Penetapan Qanun Jinayah sah saja andaikata Acheh sudah terbebas
dari kekuasaan Taghut Indonesia. Artinya kita tidak tergantung pada
system perundangan hukum Taghut tapi tergantung pada ketetapan Allah
swt sebagai Pemilik Manusia. Hal ini memang tidak diakui oleh
Organisasi Internasional yang disebut HAM dimana notabenenya didasari
pada pikiran manusia yang dhaif (baca tidak beriman). Kalau mereka
berasumsi bahwa hukum Jinayah itu kejam tidak ada prikemanusiaan dan
sebagainya, mereka lupa untuk berpikir secara transparan: "Bukankah
kedhaliman tentara dan polisi terhadap rakyat jelata, para koruptor
yang membuat negara dan rakyat jelata menderita ekonomi, penzina yang
merugikan dan menghilangkan harga diri dan martabat keluarga, tidak
lebih dhalim daripada hukum yang dikenakan terhadap mereka. Hukum
Jinayah itu adalah hukum yang diturunkan Allah bukan buatan manusia
yang dhaif. Hukum tersebut diturunkan agar diaplikasikan oleh orang
yang beriman kepadaNya, agar para korban mendapat keadilan yang
setimpal terhadap pelakunya Jinayah.

Betapa lugunya kebanyakan manusia coba menentang hukum Allah dengan
bergantung pada HAM dan hukum "positif" Taghut Indonesia, betapa
ansihnya. Sebetulnya mereka buta terhadap firman Allah: " . . . . . . .Oleh 
karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia tetapi takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar
keterangan-keterang an-Ku dengan nilai yang rendah. Barangsiapa yang
memutuskan perkara bukan menurut apa yang diturunkan Allah, mereka itu
adalah orang-orang kafir.(QS, 5 : 44)
Dalam
ayat tersebut diatas Allah memperingatkan kepada orang yang benar
Imannya agar tidak takut kepada manusia (baca manusia yang tidak
beriman kepadaNya, macam orang-orang yang bersekongkol dan terikat
dengan hukum Taghut Indonesia), sebaliknya Allah pesankan agar takut
kepadaNya. SeruanN ya itu sudah barang pasti diterima hanya oleh orang
yang beriman saja, sedangkan orang yang tidak beriman pasti menolaknya
dengan argumen "hikayat musang". Ke 2 Allah memperingatkan agar hukum
yang diturunkanNya itu untuk kemuslihatan manusia di planet Bumi tidak
digantikan dengan nilai yang rendah (baca hukum taghut). Ke 3 Allah menyatakan 
bahwa yang tidak menghukum dengan hukum yang diturunkan Allah adalah kafir. 
Berdasarkan surah  al Maidah ayat 44 ini jelas bahwa siapapun yang bersatupadu 
dalam Taghut Indonesia adalah kafir, kendatipun mereka masih melakukan shalat 
sekalipun. Justru itu tidaklah mengherankan kalau mereka menolak hukum Allah.

Selanjutnya ada lagi golongan manusia yang luarbiasa lugunya hingga 
sepakterjang mereka juga menjejaskan System Islam itu sendiri. Mereka ini 
sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan kaum yang dinyatakan Allah dalam ayat 44 
surah al Maidah diatas. Mereka hendak menerapkan hukum Allah dalam system 
Taghut. pabila hal itu terjadi sebetulnya perbuatan mereka lebih menjejaskan 
Kaum muslimin dibandingkan dibandingkan sepakterjang manusia kafir diatas. 
Orang kafir model yang bersatupadu dalam system Indonesia mudah dimaklumi oleh 
kaum dhuafa tapi kaum yang sedang kita sorot ini adalah Bal-am. Mereka sponsor 
dari penguasa Taghut untuk merusak Acheh - Sumatra agar penjajahan terselubung 
mereka dapat dilestarikan. Kaum inilah yang cukub berbahaya terhadap kaum 
dhuafa dan orang-orang beriman lainnya.

