DR AHMADINEJAD, PRESIDEN RII 

AS dan Program Keamanan Baghdad
Program keamanan Baghdad yang diterapkan pemerintahan Perdana Menteri Nouri 
al-Maliki diakui banyak kalangan telah banyak membuahkan hasil. Namun demikian, 
berbagai laporan menyebutkan bahwa AS sedang menghimpun pasukan sebanyak 70.000 
personil dengan tujuan menggulingkan pemerintahan al-Maliki.

Bersamaan dengan ini, ada banyak indikasi yang menunjukkan adanya gelombang 
teror, upaya pembunuhan, dan penculikan para tokoh politik Irak. Gelombang ini 
antara lain ditandai oleh upaya-upaya pembunuhan terhadap Wapres Adil Abdul 
Mahdi dan Kepala Polisi Propinsi Salahudin serta upaya penculikan Penasehat 
Keamanan Menteri Pertahanan Irak. 

Serangkaian upaya yang gagal itu ditengarai sebagai tindakan yang sudah 
direncanakan secara matang untuk mengacaukan keamanan Baghdad agar pihak-pihak 
yang menentang pemerintahan al-Maliki dapat menyangsikan program keamanan 
Baghdad. Singkatnya, pemerintahan al-Maliki dihadang oleh upaya penggulingan.

Sejak al-Maliki terpilih sebagai perdana menteri secara demokratis, intensitas 
gangguan AS dan para kaki tangannya terhadap pemerintahan Irak memasuki babak 
baru. Mereka berusaha memojokkan pemerintahan al-Maliki dengan membuka peluang 
bagi eskalasi kekerasan dan konflik bernuansa SARA agar pemerintah dan parlemen 
Irak bersedia menyesuaikan diri dengan agenda-agenda Washington. 

Dalam banyak kasus, al-Maliki yang memang dikenal sebagai sosok pemimpin yang 
teguh dan berani dalam mengambil keputusan dan bertindak telah menunjukkan 
resistensinya terhadap tekanan itu. Resisensi ini rupanya membuat al-Maliki 
semakin dihadapkan oleh berbagai tindakan kontra pemerintahannya. 

Sekarang, target yang diincar AS ialah program keamanan Baghdad, karena jika 
program ini berhasil maka reputasi al-Maliki akan terangkat dan semakin sulit 
diatur dan dikendalikan oleh AS. Untuk memuluskan makar ini AS tinggal 
mengaktifkan para kaki tangannya yang bertebaran di berbagai instansi 
pemerintahan dan keamanan Irak. 

Betapapun demikian, program keamanan Baghdad masih bisa diharapkan sukses. 
Karena hingga kini masih terjaga kekompakan antara pemerintah dan rakyat, serta 
kelompok-kelompok etnis, mazhab, dan faksi-faksi politik untuk menindak-lanjuti 
program itu. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari dukungan Presiden Jalal 
Talabani yang berasal dari etnis Kurdi serta Ketua Parlemen Irak Mahmoud 
al-Mashhadani yang berasal dari kelompok Sunni. Di samping itu, al-Maliki 
sendiri berusaha menggunakan orang-orang terpercaya dalam menerapkan program 
keamanan untuk meminimalkan upaya-upaya sabotase dan sebagainya.
 
 
  
Konferensi Liga Arab di Kairo
Konferensi para menteri luar negeri Arab yang ke-127 dimulai di Kairo, Mesir, 
Ahad 4 Maret. Sebelum konferensi ini dimulai, para menteri itu mengadakan 
pertemuan pendahuluan yang diprakarsai oleh Menteri Luar Negeri Mesir Ahmed 
Abul Gheit. Tema-tema yang dibicarakan ialah perkembangan situasi Palestina, 
khususnya masalah Masjid al-Aqsha, krisis politik Libanon, gejolak Irak, 
kemelut Sudan, dan strategi negara-negara Arab untuk memanfaatkan energi nuklir 
sipil.
Kecuali itu, para menteri luar negeri Arab juga akan mendiskusikan isu ancaman 
rezim Zionis Israel terhadap sejumlah negara Arab, khususnya Suriah, serta 
membahas mekanisme pengaktifan prakarsa damai negara-negara Arab. Ahmed Abul 
Gheit menyatakan konferensi ini merupakan kesempatan untuk mendiskusikan banyak 
masalah, terutama krisis Darfur dan Libanon. 

Seperti diungkapkan para pengamat, Konferensi Kairo yang dihadiri oleh 18 
negara anggota Liga Arab itu terasa sangat penting jika dikaitkan dengan 
kondisi Timteng yang semakin kelam dan dibayangi oleh ambisi Israel dan AS. 
Menurut mereka, Konferensi Kairo akan dimanfaatkan negara-negara Arab untuk 
mengurangi tekanan AS dan Israel serta menguatkan lagi semangat untuk 
menyelesaikan berbagai persoalan melalui jalur damai.

Konferensi Kairo merupakan pendahuluan untuk Pertemuan Puncak Arab yang 
rencananya akan berlangsung di Riyadh, Arab Saudi, akhir bulan ini. Dan untuk 
menyukseskan pertemuan yang kedua ini, pemerintah Saudi belakangan 
mengintensifkan lobi-lobinya di negara-negara Arab. Sejauh ini, hanya pemimpin 
Libya Moammad Qadhafi yang menyatakan enggan mengikuti Pertemuan Puncak. Bakal 
kosongnya kursi Libya pada pertemuan puncak itu ditegaskan oleh Menteri Luar 
Negeri Libya Abdurrahman Shalqam.  

Boikot Libya ini mengingatkan orang pada masa lalu Arab yang nyaris tak pernah 
sepi dari perselisihan antar negara Arab, terutama antara Saudi dan Libya. 
Hubungan kedua negara ini memang tak pernah mesra dan selalu saja ada alasan 
dari kedua pihak untuk saling tuding. Pada Pertemuan Puncak Arab di Sherm 
el-Sheikh, Mesir, Maret 2003, Qadhafi mengecam Raja Abdullah dari Saudi karena 
membukakan pintu bagi keberadaan pasukan AS di Teluk Persia. Dan pada Desember 
2004, pemerintah Riyadh menarik Dubesnya dari Libya dan kemudian mengusir Dubes 
Libya dari Saudi dengan tuduhan terlibat upaya pembunuhan Abdullah bin Abdul 
Aziz yang saat itu masih menjabat putera Mahkota Saudi.

Di pihak lain, Juli 2005 Libya menuduh Saudi mensponsori konferensi 
kelompok-kelompok oposisi Libya di London. Meski demikian, Dubes Libya kembali 
ke Riyadh Desember 2005. Akankah suasana masa lalu itu terulang lagi dan 
memperkeruh suasana Dunia Arab? Jawaban tentu tidak jika para pemimpin lebih 
menyadari bahwa pertikaian antar mereka hanya akan menguntungkan AS dan Israel.


 
____________________________________________________________________________________
Don't pick lemons.
See all the new 2007 cars at Yahoo! Autos.
http://autos.yahoo.com/new_cars.html 

Kirim email ke