http://www.youtube.com/watch?v=8KnbK-ajC5A
Topik: Apa Njak Kondom dan Hikayat Pembelahan Acheh 18 Februari 2008 dari Acheh Watch Apa Njak Kondom dan Hikayat Pembelahan Acheh Oleh: Gam Bakông Aneuk Nanggroë Mendengar kabar rencana pembelahan Acheh oleh pusat kolonial atas desakan elit politik dalaman, benak saya langsung terkenang akan seorang lelaki tua yang pernah hidup sewaktu saya masih kecil. Apa Njak Kondom begitulah sapaan akrabnya, yang nama aslinya adalah Apa Njak Budiman. Ia termasuk “pemain” di tingkat sub-distrik (kecamatan), dan seorang pendukung penjajahan indonesia. Nama Apa Njak Kondom melekat sejurus ia menjadi tukang kempen sukarela untuk program Keluarga Berencana (KB), yang dari kerja tersebut ia mendapat penghormatan dari serdadu (polsek/koramil) dan perwakilan kolonial lainnya seperti camat. Sesekali ia dipinjamkan sepedamotor yang ber-plat hijau, kelabu atau merah, dan dengan bangga pula ia tancap gas keliling kampung. Biasanya ia juga menerima hadiah khas pada setiap hari raya, yaitu daging meugang, syrup cap Patông dan ribuan kondom. Komoditi yang terakhir itu adalah penting baginya, selain untuk kebutuhan pribadi--maklum ia termasuk seorang “dermawan”, yang punya tiga orang isteri dan beberapa simpanan—dia juga meniupnya menjadi balon untuk dibagikan kepada anak-anak saudara. Melihat gejala aneh Apa Njak Budiman itu, lalu orang kampung memberinya nama baru, jadilah ia Apa Njak Kondom. Apa Njak Kondom sebenarnya cukup pandai untuk dikatakan tidak intelek, sebab ia tahu bahwa kondom itu untuk keperluan khas, bukan untuk dijadikan pengganti balon, apalagi untuk diberikan kepada anak-anak. Tapi karena bermental bakhil, ia lebih rela menyalahi aturan, daripada harus membeli balon asli dari kedai yang mengharuskannya mengeluarkan beberapa ratus Rupee. Begitu pula dengan kerjanya yang mendukung program KB, ia sadar betapa projek BKKBN adalah satu paket dengan transmigrasi yang tak lain adalah program penjajahan terselubung di bumi Acheh dan daerah koloni lainnya. Akan tetapi, karena kegilaannya pada uang dan sanjungan dari pihak kolonial serta keinginannya untuk selalu menjadi orang terpandang, maka ia tega membodohi dirinya sendiri. Ia telah menciptakan berbagai alasan yang tak beralasan untuk suatu pembenaran atas tindakan pengkhianatan. Apa Njak Kondom telahpun mati sebelum diktator Soeharto jatuh. Penyebabnya adalah ketika sepedamotor ber-plat merah yang ia pinjamkan dari komisaris Golkar setempat, menghantam seekor babi hutan. Tidak seperti Soeharto yang mati tanpa pernah diadili, Apa Njak Kondom setidaknya telah menjalani hukuman rakyat. Ia pernah diikat selama dua hari di kuburan PKI yang sangat ia takuti, dan dilempar semut merah ke sekujur tubuhnya. Hukuman yang termasuk ringan, tetapi lebih baik daripada terlepas dari jerat hukum sama sekali. ### Namun keberadaan kaum cerdik-pandai bangsa Acheh yang rela menjadi kakitangan penjajah adalah cerita yang tiada akhir. Dari jaman pa’i berhidung mancung sampai ke jaman pa’i berhidung rata, para pengkhianat tetap ada. Demikian pula dengan orang-orang yang bertabiat seperti Apa Njak Kondom. Meskipun ia telah mati, namun arwahnya telah memasuki tubuh “pemain” di tingkat yang lebih tinggi. Roh Apa Njak Kondom telah merasuki tubuh Adnan Nyak Sarong. Tidak seperti Apa Njak Kondom yang kekuatannya hanya di tingkat sub-distrik, Adnan Nyak Sarong adalah kaki tangan penjajah di tingkat pusat kolonial, yang akibat ‘permainan’ kotornya bukan saja telah mencabik struktur sebuah kampung, tetapi