Telah sama sama kita ketahui bahwa Islam agama satu-satunya yang mendapat redha 
Allah (Innad Diina -indallaahil Islaam), adalah rahmatan lil 'alamin (baca 
rahmat bagi seluruh alam) Agama yang sempurna ini tidak akan menerapkan hukum 
mencuri sebelum rakyatnya meraih finansialnya. Andaikata di Acheh - Sumatra 
diterapkan hukum potong tangan terhadap pencuri sekarang, yang korban adalah 
kaum dhuafa yang ekonominya dijauhkan para mutaqabbiru (baca penguasa dhalim, 
para koruptor dan segenap orang yang bersekongkol dengannya) sementara para 
mutaqabbirun itu sendiri tidak tersentuh hukum samasekali kecuali hukum 
sandiwara (baca hukum Taghut"positif" itu). 

Selanjutnya untuk menambah wawasan Islam bacalah tulisan berikut ini:

Affan Ramli, menulis:

Dari
lima qanun yang disahkan oleh DPRA dua hari lalu, hanya Qanun Jinayat
dan Qanun Acara Jinayat yang menyita perhatian melimpah dari masyarakat
sipil, Aceh dan luar. Padahal DPRA pada waktu bersamaan juga
mengesahkan Qanun Penanaman Modal, Qanun Wali Naggroe, dan Qanun
Perlindungan Perempuan (Harian Aceh, 15/09).

 Dari
senarai kritikan terhadap kedua qanun tersorot, hukuman rajam pasal
paling banyak digugat. Terkait realitas ini kita perlu memesan jawaban
dari dua pertanyaan, pertama, mengapa masyarakat sipil Aceh tidak
memberikan respon yang sama terhadap Qanun Penanaman Modal dan Qanun
Wali Nanggroe, padahal keduanya tidak lebih baik dari Qanun Jinayat dan
Qanun Acara Jinayat? Dan kedua, apakah dalil (argumentasi) yang
digunakan dalam mengkritik Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat cukup
mencerdaskan masyarakat luas? 
Adapun
dalil-dalil yang mengemuka dapat ditemukan dengan mudah di pemberitaan
media-media massa lokal.   Kita patut heran saat menemukan masyarakat
Aceh terkesan rela dengan Qanun Penanaman Modal dan Qanun Wali
Nanggroe. Qanun Wali Nanggroe memang tidak akan merajam tubuh rakyat
Aceh, tapi merajam sampai mati Wali Nanggroe sebagai lembaga politik
yang paling menentukan bagi perkembangan sejarah Aceh sejak 1891.
Mengutip Yusra Habib Abdul Gani, Qanun Wali Nanggroe yang melucuti otoritas 
sebenarnya
dari institusi Wali Naggroe merupakan bentuk coup d'état (makar)
terhadap sejarah Aceh. 

Qanun Penanaman Modal juga tidak mewajibkan cambuk atas fisik rakyat Aceh, tapi 
menempatkan Aceh—secara
ekstrim—terbuka bagi kekuatan modal asing akan mempersulit pemerintah
memproteksi industri-industri kecil dalam negeri. Qanun Penanaman Modal
dibuat untuk mendukung upaya liberalisasi Aceh sebagai strategi
pembangunan ekonomi. Padahal terbukti sistem ekonomi liberal gagal
memberikan kesejahteraan kepada mayoritas rakyat.   

Pilihan
ekonomi liberal ini membuat Aceh rentan terhadap ancaman dominasi
kekuatan modal asing atas kedaulatan sumberdaya alam Acheh. Dengan
Qanun Penanaman Modal itu, sumberdaya alam Acheh akan dieksploitasi
untuk mensejahterakan segelintir orang dari penguasa modal, birokrat,
politisi, dan petinggi aparat keamanan. 

