Oleh Zulfan Kamal (Swaramuslim)
Dibulan Ramadhan yang penuh Berkah dan Ampunan ini, marilah kita 
panjatkan Syukur kepada Allah SWT dan Sholawat pada Nabi Junjungan 
kita Sayidina Muhammad SAW beserta seluruh keluarga beliau. Semoga 
Insya Allah kita semua selalu mendapat barokah hidayah dan petunjuk 
Allah SWT serta Syafaat yang dijanjikan. Amiin!!

Saudara saudaraku se iman dalam Islam, bilamana kita mengupas tokoh 
yang bernama Imam Ali r.a, maka kebanyakan kita akan selalu 
terperangkap kedalam dikotomi Sunni - Syiah, yang seakan akan Imam 
Ali r.a adalah tokoh milik muslim syiah yang dinyatakan oleh 
sebagian umat Islam diseluruh dunia sebagai Islam sempalan. Padahal 
anggapan itu salah besar karena keutamaan kedudukan beliau bukan 
saja sebagai sahabat akan tetapi lebih dari itu beliau adalah : 

Pertama, tokoh yang pertama bersama sama Sayyidah Siti Khadidjah 
memeluk Islam, kedua, sebagai pengikut/syiah setia Nabi Muhammad 
SAWW, ketiga, sebagai sepupu Nabi Muhammad SAWW, keempat, sebagai 
mantu Nabi Muhammad SAWW, kelima, sebagai murid, keenam, sebagai 
pintunya ilmu sebagaimana yang dimaksud sebuah sebuah hadis, 
Rasulullah bersabda, "Ana madinatul ilmi wa Aliyyun babuha" (Aku 
adalah kota ilmu, sedang Ali as. adalah gerbangnya) dan ketujuh, 
beliau termasuk salah satu Ahlul Bayt sebagaimana dimaksud dalam Al-
Qur'anul Karim.

Tulisan ini tidak akan menyorot soal dikotomi Sunni - Syiah, karena 
sumber sumber sejarah Islam sudah banyak yang diselewengkan dan 
ditutup tutupi sesuai kehendak politik penguasa saat itu, dan sudah 
bukan rahasia umum selama berabad abad pasca wafatnya beliau 1.388 
tahun lalu, Muawiyah laknatullah telah melakukan kedzoliman yang 
dahsyat dengan melaknat dan mengkafirkan Imam Ali r.a dan beserta 
seluruh keluarga Ahlul Bayt Nabi Muhammad SAWW.

Menurut bahasa, kata Syiah berarti pendukung. Seperti Syiah Ali 
berarti pendukung Ali, Syiah Muawiyah berarti pendukung Muawiyah.

Fakta yang dapat kita lihat sekarang ini memang tidak bisa 
disangkal, kelompok Sunni memang ada dan kelompok Syiah juga ada 
termasuk berbagai kontroversial yang terus terjadi selama ini 
sehingga membuat kita lupa diri dan terperangkap dalam kegelapan 
yang panjang.

Sebagaimana yang diungkap oleh Imam Ali bin Abi Thalib r.a , tulisan 
ini tidak bermaksud untuk berlebih lebihan dalam menilai beliau dan 
apalagi sikap kebencian terhadap beliau.. naudzubillahi min dzalik, 
tulisan selanjutnya akan mengupas Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi 
Thalib r.a sebagaimana dapat dilihat pada halaman ebook online di 
http://mcb.swaramuslim.com/index.php?section=3&page=-1

Bahwa sayyidina Ali bin Abi Tholib bukanlah milik satu golongan 
saja, akan tetapi beliau adalah milik seluruh umat Islam sedunia 
dalam satu wadah Ahlul Sunnah wal Jama'ah baik pada masa lampau - 
sekarang maupun masa masa yad.

Mudah mudahan dengan membaca sejarah Imam Ali r.a, kita semua akan 
mendapat pencerahan. Amin ya Robbal alamiin.

Wassalam
----------

M U Q A D D I M A H 
Usaha menyingkat sejarah kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. 
dalam lembaran-lembaran buku, bukanlah pekerjaan yang mudah. Sejak 
semula telah terbayang kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi. 
Betapa tidak!

Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a., terutama pada tahap-tahap 
terakhir, sejak terbai'atnya sebagai Khalifah sampai wafatnya 
sebagai pahlawan syahid, bukankah satu kehidupan biasa. Ia merupakan 
satu proses kehidupan yang lain daripada yang lain. Ia menuntut 
penalaran luar biasa, menuntut kekuatan syaraf istimewa pula.

Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. penuh dengan ledakan-ledakan 
luar biasa, keagungan dan hal-hal mempesonakan. Tetapi bersamaan 
dengan itu juga penuh dengan gelombang kekecewaan dan kengerian.

Oleh karena itu penulisan tentang semua segi kehidupannya menjadi 
benar-benar tidak mudah. Ditambah pula dengan adanya pihak-pihak 
yang menilai beliau secara berlebih-lebihan. Baik dalam memujinya 
maupun dalam mencacinya.

Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sendiri tidak senang pada orang-orang 
yang menilai diri beliau secara berlebih-lebihan. Hal itu tercermin 
dengan jelas dari kata-kata beliau: "Ada dua fihak yang celaka 
karena berlebih-lebihan menilai sesuatu yang sebenarnya tidak 
kumiliki. Sedangkan pihak yang lain ialah yang demikian bencinya 
kepadaku sehingga mereka melontarkan segala kebohongan tentang 
diriku."

Dari sini pulalah maka Imam Ali r.a. mengatakan: "Ada segolongan 
orang yang demi cintanya kepadaku mereka bersedia masuk neraka. 
Tetapi ada segolongan lain yang demi kebenciannya kepadaku sampai-
sampai mereka itu bersedia masuk neraka."

Ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya pertentangan penilaian 
mengenai menantu dan sekaligus saudara misan Rasul Allah s.a.w. itu. 
Dua faktor itu ialah sifat atau watak pribadi Imam Ali r.a. sendiri 
dan situasi serta kondisi kehidupan Islam pada zaman hidupnya tokoh 
penting Islam itu.

Faktor mana yang lebih dominan, sehigga pribadi Imam Ali r.a. 
mempunyai kedudukan yang unik dalam sejarah Islam sulit dikatakan. 
Yang jelas kedua faktor itu memegang peran penting dan memberi arti 
khusus yang pengaruhnya hingga kini masih terasa. Bahkan sejak 
meninggalnya pada tahun 40 Hijriyah pendapat yang kontroversial 
mengenai dirinya itu tidak mereda, malahan makin berkembang sehingga 
sangat mewarnai sejarah Islam sampai abad ke-15 Hijriyah sekarang 
ini.

Periode kehidupan Imam Ali r.a. ditandai dengan tantangan-tantangan 
yang dihadapi oleh ummat Islam, terutama setelah wafatnya Rasul 
Allah s.a.w. Belum lagi jenazah Rasul Allah s.a.w. dimakamkan telah 
muncul krisis. Dan krisis itu disusul pula oleh krisis-krisis lain. 
Ancaman dari dalam dan dari luar sangat membahayakan kedudukan Islam 
yang masih muda itu.

Pertentangan pribadi, qabilah, suku, golongan, bangsa dan antar-
negara bermunculan hampir secara simultan. Keseimbangan kehidupan 
rohani dan jasmani, masalah keagamaan dan kenegaraan yang serasi dan 
seimbang di bawah satu pimpinan, yaitu di tangan Rasul Allah s.a.w. 
semasa hidupnya, tiba-tiba saja mengalami kegoncangan, ketidak-
seimbangan dan ketidak-serasian.

Proses kristalisasi dan disintegrasi yang menyusul wafatnya Rasul 
Allah s.a.w. dihadapkan pada tokoh-tokoh terkemuka ummat Islam, yang 
selama itu merupakan pembantu-pembantu terdekat Rasul Allah s.a.w. 
Diantaranya Imam Ali r.a. sebagai salah satu tokoh yang menonjol dan 
dekat sekali dengan Rasul Allah s.a.w. Dan dialah salah seorang yang 
paling merasa berkepentingan terhadap kemaslahatan Islam dan 
ummatnya. Sebab dialah yang paling dini melibatkan diri sebagai 
pengikut setia Nabi Muhammad s.a.w.

Awal tahun Hijriyah ditandai oleh peranan Imam Ali r.a. Malam 
sebelum Rasul Allah s.a.w. melakukan hijrah ke Madinah, yang sangat 
bersejarah itu, rumah kediaman beliau dikepung rapat oleh para 
pemuda Qureiys: Mereka bertekad hendak membunuh nabi Muhammad s.a.w. 
Pada saat itulah Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. 
supaya mengenakan mantel hijau buatan Hadramaut dan agar saudara 
misannya itu berbaring di tempat tidur beliau. Imam Ali r.a. dengan 
kebanggaan dan keberaniannya melaksanakan tugas tersebut.