dapat menghancurkan struktur dan harga diri nanggroe Acheh. Belum puas ia dengan keberhasilan mendirikan distrik Acheh Jaya yang dulunya bagian dari Acheh Barat, kini ia mulai memasuki barisan elit yang ingin berkuasa seumur hidup, untuk membentuk provinsi Acheh Barat Selatan (ABAS). Salah seorang di antara barisan elit itu adalah bekas serdadu kolonial Letnan Kolonel Tjut Agam dari Meulaboh, yang meskipun sudah tua bangka dan pernah menduduki berbagai posisi penting di daerahnya, mulai dari Komandan Kodim sampai ke ketua Golkar, namun tak pernah puas, sehingga masih bernafsu untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi agar akumulasi harta warisan dapat diwariskan hingga tujuh turunan. Kelompok orang seperti dia sadar bahwa dengan kemampuannya yang terbatas dan telah terbukti gagal dalam membawa amanah rakyat di masa lalu, mereka tak akan mampu bersaing untuk memperebutkan posisi penting di Banda Acheh. Di mana generasi baru yang lebih berpendidikan dan lebih memihak rakyat akan berkuasa di Acheh nanti. Sebagai jalan keluar yang pintas, maka lahirlah niat untuk membelah Acheh, agar mereka dapat menduduki singgasana raja-raja kecil. Kenapa Adnan Nyak Sarong mendapat sorotan khusus dalam tulisan ini, sedangkan di sana terdapat banyak aktor lain? Tjut Agam, Tagore, Syukur Kobat atau Armen Desky secara terang melakukan penentangan terhadap persatuan Acheh, sementara Adnan Nyak Sarong adalah pemain yang lihai dan selalu memakai sarung agar tangannya selalu bersih dari permainannya yang berdebu. Yaitu dengan mengaku sebagai pembela Acheh kepada kaum pejuang Acheh Merdeka, tapi menjadi perusak di sebaliknya. Oleh itu, dia perlu diberi perhatian khusus. Belum lama ini suatu pernyataan manipulativ ia keluarkan di Medan. Katanya pemekaran itu adalah perkara biasa, dan seharusnya berbagai pihak dapat menerima apabila mengerti makna pemekaran tersebut. "Pemekaran itu sudah sesuai dengan produk UU No.22/1999 dan PP No.109/2000 soal pemekaran kabupaten/kota dan provinsi. Tujuan yang ingin dicapai dengan pemekaran tersebut adalah pencapaian kemakmuran bagi rakyat Aceh, baik itu yang berada di provinsi induk (NAD), ALA dan ABAS," katanya, seperti dikutip salah satu media. Pernyataan Adnan itu adalah tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sosial dan ekonomi, dan bertentangan dengan nasionalism Acheh. Ide pembelahan Acheh ini memang menarik bagi pihak yang hanya berpikir tentang jabatan, keuntungan pribadi dan kelompok, tapi jika ia berpikir tentang masa depan Acheh, ia telah membuka kesempatan ke arah suatu penjajahan yang lebih parah. Di mana ia dan kelompok tersebut telah bersetubuh dengan kolonial untuk menjadi alat pemecah belah Aceh. ### Para elit lokal yang berusaha keras untuk membelah Acheh beralasan bahwa pendirian distrik (kabupaten) atau provinsi baru di antaranya dapat memacu pertumbuhan, menghilangkan diskriminasi dari Acheh lain, memudahkan pengurusan administrasi atau memperpendek rentang kekuasaan dan lain sebagainya. Sementara kenyataan tentang keberhasilan yang mereka bayangkan adalah tak pernah terbukti. Seperti contoh yang dialami Aceh Jaya, meskipun kekuasan saat ini berada di Calang, akan tetapi daerah ini tetap tertinggal, karena distrik baru ini juga menjalankan sistem yang sama, sistem yang mengajari pekerja publik untuk bermental elit dan sistem yang tidak mendukung untuk suatu tata kerja yang efektif dan efisien. Sedangkan keuntungan yang di dapat oleh sebagian penduduk di wilayah tersebut hanya sebatas menjadi pegawai