Kelihatannya
pengalaman buruk pengerukan sumberdaya Alam, minyak dan gas Acheh yang
diserahkan kepada Exxon Mobil akan terulangi dengan dukungan Qanun
Penanaman Modal ini. Eksploitasi sumberdaya alam oleh korporat-korporat
besar asing selain tidak dapat mengurangi kemiskinan masyarakat lokal
sekitaran, juga membuka peluang pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara 
untuk mengamankan proyek-proyek pemodal asing.   Karenanya ketiadaan
reaksi kritis masyarakat sipil Aceh terhadap Qanun Penanaman Modal,
sebagaimana ditujukan terhadap Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat
sangat mengundang pertanyaan. Sulit meyakini sikap kritis mereka
terhadap Qanun Jinayat dikonstruksi oleh kesadaran atas prinsip-prinsip
keadilan dan HAM, karena kedua prinsip ini pun terancam di Acheh
sebagai dampak buruk jangka panjang penerapan Qanun Penanaman Modal.
Qanun yang disahkan tanpa gema protes dari masyarakat sipil kita.  

Dalil? 
Hal
kedua yang menarik diperhatikan adalah argumentasi (dalil) yang
diajukan oleh beberapa kelompok masyarakat sipil pengkritik Qanun
Jinayat dan Qanun Acara Jinayat. Secara garis besar kritik dialamatkan
terhadap dua aspek, yaitu: 
(1) proses dan mekanisme pembuatan bermasalah, dan 
(2) isinya yang lemah.  

 Dalil-dalil
tersebut dikemukakan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil Aceh, di
antaranya Masyarakat Sipil Peduli Syariat, LBH, Jaringan Masyarakat
Sipil Aceh, dan Koalisi NGO HAM.  Beberapa dalil dikongsikan bersama
secara subtansi, dengan redaksi yang berbeda.   

Aspek proses dan mekanisme pembuatannya dianggap bermasalah, karena
(1) tidak melibatkan unsur-unsur masyarakat yang lebih lengkap dari kalangan 
ulama,   intelektual dari perguruan tinggi, penegak hukum, dan praktisi hukum, 
serta masyarakat sipil termasuk kelompok perempuan. 
(2) belum pernah dipublikasi dan disosialisasikan secara baik kepada 
masyarakat, 
(3) disahkan oleh DPRA demisioner, dan 
(4) pemberosan anggaran publik, dan 
(5)
kompetensi anggota DPRA dan eksekutif dalam merancang qanun yang
berkaitan langsung dengan  kehidupan keagamaan patut diragukan.   

Selebihnya kritik dialamatkan pada isinya yang 
(1) lebih menitik beratkan pada semangat menghukum secara kejam, dibandingkan  
dengan membangun aspek pendidikan dan keadilan, 
(2) tidak sesuai dengan nilai-nilai universal Islam dan HAM, 
(3) Tidak sesuai dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, 
(4) tidak relevan dengan kebutuhan dan living law rakyat Aceh, 
(5) bisa menciptakan konflik baru antar masyarakat, 
(6)
timbulnya multitafsir dan akan adanya ketidakpastian hukum serta risiko
kriminalisasi orang-orangtidak bersalah khususnya perempuan,   
(7)
belum memasukkan semua bentuk jarimah/kejahatan sebagai mana diatur
dalam pidana Islam seperti jarimah perampokan, pembunuhan selain tubuh
dan korupsi dalam pandangan pidana Islam, 
(8) hampir keseluruhan sama persis seperti KUHAP produk Belanda yang nyata 
produk pada saat penjajahan belanda, dan 
(9)
tidak mengikuti ketentuan pidana Islam bahwa Negara/pemerintah juga
dapat dipidana karena membiarkan satu orang atau lebih dari penduduknya
dalam keadaan buta huruf, yatim piatu tanpa tunjangan pendidikan dan masalah 
social lainnya.

