendapatkan jaminan kesehatan dan gaji pensiunnya sebagaimana kami
saksikan di Norwegia, Danmark dan Swedia. Dari itu mereka pantang
melakukan hal yang bertentangan dengan hukum. Rakyat melihat dengan
jelas bahwa pemimpin mereka benar-benar pemimpin bukan penguasa. Mereka
dipimpin untuk mencari redha Allah. Pemimpin mereka tidak ada yang
berperangai "cangkul", menimbun kehadapan dirinya saja sementara mereka
berkawok-kawok ke seantero Dunia bahwa mereka telah merdeka, ironisnya
mayoritas rakyatnya hidup menderita. Yang kaya makin kaya, yang maskin
makin maskin. Hal ini dapat kita saksikan dalam system Taghut
Hindunesia dhalim, hipokrit dan korrupt. Penyakit yang cukup ngeri
tersebut hendak mereka kekalkan di Tanah Rencong dengan ujicoba syariat
Pura-pura atau hukum laba-laba.

Demikianlah
alasannya syariat Islam belum dapat diterapkan di Tanah Rencong, yakni
disebabkan belum tegaknya system bukan disebabkan tidak sesuai dengan
hukum Hindunesia (baca hukum nasional taghut Indonesia) dan hukum
Internasional. Disinilah kelirunya alasan Irwandi dalam penolakannya. Kita 
orang beriman diperintahkan Allah agar
hanya takut kepada Allah sebagaimana firmannya berikut ini: "
. . . . . . .Oleh karena itu janganlah kamu takut kepada manusia tetapi
takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar keterangan-keterangan-Ku
dengan nilai yang rendah. Barangsiapa yang memutuskan perkara bukan
menurut apa yang diturunkan Allah, mereka itu adalah kafir. (QS,5 : 44)

Dalam
ayat tersebut diatas Allah memperingatkan kepada orang yang benar
Imannya agar tidak takut kepada manusia (baca manusia yang tidak
beriman kepadaNya, macam orang-orang yang bersekongkol dan terikat
dengan hukum Taghut Indonesia), sebaliknya Allah pesankan agar takut
kepadaNya. SeruanNya itu sudah barang pasti diterima hanya oleh orang
yang beriman saja, sedangkan orang yang tidak beriman pasti menolaknya
dengan argumen "hikayat musang". Ke 2 Allah memperingatkan agar hukum yang 
diturunkanNya itu untuk
kemuslihatan manusia di planet Bumi tidak digantikan dengan nilai yang
rendah (baca hukum taghut). Ke3 Allah
menyatakan bahwa yang tidak menghukum dengan hukum yang diturunkan
Allah adalah kafir. Berdasarkan surah al Maidah ayat 44 ini jelas bahwa
siapapun yang bersatupadu dalam Taghut Indonesia adalah kafir,
kendatipun mereka masih melakukan shalat sekalipun. Justru itu tidaklah
mengherankan kalau mereka menolak hukum Allah.  

Kesimpulannya, Irwandi benar dengan ketegasannya tidak meng acckan
kanun tersebut disebabkan systemnya belum kita bangun. Hukum Islam itu
pastinya mutlak kebenarannya, tinggallagi kita harus mampu memahami
Esensi Islam Kaffah sebelum kita menerapkannya. Kalau hukum Islam
hendak kita terapkan dalam system Indonesia di Acheh sama seperti kita
hendak menempatkan kerbau atau sapi dalam kandang harimau atau hendak
menempatkan kambing dalam kandang serigala. Barangkali Irwandi takut
kepada penguasa Indonesia, hingga mengemukakan alasan yang keliru,
sementara ketegasannya dalam menolak hukum jinayah itu 100 persen benar
dan tepat. 

Billahi fi sabililhaq
Muhammad al Qubra
Acheh - Sumatra



________________________________
From: HELB <hai_otodi...@yahoo.com>
To: ppiin...@yahoogroups.com
Sent: Wed, October 28, 2009 8:03:17 AM
Subject: [IACSF] JINAYAT, PEMIMPIN & MORALITAS

  
JINAYAT, PEMIMPIN & MORALITAS         
Pro Kontra Qanun Jinayah    
Written by Chairul Fahmi, MA | Peneliti Hukum dan Keadilan di AJRC.      
Wednesday, 28 October 2009 13:43  
 
 
URL DETIK 
“Gubernur
Aceh, Irwandi Yusuf menegaskan sikapnya untuk menolak dan tidak akan
pernah menandatangani qanun jinayat yang melegalkan hukum rajam
(hukuman mati dengan lemparan batu) yang telah disahkan DPRA periode
yang lalu”. (Serambi Indonesia, 24 Oktober 2009).

Pernyataan
Gubernur Irwandi Yusuf tersebut mengingatkan saya pada pernyataan salah
seorang perwakilan Uni Eropa di Aceh dalam sebuah pertemuan makan malam
di Banda Aceh, ia menyatakan keprihatinannya jika di Aceh diterapkan
hukum rajam, bagaimana bisa di abad modern, Aceh akan menerapkan
hukuman seperti pada zaman batu yang tidak berperadaban, hukuman yang
kejam dan primitif. Keprihatian seorang diplomat Uni Eropa yang
beragama jelas bukan Islam tersebut dapat kita pahami karena
ketidaktahuannya terhadap ajaran dan ketentuan hudud (ketentuan hukum
dalam Al-Qur’an dan Hadis) dalam Islam. Namun sebaliknya, sangat kita
sayangkan jika seorang pemimpin negeri (imam) yang ingin menerapkan
hukum Islam secara kaffah menyatakan sikap yang sama terhadap hal
tersebut. Padahal seorang pemimpin dalam Islam adalah sebagai seorang
khalifah yang mempunyai tugas dan kewajiban untuk menegakkan hukum dan
aturan yang diturunkan oleh Allah SWT.

Selengkapnya di situs Aceh Institute:
http://id.acehinsti tute.org 
  

   


      

Kirim email ke