Affan Ramli, menulis: Dari lima qanun yang disahkan oleh DPRA dua hari lalu, hanya Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat yang menyita perhatian melimpah dari masyarakat sipil, Aceh dan luar. Padahal DPRA pada waktu bersamaan juga mengesahkan Qanun Penanaman Modal, Qanun Wali Naggroe, dan Qanun Perlindungan Perempuan (Harian Aceh, 15/09).
Dari senarai kritikan terhadap kedua qanun tersorot, hukuman rajam pasal paling banyak digugat. Terkait realitas ini kita perlu memesan jawaban dari dua pertanyaan, pertama, mengapa masyarakat sipil Aceh tidak memberikan respon yang sama terhadap Qanun Penanaman Modal dan Qanun Wali Nanggroe, padahal keduanya tidak lebih baik dari Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat? Dan kedua, apakah dalil (argumentasi) yang digunakan dalam mengkritik Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat cukup mencerdaskan masyarakat luas? Adapun dalil-dalil yang mengemuka dapat ditemukan dengan mudah di pemberitaan media-media massa lokal. Kita patut heran saat menemukan masyarakat Aceh terkesan rela dengan Qanun Penanaman Modal dan Qanun Wali Nanggroe. Qanun Wali Nanggroe memang tidak akan merajam tubuh rakyat Aceh, tapi merajam sampai mati Wali Nanggroe sebagai lembaga politik yang paling menentukan bagi perkembangan sejarah Aceh sejak 1891. Mengutip Yusra Habib Abdul Gani, Qanun Wali Nanggroe yang melucuti otoritas sebenarnya dari institusi Wali Naggroe merupakan bentuk coup d'état (makar) terhadap sejarah Aceh. Qanun Penanaman Modal juga tidak mewajibkan cambuk atas fisik rakyat Aceh, tapi menempatkan Aceh—secara ekstrim—terbuka bagi kekuatan modal asing akan mempersulit pemerintah memproteksi industri-industri kecil dalam negeri. Qanun Penanaman Modal dibuat untuk mendukung upaya liberalisasi Aceh sebagai strategi pembangunan ekonomi. Padahal terbukti sistem ekonomi liberal gagal memberikan kesejahteraan kepada mayoritas rakyat. Pilihan ekonomi liberal ini membuat Aceh rentan terhadap ancaman dominasi kekuatan modal asing atas kedaulatan sumberdaya alam Acheh. Dengan Qanun Penanaman Modal itu, sumberdaya alam Acheh akan dieksploitasi untuk mensejahterakan segelintir orang dari penguasa modal, birokrat, politisi, dan petinggi aparat keamanan. Kelihatannya pengalaman buruk pengerukan sumberdaya Alam, minyak dan gas Acheh yang diserahkan kepada Exxon Mobil akan terulangi dengan dukungan Qanun Penanaman Modal ini. Eksploitasi sumberdaya alam oleh korporat-korporat besar asing selain tidak dapat mengurangi kemiskinan masyarakat lokal sekitaran, juga membuka peluang pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara untuk mengamankan proyek-proyek pemodal asing. Karenanya ketiadaan reaksi kritis masyarakat sipil Aceh terhadap Qanun Penanaman Modal, sebagaimana ditujukan terhadap Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat sangat mengundang pertanyaan. Sulit meyakini sikap kritis mereka terhadap Qanun Jinayat dikonstruksi oleh kesadaran atas prinsip-prinsip keadilan dan HAM, karena kedua prinsip ini pun terancam di Acheh sebagai dampak buruk jangka panjang penerapan Qanun Penanaman Modal. Qanun yang disahkan tanpa gema protes dari masyarakat sipil kita. Dalil? Hal kedua yang menarik diperhatikan adalah argumentasi (dalil) yang diajukan oleh beberapa kelompok masyarakat sipil pengkritik Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat. Secara garis besar kritik dialamatkan terhadap dua aspek, yaitu: (1) proses dan mekanisme pembuatan bermasalah, dan (2) isinya yang lemah. Dalil-dalil tersebut dikemukakan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil Aceh, di antaranya Masyarakat Sipil Peduli Syariat, LBH, Jaringan Masyarakat Sipil Aceh, dan Koalisi NGO HAM. Beberapa dalil dikongsikan bersama secara subtansi, dengan