 Terdapat 5 dalil pengkritik mekanisme pembuatan dan 9 dalil pengkritik isinya. 
Persoalannya
dalil-dalil ini semua tidak cukup penting dipertimbangkan jika
formalisasi syariat menjadi hukum positif di Aceh dapat disepakati oleh
masyakat sipilnya. Sama kurang pentingnya dalil pengkritik hukum rajam
pada saat yang sama setuju hukum syariat harus diberlakukan oleh
negara. Rajam memang bagian dari hukum syariat,  soal dilaksanakan atau
tidak, rajam selalu sah sebagai satu bentuk penghukuman terhadap pelaku
jenis jinayah tertentu. Sebagian negara bisa mengganti rajam menjadi
hukuman gantung, atau bentuk lain dari hukuman mati, tapi anda tidak
bisa menolaknya, apalagi menolaknya dengan perspektif lain (seperti
HAM) setelah menerima syariat sebagai hukum negara. Kecuali jika hendak
bersyariat dengan basa-basi. 

Penting
menyadari Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat ini hanya konsekuensi
dari masalah lain yang lebih mendasar, yaitu formalisasi hukum syariat
di Aceh yang menurut saya, bermodal nafsu besar tenaga kurang. Jika
belajar dari negara-negara lain yang menerapkan hukum syariat secara
lebih baik, maka setidaknya terdapat 3 prasyarat mendasar yang tidak
dipenuhi oleh Aceh, yang tidak memungkinkannya menerapkan hukum syariat
sebagai hukum negara, kecuali hanya bisa diterapkan sebagai agama
rakyat.   

Ketiganya
adalah dukungan konstitusi (UUD) bukan level UUPA No.11/2006, tata
negara yang memposisikan ulama sebagai lembaga tertinggi, dan kapasitas
pengetahuan para mujtahid yang kompeten menyimpulkan hukum-hukum
syara’. 

Ketiadaan
prasyarat ini di Aceh yang menyebabkan Aceh harus menunda formalisasi
hukum syariat menjadi hukum negara. Harusnya pengesahan Qanun Jinayat
dan Qanun Acara Jinayat ini dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat
sipil untuk kembali mengkonsolidasikan kekuatan menolak formalisasi
syariat Islam di Aceh. Nafsu bersyariat ala partai-partai politik Islam
hanya membawa mudharat lebih besar daripada berharap Islam memberikan
jawaban atas persoalan-persoalan utama yang dihadapi Aceh saat ini. 

http://achehkarbala.blogspot.com/ 







________________________________
From: HELB <hai_otodi...@yahoo.com>
To: ia...@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, September 23, 2009 5:11:15 AM
Subject: [IACSF] Politik syariat Islam di Aceh tak ubahnya fasisme kultural

  
Penetapan
Qanun Jinayat di Aceh telah menimbulkan pro dan kontra baik sebelum maupun
setelah disahkan oleh DPR Aceh periode 2004-2009. Substansi
Qanun tersebut menimbulkan tanda tanya besar, apakah model hukuman mati dengan
melempar batu dan cambuk sebanyak 100 kali dihadapan khalayak ramai
bertentangan dengan HAM dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya? Kalangan aktifis
HAM dan Perempuan menyatakan bahwa jenis hukuman rajam dan cambuk ini melanggar
HAM, seperti dikatakan oleh Ifdhal Kasim (ELSAM Jakarta); “Pemberlakuan hukum 
rajam, selain melanggar Konvensi International anti
Penyiksaan yang diratifikasi pada 1998 juga melanggar hukum positif yang berlaku
di Indonesia”.Kalau sudah begini, apakah politik syariat Islam di Aceh tak 
ubahnya sebuah
fasisme kultural?


PRO KONTRA QANUN JINAYAH di Web Aceh Institute
KONTRAVERSI HUKUM RAJAM |Oleh Chairul Fahmi, MA | Peneliti Hukum dan Alumni 
Studi Perbandingan Mazhab & Hukum
Fak.Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Wednesday, 23 September 2009
09:13 


 

   


      

Kirim email ke