http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=308359&kat_id=16

Rabu, 26 September 2007


CIA dan Gerakan Separatis 
Oleh : Zaenal Ma'arif
Mantan Wakil Ketua DPR


Sebagai satu-satunya negara super power setelah runtuhnya Uni Soviet, Amerika 
Serikat (AS) merasa menjadi polisi dunia dan bisa berlaku sewenang-wenang 
terhadap negara lain yang dipandang menjadi musuh potensialnya. Maka pemerintah 
AS menilai negara lain yang tidak sejalan dengan policy-nya untuk menguasai 
dunia dianggap sebagai 'poros kejahatan'. Maka Irak menjadi korban kedua 
setelah Afghanistan. Rakyat Irak dan Afghanistan sampai sekarang sangat 
menderita akibat keangkaramurkaan rezim Presiden George W Bush yang dikenal 
berideologi evangelish fanatik.

Namun rakyat Irak dan Afghanistan ternyata tidak mudah untuk ditaklukkan AS, 
berbeda dengan rakyat Panama dan Grenada yang mudah menyerah setelah AS 
melakukan invasi militer ke negara di Amerika Tengah itu (1983). Terbukti 
mereka tidak berani melakukan perlawanan total dan menyerah kepada AS menyusul 
kejatuhan pemerintahannya. Barangkali para pembuat policy strategis di 
Washington berpikir AS akan dengan mudah menaklukkan kedua negara Muslim 
tersebut sebagaimana Panama dan Grenada. Namun ternyata perhitungan tersebut 
meleset dan sampai sekarang lebih dari 4.000 tentara AS mati sia-sia di Irak 
dan Afghanistan serta jumlahnya setiap hari terus bertambah. Bahkan Presiden 
Bush terus berusaha agar tidak kehilangan muka untuk keluar dari kedua negara 
tersebut sebagaimana di Vietnam dulu.

Pemerintah AS tidak hanya berusaha melakukan intervensi di negara yang dianggap 
musuhnya, bahkan negara yang dinilai sebagai sahabatnya juga akan dilemahkan 
dan dipecah-belah. Indonesia salah satu korbannya. Meski pemerintah Indonesia 
berusaha menjalin hubungan sebaik mungkin dengan AS sejak zaman orde lama, orde 
barum hingga reformasi sekarang, kenyataannya AS belum puas selama Indonesia 
masih menjadi negara kesatuan. NKRI berusaha akan dihancurkan secara diam-diam 
melalui silent operation dengan membantu gerakan separatis seperti Aceh, Papua, 
dan Maluku. Bahkan di awal reformasi ada juga wacana untuk mendirikan negara 
Riau merdeka. Tampaknya AS belum puas meski sukses menekan pemerintahan 
Presiden BJ Habibie untuk mengadakan referendum di Timor Timur dan berakhir 
dengan berdirinya negara Timor Leste.

Setelah berhasil menguasai pemerintahan Aceh dengan seorang gubernur dan 
delapan bupati/wali kota, kaum separatis telah membentuk Partai GAM yang 
bertujuan mengadakan referendum bagi kemerdekaan Aceh. Sebelumnya SIRA selalu 
aktif menyerukan tuntutan referendum Aceh. Sementara di Papua, kaum separatis 
baru saja mengadakan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua awal bulan lalu, di 
mana bendera Bintang Kejora juga sempat dikibarkan dan mereka menginginkan 
referendum meski pemerintah telah memberikan otonomi khusus (otsus). Sedangkan 
di Maluku kaum separatis RMS/FKM sempat mengibarkan bendera RMS dihadapan 
Presiden SBY saat menghadiri peringatan Harganas di Ambon.

Ketiga peristiwa penting tersebut tidak mungkin terjadi tanpa adanya intervensi 
tangan-tangan asing terutama AS dan Australia. Sebab, mereka khawatir jika NKRI 
tetap tegak, sebagai negara Muslim terbesar di dunia maka Indonesia lambat atau 
cepat akan menjadi negara yang potensial menjadi musuh AS sebagaimana Iran, 
Suriah dan Pakistan. Sebab AS memandang Indonesia dan Pakistan bisa menjadi 
musuh berbahaya jika keduanya berhasil dikuasai kekuatan Islam, apalagi 
Pakistan telah memiliki senjata nuklir dan Indonesia sedang berencana membangun 
PLTN.