redaksi yang berbeda. Aspek proses dan mekanisme pembuatannya dianggap bermasalah, karena (1) tidak melibatkan unsur-unsur masyarakat yang lebih lengkap dari kalangan ulama, intelektual dari perguruan tinggi, penegak hukum, dan praktisi hukum, serta masyarakat sipil termasuk kelompok perempuan. (2) belum pernah dipublikasi dan disosialisasikan secara baik kepada masyarakat, (3) disahkan oleh DPRA demisioner, dan (4) pemberosan anggaran publik, dan (5) kompetensi anggota DPRA dan eksekutif dalam merancang qanun yang berkaitan langsung dengan kehidupan keagamaan patut diragukan. Selebihnya kritik dialamatkan pada isinya yang (1) lebih menitik beratkan pada semangat menghukum secara kejam, dibandingkan dengan membangun aspek pendidikan dan keadilan, (2) tidak sesuai dengan nilai-nilai universal Islam dan HAM, (3) Tidak sesuai dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, (4) tidak relevan dengan kebutuhan dan living law rakyat Aceh, (5) bisa menciptakan konflik baru antar masyarakat, (6) timbulnya multitafsir dan akan adanya ketidakpastian hukum serta risiko kriminalisasi orang-orangtidak bersalah khususnya perempuan, (7) belum memasukkan semua bentuk jarimah/kejahatan sebagai mana diatur dalam pidana Islam seperti jarimah perampokan, pembunuhan selain tubuh dan korupsi dalam pandangan pidana Islam, (8) hampir keseluruhan sama persis seperti KUHAP produk Belanda yang nyata produk pada saat penjajahan belanda, dan (9) tidak mengikuti ketentuan pidana Islam bahwa Negara/pemerintah juga dapat dipidana karena membiarkan satu orang atau lebih dari penduduknya dalam keadaan buta huruf, yatim piatu tanpa tunjangan pendidikan dan masalah social lainnya. Terdapat 5 dalil pengkritik mekanisme pembuatan dan 9 dalil pengkritik isinya. Persoalannya dalil-dalil ini semua tidak cukup penting dipertimbangkan jika formalisasi syariat menjadi hukum positif di Aceh dapat disepakati oleh masyakat sipilnya. Sama kurang pentingnya dalil pengkritik hukum rajam pada saat yang sama setuju hukum syariat harus diberlakukan oleh negara. Rajam memang bagian dari hukum syariat, soal dilaksanakan atau tidak, rajam selalu sah sebagai satu bentuk penghukuman terhadap pelaku jenis jinayah tertentu. Sebagian negara bisa mengganti rajam menjadi hukuman gantung, atau bentuk lain dari hukuman mati, tapi anda tidak bisa menolaknya, apalagi menolaknya dengan perspektif lain (seperti HAM) setelah menerima syariat sebagai hukum negara. Kecuali jika hendak bersyariat dengan basa-basi. Penting menyadari Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat ini hanya konsekuensi dari masalah lain yang lebih mendasar, yaitu formalisasi hukum syariat di Aceh yang menurut saya, bermodal nafsu besar tenaga kurang. Jika belajar dari negara-negara lain yang menerapkan hukum syariat secara lebih baik, maka setidaknya terdapat 3 prasyarat mendasar yang tidak dipenuhi oleh Aceh, yang tidak memungkinkannya menerapkan hukum syariat sebagai hukum negara, kecuali hanya bisa diterapkan sebagai agama rakyat. Ketiganya adalah dukungan konstitusi (UUD) bukan level UUPA No.11/2006, tata negara yang memposisikan ulama sebagai lembaga tertinggi, dan kapasitas pengetahuan para mujtahid yang kompeten menyimpulkan hukum-hukum syara’. Ketiadaan prasyarat ini di Aceh yang menyebabkan Aceh harus menunda formalisasi hukum syariat menjadi hukum negara. Harusnya pengesahan Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat ini dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat sipil untuk kembali mengkonsolidasikan kekuatan menolak formalisasi syariat Islam di Aceh. Nafsu bersyariat ala partai-partai politik Islam hanya membawa mudharat lebih besar daripada berharap Islam memberikan jawaban atas persoalan-persoalan utama yang dihadapi Aceh saat ini.