kolonial, kontraktor dan anggota DPRD II, yang pada dasarnya adalah membebani keuangan daerah dan memperluas atau memperbanyak lingkaran korupsi. Pada hakikatnya, pihak kolonial jua yang menuai untung, antara lain dengan penempatan penduduk non-Acheh pada posisi penting, biasanya pada posisi jaksa, hakim dan kepala serdadu. Menambah jumlah serdadu organik dan polisi, membangun Korem, Kodim, Batallion, Kompi, Koramil, Polres dan Polsek yang kerja institusi tersebut bukan untuk menjaga keamanan, tetapi untuk membunuh dan menindas rakyat. Di samping bertindak sebagai pelindung kejahatan seperti penebangan hutan dan perusakan ekosistem lainnya. Juga melakukan apa yang disebut dengan pengutipan liar (extortion), yang pada akhirnya menjadikan Acheh sebagai daerah dengan ekonomi biaya tinggi. Sementara kehidupan rakyat bawah tetap merana. Yang sangat aneh, meskipun jumlah pegawai publik lebih banyak dari rakyat, namun pelayanan yang maksimal tetap jauh dari harapan. Karena sistem kolonial telah menjadikan sebagian besar para pegawai negeri sebagai kaum pemalas yang menghabiskan waktu kerja dengan bualan dan hanya memberi pelayanan yang maksimal kepada rakyat yang mau memberi ‘buahtangan’ untuk mereka. Demikian pula dengan praktek diskriminasi, yang tidak akan terhapus walaupun sejuta distrik dan provinsi lahir di Acheh. Diskriminasi tidak bersumber dari adat-istiadat dan budaya Acheh yang rela berperang untuk membela saudaranya yang tertindas. Melainkan suatu sistem yang diamal dan diajarkan oleh kolonial Indonesia kepada anak jajahan. Jika di tingkat pusat kolonial diskriminasi dipraktekkan oleh bangsa Jawa terhadap bangsa lainnya, maka di tingkat Acheh diskriminasi dijalankan oleh suatu kelompok dominan ke atas kelompok lain yang lebih lemah. Bukan hanya oleh penduduk pesisir Timur terhadap pesisir Barat, atau Barat pesisir dengan pegunungan, atau Acheh Daratan dengan Kepulauan, tetapi ianya meruncit sampai ke tingkat lingkungan kerja dan malah di tingkat keluarga. Diskriminasi juga dilakukan oleh kaum intelektual terhadap mereka yang mempunyai pendidikan rendah. Mereka sering dikebiri baik itu di lingkungan kerja, organisasi kemasyarakatan dan di dalam pergaulan. Rasa saling menghormati antar sesama manusia, karena setiap makhluk Tuhan memiliki kelebihan tersendiri, kini telah lenyap akibat ideologi politik ‘fraksi’ atau pecahan (fraction) yang disebarkan oleh penjajah. Maka politik kelompok, daerah dan keturunan menjadi sangat dominan di Acheh. Ambil contoh di Acheh Selatan dulu, ketika yang bergelar Sayed menjabat bupati, maka beratus para Sayed menduduki posisi penting di daerah itu. Di Acheh Barat ketika bupati paling korup se-Acheh, Teuku Rosman, menjadi kepala daerah, maka beratus para Teuku berkuasa di sana. Bahkan ada yang pangkatnya dikarbit agar dapat menduduki posisi penting. Demikian juga di Acheh Tenggara dengan dominasi kelompok Desky. Begitu pula ketika Gubernur itu dari daerah Pidie, maka beribu pidie lain mempunyai akses khusus dan menghuni apa yang disebut dengan jabatan ‘basah’. Persoalan nepotism seperti itu agaknya sedikit susah terjadi untuk saat ini karena masyarakat sudah lebih kritis dalam mencermati pembagian kekuasaan berdasarkan pertalian darah atau kedaerahan, tapi bukan berarti persoalan nepotism itu sudah musnah. Kini menjelma dengan wajah baru, yaitu koalisi antar kelompok elit untuk mempertahankan kekuasaannya agar tak jatuh ke tangan rakyat banyak. Sekali lagi, kita perlu menyadari bahwa itu adalah buah dari kebijakan pihak