Lebih berbahaya
Seharusnya aparat intelijen seperti BIN, BIA dan lembaga intelijen lain sudah 
sejak dini memperhitungkan bahaya gerakan separatis bagi kelangsungan NKRI. 
Namun tampaknya kekuatan intelijen beserta aparat TNI dan Polri lebih 
difokuskan pada pemberantasan terorisme. Padahal sesungguhnya separatisme tidak 
kalah bahayanya dari terorisme, bahkan lebih menghawatirkan. Sebab meraka 
secara diam-diam mendapat dukungan dari Barat terutama AS dan Australia. 
Sementara kalau urusan terorisme, kedua negara tersebut habis-habisan membantu 
pemerintah dengan dana jutaan dolar. Sedangkan kalau masalah separatisme mereka 
hanya diam seolah-olah tidak mengetahui, tetapi di belakangnya membantu secara 
rahasia melalui NGO yang berkolaborasi dengan donatur Barat.

Seharusnya pemerintahan Presiden SBY sudah mampu membaca skenario AS untuk 
menghancurkan NKRI. Kunjungan 17 jenderal AS di Aceh pada Mei lalu dan lawatan 
anggota Kongres yang dikenal pro kemerdekaan Papua, Eni Faleomavaega, ke 
Indonesia bulan lalu bahkan diterima langsung Presiden SBY meski memakai celana 
pendek. Seharusnya hal itu sudah menjadi warning pemerintah Indonesia akan 
bahaya gerakan separatis. Separatisme di Indonesia sudah menjadi isu 
internasional termasuk di kalangan anggota Kongres AS seperti Eni Faleomavaega 
yang juga ketua Sub Komisi Asia Pasifik Kongres AS (Samoa), James Moran 
(Virginia), Donald Payne (New Jersey), dan David Drier (California). Merekalah 
para tokoh yang berusaha memerdekakan Aceh, Papua, dan Maluku.

Namun yang lebih mengherankan lagi adalah penghargaan pemerintah Indonesia atas 
mediasi yang dilakukan mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, atas 
perannya dalam perdamaian di Aceh. Padahal Martii yang sekarang menjadi Utusan 
Khusus Sekjen PBB untuk masalah Kosovo, juga berusaha memerdekakan Aceh 
sebagaimana Kosovo. Meski kedua wilayah tersebut sekarang belum merdeka, tetapi 
suatu saat Martii berharap Aceh dan Kosovo akan merdeka lepas dari Indonesia 
dan Serbia.Tetapi anehnya, kalau pemerintahan Beograd sudah berusaha 
mengantisipasi langkah Martii tersebut dengan meminta dukungan Rusia sebagai 
anggota tetap DK PBB untuk mengaggalkan kemerdekaan Kosovo, tetapi pemerintah 
Indonesia justru memperlakukan Martii bak pahlawan nasional.

Selalu disusupi
Para agen AS memang sudah terlalu dalam dan lama beroperasi di Indonesia bahkan 
sejak awal kemerdekaan. Boleh dikatakan tidak ada satupun departemen ataupun 
lembaga pemerintah yang tidak disusupi agen intelijen AS terutama dari bangsa 
Indonesia sendiri. Dengan demikian, CIA sudah terlalu berurat-berakar dalam 
kehidupan politik dan kenegaraan di Indonesia.

Munculnya UU Otonomi Daerah, pemisahan TNI dan Polri, bangkitnya gerakan 
separatisme di Aceh dan Papua serta Maluku, Penandatangganan DCA dengan 
Singapura, kemenangan calon independen dalam Pilkada Aceh, kerusuhan bernaunsa 
SARA di Ambon dan Poso, tidak mungkin terjadi tanpa skenario para agen AS di 
Indonesia. Dengan demikian, agar NKRI tetap tegak dan cita-cita separatisme 
berhasil digagalkan, maka satu-satunya jalan adalah pemerintah harus kembali 
ishlah dengan umat Islam yang mayoritas.

Umat Islam jangan terus-menerus disudutkan dan digebyah-uyah dengan tudingan 
terorisme yang hanya dilakukan oleh segelintir orang. Pangeran Diponegoro, Kiai 
Mojo, Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Teuku Umar, Cut Nya Dien, adalah 
pahwlawan Islam yang sangat konsisten menetang hegemoni Barat yang kolonial. 

Ikhtisar
- Sebagai 'polisi dunia' AS selalu menganggap negara yang tidak sehaluan 
sebagai musuh yang harus dimusnahkan.
- Tak hanya terhadap musuh, negara yang dianggap sebagai sahabat juga selalu 
dipecah-pecah dan dilemahkan.
- Indonesia adalah korban dari skenario AS untuk memecah dan melemahkan 
'sahabat'.
- Agen rahasia AS, CIA telah berurat dan berakar dalam kehidupan politik dan 
kenegaraan di Indonesia

Kirim email ke