Ketika para pemuda Qureisy yang berniat jahat itu mengintip, mereka 
mengira Rasul Allah s.a.w. berada di dalam. Padahal sebenarnya saat 
itu Rasul Allah s.a.w. telah berhasil menyelinap keluar menuju ke 
rumah Abu Bakar r.a.

Ketaatannya kepada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya pada malam 
hijrah itu bukan merupakan kasus tersendiri. Pada masa-masa hidupnya 
lebih lanjut, faktor keberanian ini sangat mewarnai kehidupan Imam 
Ali r.a. Dasar-dasar keberanian ini tambah diperkuat oleh 
keyakinannya yang makin teguh pada kebenaran ajaran Rasul Allah 
s.a.w. dan ketaqwaannya pada Allah s.w.t.

Ketaatannya pada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya dalam membela 
serta menegakkan kebenaran-kebenaran agama Allah merupakan pendorong 
utama, sehingga kemudian ia diagungkan oleh pengikut-pengikutnya 
sebagai pahlawan besar ummat Islam.

Hal itulah yang antara lain telah menimbulkan perbedaan penilaian 
yang hasilnya melahirkan perselisihan pendapat. Yang menilai positif 
melambangkan Imam Ali r.a. sebagai contoh tokoh yang paling ideal, 
pelanjut cita-cita dan perjuangan Rasul Allah. Kemudian eksesnya 
menjadi berlebih-lebihan, sehingga sama sekali tidak disukai oleh 
yang bersangkutan sendiri.

Sebaliknya mereka yang menilai negatif, Imam Ali r.a. mereka anggap 
sebagai tokoh yang amat berambisi untuk mendapat kedudukan memimpin 
ummat Islam. Penilaian terakhir ini mengundang sifat-sifat kebencian 
dan menjurus ke permusuhan, dan akhirnya memuncak dalam bentuk 
peperangan melawan Imam Ali r.a.

Kepribadian dan watak Imam Ali r.a. yang unik itulah yang 
mengembangkan pendapat ekstrim tentang dirinya. Yang mengaguminya, 
kemudian memitoskan dan mendewakannya. Tidak jarang, karena ekses 
penyanjungan kepada Imam Ali r.a. akhirnya secara sadar atau tidak 
sadar golongan ini mengaburkan peran agung Rasul Allah s.a.w. 
Sebaliknya yang membenci Imam Ali r.a. melahirkan ekses 
mengkafirkannya.

Dua fihak yang sangat bertentangan penilaian terhadap Imam Ali r.a. 
tercermin pada dua kelompok yang terkenal dalam sejarah Islam.

Kaum Rawafidh bukan saja pengagum Imam Ali r.a., malahan boleh 
dibilang sebagai "kaum penyembah Imam Ali r.a." Semasa hidupnya, 
Imam Ali r.a. sendiri sudah berulang kali melarang tindak dan sikap 
mereka yang sangat keliru itu, tetapi sikap Imam Ali r.a. yang tidak 
mau disanjung dan disembah itu bahkan mereka nilai sebagai sikap 
yang agung. Imam Ali r.a. sampai-sampai mengingatkan mereka bahwa 
apa yang mereka lakukan itu syirik. Peringatan itu sama sekali tidak 
menyurutkan pendirian mereka.

Begitu fanatiknya mereka kepada Imam Ali r.a. sehingga mereka 
bersedia mengorbankan segala-galanya demi tegaknya pendirian itu. 
Bahkan ketika mereka dijatuhi hukuman dengan dibakar hidup-hidup, 
hukuman itu mereka terima dengan penuh ketaatan. Di tengah kobaran 
api unggun yang membakar diri mereka di depan umum, dengan penuh 
gairah mereka berseru: "Dia (Imam Ali) adalah tuhan. (Sebab) dialah 
yang menetapkan adzab neraka ini". Mereka rela mati dibakar dengan 
penuh keikhlasan. Mereka memandang layak hukuman demikian dijatuhkan 
oleh "tuhan" mereka sendiri. 

Sangat berlawanan dengan kaum Rawafidh ini, adalah pendirian 
golongan Nawasib dan Khawarij yang sangat benci kepada Imam Ali r.a. 
Ironisnya, kaum Khawarij ini sebelumnya justru merupakan pengikut 
Imam Ali r.a. yang paling setia dan taat. Mulamula mereka sangat 
cinta, kagum, taat dan setia. Lalu berbalik 180 derajat menjadi 
muak, benci, mengutuk, bahkan mengkafirkan Imam Ali r.a. Itu terjadi 
ketika tokoh yang mereka kagumi itu bersedia menerima "perdamaian" 
dengan Muawiyah. Peristiwa yang dalam sejarah terkenal 
sebagai "Tahkim bi Kitabillah".