kolonial yang menjalankan dua sistem berbeda; politik fraksi mereka terapkan di wilayah pendudukan, dan memaksa politik kesatuan di tingkat pusat. Politik fraksi ini berfungsi untuk melemahkan dan membungkam setiap kehendak rakyat terhadap kekuasaan kolonial. Jika dilihat sepintas, strategi ini sangat tepat untuk menopang keutuhan kolonial indonesia. Namun efek negativ dari kebijakan ini adalah terjadinya pembenaran terhadap diskriminasi, pembentukan tirani majoriti, dan membuka peluang bagi rekayasa opini publik yang seperti di jalankan kelompok ALA/ABAS, yang kesemuanya memberi konstribusi bagi terciptanya ketidakadilan yang akan membawa kehancuran bagi kolonial itu sendiri. Dan keadaan ini semakin membuka mata kita bahwa indonesia, dengan sistem sentralistik dan politik fraksi adalah perwujudan dari sebuah misi kolonial kaum priayi Jawa yang berselubung di balik kata “nasionalism” dan “konstitusi”. Bagaimana ini bisa berlaku? Karena sewaktu konstitusi negara kolonial itu dibuat, di sana tidak ada pemikir yang memiliki visi yang jernih, jujur dan bermoral kerakyatan (altruism). Yang mampu memberi idea untuk sebuah antisipasi bagi penyalahgunaan kekuasaan dan menghindari kemungkinan terjadinya tirani majoriti. Di sana tidak ada para pemikir seperti Thomas Jefferson, Alexander Hamilton atau James Madison yang bukan hanya terkenal sebagai pendiri dan bekas presiden Amerika Syarikat, tetapi dihargai berkat buah pikiran yang mereka tuangkan dalam catatan the federalist, suatu theori yang mereka lahirkan agar negaranya terhindar dari bahaya akan politik fraksi. Sebaliknya penyusun konstitusi kolonial indonesia adalah sekelompok orang tamak seperti Sukarno yang tanpa malu mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup. Jalan Keluar Setelah mempelajari persoalan di atas, saya ingin memberikan solusi untuk menghindari perpecahan antar sesama bangsa Acheh dan memberi kekuatan untuk menolak koalisi elit yang mengatasnamakan rakyat dalam agenda ALA/ABAS. Di sisi lain, kita perlu menggunakan strategi ini untuk menolak siasat licik Jakarta. Solusi ini terbagi dua, yaitu yang bersifat sementara (sebelum Acheh bebas dari pendudukan indonesia), dan untuk masa depan (ketika Acheh menjadi sebuah negara merdeka). Pemindahan ibukota Acheh ke Takengon adalah suatu opsi yang bermanfaat untuk sementara waktu. Ide ini telah diutarakan oleh beberapa pihak sebelumnya, yang bukan hanya menguntungkan karena posisi Takengon terletak di nanggroe Antara, tetapi kesempatan ini dapat dijadikan sarana untuk mengembangkan potensi kota tersebut yang mempunyai keunikan dan keindahan tersendiri. Kelebihan lain adalah memotong jarak tempuh ke pusat administrasi provinsi oleh penduduk dari kawasan Acheh Tenggara, pantai Barat, Selatan, Timur dan Utara. Pendirian pusat administrasi di tempat yang lebih strategik adalah pendapat yang lebih masuk akal daripada memperbanyak pembentukan administrasi, padahal administrasi baru yang hendak dibentuk itu tidak memberi hak pemerintahan yang maksimal dan luas, selain dari propaganda indonesia saja. Di Amerika Syarikat misalnya, anda akan terkejut ketika mengetahui bahwa ibukota negara bagian New York bukan bertempat di New York City, tapi di Albany, kota yang mungkin tidak begitu dikenal. Demikian juga dengan negara bagian California yang berpusat di kota Sacramento, bukan di kota yang lebih megah seperti Los Angeles atau San Francisco. Keadaan serupa berlaku di seluruh Amerika Syarikat. Asumsinya adalah di samping letaknya yang mudah dijangkau