Pleonoxia   Senin, 13 Oktober 2008   

Apa gerangan yang akan dikatakan pangeran Jawa yang meninggalkan istana
itu, Ki Ageng Suryomentaram, seandainya ia hidup pada hari ini?
Seandainya ia berjalan di Sudirman Business District, Jakarta, antara
Pacific Place yang memamerkan benda-benda mentereng dan ruang BEJ di
mana harga saham rontok, para pemilik dana panik, dan di
langit-langitnya bergaung rasa cemas?   Mungkin
inilah yang akan kita dengar dari Ki Ageng: ”Yang menangis adalah yang
berpunya. Yang berpunya adalah yang kehilangan. Yang kehilangan adalah
mereka yang ingin.”   Tapi mungkin tak seorang pun akan memahaminya.   Ia
memang lain. Ia lahir pada 20 Mei 1892 di Keraton Yogyakarta . Ia
pangeran ke-55 di antara sederet putra Sultan Hamengku Buwono VII.
Ibunya seorang garwa ampilan. Pengeran kecil ini bersekolah di
Srimenganti, yang dikelola istana. Pendidikan formalnya tipis, tapi ia
berbahasa Belanda dengan baik, dan kemudian belajar bahasa Arab dan
Inggris. Dan ia membaca.   Pada
umur 18 ia jadi Pangeran, dengan gelar ”Bendara Pangeran Harya
Suryomentaram”. Kita tak tahu bagaimana hidupnya pada masa itu, tapi
ada sebuah kejadian yang membuat masa depannya berubah.   Dalam
sebuah tulisan yang dimuat jurnal Archipel (nomor 16, tahun 1978),
Marcel Boneff menceritakan kembali kejadian itu. Pada suatu hari, dalam
perjalanan ke sebuah pesta perkawinan di Keraton Surakarta, dari
jendela kereta api sang Pangeran melihat ke luar. Di bentangan sawah,
sejumlah manusia berkeringat, bersusah payah, mencari sesuap nasi.
Sementara itu di gerbong itu ia duduk dengan megah dan nyaman:
kenikmatan yang diperolehnya semata-mata karena ia dilahirkan di suatu
tempat yang tak harus diraih. Bisakah ia berbahagia?   Sejak itu Suryomentaram 
mempertanyakan hal yang oleh orang lain didiamkan: arti benda bagi hidup, arti 
punya bagi manusia.    Dalam
bahasa Jawa ada dua kata yang hampir mirip, milik dan mélik. Yang
pertama berarti ”punya” atau ”harta”. Yang kedua berarti ”keinginan
yang cemburu untuk mendapatkan sesuatu”.    Kini
milik begitu penting dan mélik dilembagakan sebagai perilaku yang
wajar; keduanya dianggap bagus buat pertumbuhan ekonomi. Dan jika dari
kesibukan dengan milik dan mélik itu lahir sifat tamak, Sudirman
Business District adalah saksinya. Di sini bergema kata-kata Walter
Williams, ekonom dari George Mason University , tentang the virtue of
greed: ”Sebutlah itu tamak, atau egoisme, atau kepentingan diri yang
tak sempit, tapi akhirnya motivasi inilah yang membuat hal ihwal jadi”.   
Mungkinkah
itu sebabnya ”pasar”—yang digerakkan milik dan mélik—tak mudah
ditertibkan oleh Negara? Bank sentral dan kementerian keuangan di
seluruh dunia bergerak. Mereka hendak membendung arus jatuh pasar
saham, yang makin mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan. Tapi
sejauh ini sia-sia. Sejauh ini tampak bahwa Negara, yang bekerja untuk
kepentingan umum, tak berdaya menghadapi pasar yang tamak yang tak
mengacuhkan res publica.   Yang
tak selamanya disadari adalah cepatnya gerak milik dan mélik pada zaman
ini. Bersama cepatnya alir kekayaan dari tempat ke tempat—ya, itulah
globalisasi—terjadilah akselerasi hasrat. Kepuasan akan satu benda
dengan segera dihapus oleh hasrat baru. ”Benda”—yang telah berubah jadi
komoditas—kini jadi lambang ke-baru-an. Maka ada orang yang punya 10
mobil Jaguar: ketika puas hilang, satu Jaguar lagi terbilang.
Terus-menerus.   Menyimpan
akhirnya jadi tak menarik. Masa depan, ditandai dengan yang ”baru”,
jadi kian cepat tiba. Menabung kehilangan alasannya. Kapitalisme zaman
ini makin mengukuhkan dalil Leon Levy (”investor genius dari Wall
Street”, kata majalah Forbes), bahwa ”tiap satu persen tabungan naik di
masyarakat, laba perusahaan akan turun 11 persen”.   Ada
yang patologis dalam gejala itu. Kita hidup dengan ”pleonoxia”,
penyakit jiwa yang didera keinginan segera mendapatkan lagi, lagi,
lebih, lebih.   Itu
sebabnya saya teringat Ki Ageng Suryomentaram. Apa gerangan yang akan
dikatakannya? Pada masa hidupnya, ia tauladan. Ia melihat bagaimana
pleonoxia datang setapak demi setapak. Pangeran itu mencegahnya dengan
drastis: ia meninggalkan keraton. Sebelum umurnya 30, ia mengajukan
surat agar gelar Pangerannya dibatalkan. Salah satu bangsawan terkaya
di Yogyakarta ini pun memberikan mobilnya kepada sopirnya, menyerahkan
kuda-kudanya kepada pekatiknya. Lalu ia berangkat ke arah Banyumas. Ia
memakai nama ”Notodongso” dan praktis menghilang. Ketika Raja menyuruh
orang mencari putranya yang ganjil ini, mereka menemukannya di Kota
Kroya: sedang menggali sumur.   Apa
yang dicarinya? ”Suprana-supré né, aku kok durung tau kepethuk wong,”
konon begitulah yang dikatakannya. ”Selama ini, aku belum pernah
berjumpa manusia.” Ia tahu, manusia lebur di antara milik dan mélik.   Syahdan,
ia pun memilih hidup sebagai petani di Dusun Bringin. Orang melihatnya
selalu hanya memakai kathok pendek hitam, tak bersandal. Di lehernya
terkalung sehelai batik bermotif parang rusak barong yang konon
melambangkan resistansi. Mungkin dengan itulah manusia muncul,
kadang-kadang: dalam menampik tamak, ia mencintai hidup dengan cara
sederhana, menghargai liyan dengan mulut membisu.   Syahdan,
pada suatu hari ia hendak pergi naik bus. Menjelang masuk, seorang
penumpang lain yang menyangka Suryomentaram seorang kuli menyerahkan
sebuah koper agar diangkat. Dengan patuh Ki Ageng meletakkannya di
dalam bus— dan segera setelah itu, ia turun lagi. Ia membatalkan pergi.
Ia tak ingin penumpang tadi jadi malu, telah salah menyuruhnya.   Begitu
merendah—seorang yang tak akan kelihatan dari lantai tinggi Sudirman
Business District, seorang yang seakan-akan menunjukkan: ”Lihat,
tanganku di dekat akar rumput. Lebih banyak yang bisa kita sentuh.
Lebih banyak ketimbang yang bisa kau rengkuh.”       Goenawan Mohamad



      
___________________________________________________________________________
Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist. Download sekarang juga.
http://id.toolbar.yahoo.com/

Kirim email ke