Kaum Khawarij itu menuntut kepada Imam Ali r.a. agar ia bertaubat 
kepada Allah atas perbuatan salah yang dilakukannya (mengadakan 
perdamaian dengan Muawiyah). Begitu mendalamnya kebencian mereka 
sehingga pada kesempatan apa, kapan dan di mana saja mereka 
melancarkan kecaman pedas dan memaki habis. Bahkan sejarah mencatat, 
Imam Ali r.a. wafat akibat pembunuhan yang dilakukan golongan 
Khawarij.

Sulit untuk dicari bahan bandingan bagi seorang tokoh yang begitu 
hebat menimbulkan pertentangan pendapat seperti yang ada pada diri 
Imam Ali r.a. Lebih sulit lagi untuk menarik kesimpulan dari 
kenyataan ini. Apakah karena ia orang besar, maka timbul 
pertentangan pendapat yang begitu hebat? Ataukah karena adanya 
pertentangan pendapat itu hingga ia menjadi mitos. Kenyataan adanya 
pertentangan pendapat itu sendiri sudah mengungkapkan, bahwa Imam 
Ali r.a. adalah tokoh potensial sekali, khususnya bagi ummat Islam.

Juga merupakan ironi sejarah, salah seorang yang pertama-tama 
berperan vital dalam membela Islam, akhirnya dijatuhkan oleh seorang 
yang ayahnya justru paling memusuhi Islam ketika Rasul Allah s.a.w. 
mulai dengan da'wahnya. Orang yang sejak masa anak-anak sudah 
mempertaruhkan segala-galanya demi tegak dan berkembangnya Islam, 
kepemimpinannya direbut oleh orang-orang yang pada awal Islam paling 
gigih menentang.

Lebih menyedihkan lagi karena orang yang melawan Imam Ali r.a. 
menempuh segala usaha dan tipu-daya "dengan mengatas-namakan Islam". 
Lebih parah lagi karena dengan "mengatas-namakan Islam" selama 136 
tahun, kekuasaan Bani Umayyah, nama Imam Ali ditabukan, direndahkan 
dan dihina. Pada setiap khutbah, pada setiap doa sehabis shalat 
tidak pernah ditinggalkan cacian dan kutukan terhadap Imam Ali agar 
ia disiksa Allah.

Bahkan nama Imam Ali digunakan oleh dinasti Bani Umayyah untuk 
menegakkan kekuasaan otoriter. Tiap orang atau kelompok yang berani 
menentang, atau tidak sependapat dengan kebijaksanaan penguasa Bani 
Umayyah dapat ditindak dengan menggunakan dalih "pengikut Imam Ali" 
(Pecinta Ahlulbait).

Siapa yang mempelajari sejarah Imam Ali r.a. dengan jujur, pasti 
akan menemukan pada dirinya salah satu segi yang khas ada pada 
kehidupan tokoh legendaris itu. Nama Imam Ali r.a. identik dengan 
sifat-sifat manusiawi yang mendalam. Baik sejarah sendiri, maupun 
sejarawan tidak cukup mampu mengungkapkannya. Kaitan yang seperti 
itu biasanya oleh seorang penulis terpaksa dikesampingkan saja 
dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan.

Makin berkurangnya faktor-faktor kejiwaan yang menyulitkan 
pembahasan dan makin dibatasinya segi-segi sejarah yang hendak 
ditulis, bisa jadi lebih mendekati objektivitas. Tetapi apakah 
begitu jadinya?

Para sejarawan mengungkapkan bahwa pada ghalibnya makin lama seorang 
telah meninggal akan lebih mudah ditemukan objektivitas untuk 
pengungkapan riwayat orang yang bersangkutan. Akan tetapi kalau 
menyangkut Imam Ali r.a. hal itu masih dipertanyakan.

Dalam batas-batas pengungkapan yang demikianlah, buku "Imam Ali bin 
Abi Thalib r.a." ini mengetengahkan riwayat kehidupan Imam Ali pada 
masa asuhan, keluarganya, rumah-tangganya, peranan kepahlawanannya 
semasa Rasul Allah masih hidup, wafatnya Rasul Allah s.a.w., masa-
masa kekhalifahan Abu Bakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., delapan 
hari tanpa khalifah, Perang Unta, Perang Shiffin, Gerakan Khawarij, 
keutamaan, pintu ilmu dan sebuah kenangan. 

Kirim email ke