oleh semua daerah di negara bagian tersebut, juga untuk mengembangkan potensi kota yang belum berkembang. New York City sudah pun terkenal meskipun tidak dijadikan sebagai pusat administrasi negara bagian New York, begitu pula dengan LA atau San Francisco. Jadi apa keuntungan mempertahankan Banda Acheh sebagai ibukota selain hanya karena nilai sejarah? Dengan infrastruktur yang ada, Banda Acheh akan tetap berkembang dan tetap menjadi kota terbesar di Acheh. Ada juga yang berpendapat bahwa dengan perkembangan tekhnologi media digital seperti internet yang sekaligus menurunkan biaya komunikasi, sebenarnya tidak menjadi masalah meskipun letak ibukota provinsi berjauhan. Namun permasalahan sekarang adalah masih sangat sedikit sumberdaya manusia di Pemerintah Daerah yang dapat memaksimalkan penggunaan tekhnologi tersebut. Sehingga dalam waktu dekat tidak dapat menjadi solusi yang cukup efektiv. Bersamaan dengan itu, pembentukan Majelis Perwakilan Daerah (MPD) di pusat provinsi adalah salah satu solusi sementara yang dapat menjamin pemerataan dan kebersamaan di seluruh Acheh. Lembaga ini dapat menjadi pengontrol guna mencegah terjadinya proses diskriminasi, pelaksanaan politik golongan dan sekaligus menjadi lambang persatuan dan kepemimpinan kolektiv Acheh Raya. MPD dapat menarik sedikitnya dua orang anggota setiap distrik pada setiap Pemilihan Daerah dan melakukan rotasi kepemimpinan paling tidak setiap enam bulan, sehingga para wakil dari setiap distrik atau kota mendapat giliran untuk memimpin lembaga tersebut. Apakah DPRD tidak dapat berfungsi seperti MPD? Sudah tentu tidak. Karena anggota MPD dicalonkan melalui jalur independen dan tidak diperkenankan melalui partai sama sekali. Sebab dengan tingkat moral politik di Acheh, jika seseorang dicalonkan melalui partai, maka yang ia perjuangkan bukan kesejahteraan rakyat, tapi kepentingan partainya lebih diutamakan. Jadi kenyataan itu dapat menghalangi tujuan MPD untuk memberi pemerataan kepada seluruh bangsa Acheh. Sedangkan untuk solusi jangka panjang adalah pembentukan Negara Acheh dengan sistem federal jika kelak kita mencapai kemerdekaan. Karena federasi adalah bukan perkara baru di Acheh, di mana kerajaan Acheh Darussalam adalah kumpulan dari sejumlah kerajaan kecil, mulai dari kerajaan Teumieng sampai ke Linge. Dan telah terbukti bahwa endatu kita mampu hidup dengan makmur, damai dan maju di bawah sistem federasi. Sistem federasi dengan konsep demokrasi yang menjamin terlaksananya keadilan adalah strategi untuk menghindari tumbuhnya politik fraksi dan tirani majoriti. Jadi bagi para pendukung ALA/ABAS lebih baik membantu perjuangan kemerdekaan Acheh daripada menghabiskan anggaran dan memprovokasi rakyat untuk tujuan yang tidak bermanfaat dan hanya menguntungkan kaum penjajah. Nantinya kita dapat berkoalisi untuk memperjuangkan bentuk federasi di dalam konstitusi Negara Acheh. Karena dengan federasi-lah keunikan setiap daerah dengan budaya, bahasa dan ethnik tertentu akan terjaga dan tidak merasa terdominasi oleh kelompok lain yang lebih dominan. Akan tetapi yang terpenting di antara semua perkara yang terbahas di atas, adalah keperluan untuk kita cermati bersama apakah Jakarta masih memegang janji untuk mempertahankan batas Acheh yang diakui sejak 1 July 1956 yang telah diakui kembali dalam MoU Helsinki, ataukah mereka ingin memperpanjang daftar kemunafikannya terhadap Acheh? http://www.youtube.com/watch?v=8KnbK-ajC5A --------------------------------- Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.