*JAKARTA -* Dalam kurun setahun, utang PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) melonjak 370 persen menjadi Rp18,608 triliun. Sekitar Rp11 triliun merupakan pinjaman jangka pendek. Kendati utangnya melangit, kinerja induk perusahaan Grup Bakrie ini melesat 588 persen. Ada kabar, untuk membiayai ekspansinya, Bakrie akan melego saham KPC dan Arutmin di Bumi Resources.
Grup Bakrie termasuk salah satu kelompok bisnis yang punya nyali berutang amat besar. Seorang pejabat di Bakrie & Brothers menuturkan, kebangkitan kembali konglomerasi ini sesungguhnya dibangun dengan kekuatan utang. Maklum, ketika krisis ekonomi menghantam negeri ini tahun 1997, beban utang Grup Bakrie mencapai USD4 miliar. Untuk melunasi kewajibannya itu, sejumlah aset pun digadaikan. Contohnya stasiun televisi ANTV yang pernah digadaikan kepada investor Singapura. Seiring pembenahan di internal perusahaan, kata si sumber, utang-demi utang tadi berhasil dipangkas. Puncaknya adalah ketika Bakrie, lewat Bumi Resources, berhasil membeli tambang batu bara Kaltim Prima Coal (KPC). Lonjakan harga batu bara, yang kemudian mendorong harga saham Bumi di bursa naik gila-gilaan, telah membuat Bakrie kaya raya. "Kenaikan harga BUMI itulah yang membuat konsolidasi grup ini berlangsung mulus," imbuh si pejabat. Sebagai pebisnis ulung, kreativitas pengusaha pribumi ini boleh dibilang tak pernah berhenti. Berbagai "akrobat" pun mereka lakukan untuk membesarkan usahanya. Contohnya adalah proses konsolidasi yang melibatkan Bakrie & Brothers (BNBR) dengan tiga anak perusahaannya, Bumi Resources (BUMI), Energi Mega Persada (ENRG), dan Bakrieland Development (ELTY). Untuk membiayai transaksi besar itu, BNBR melakukan right issue senilai USD1,09 miliar. Dana tersebut berasal dari Odicson Finance SA dengan bunga 8,5 persen per tahun. Untuk mendapatkan dana ini, Bakrie menjaminkan sahamnya di tiga perusahaan tadi kepada kreditor. Guna membiayai transaksi ini, perseroan juga mendapatkan pinjaman dari Long Houl Ltd. dan PT Brantras Indonesia, penjual saham Bumi dan ENRG. Berkat akuisisi itu, Bakrie & Brothers kini menguasai 35 persen saham BUMI, 40 persen saham ENRG, dan 40 persen saham ELTY. Belakangan, Bakrie menggadaikan sejumlah sahamnya di tiga perusahaan tadi untuk menutup utang-utangnya. Alhasil, di akhir Juni, kepemilikan BNBR di BUMI tinggal 15,73 persen, di Bakrieland 19 persen, dan di Energi Mega Persada 6,64 persen. Saham BUMI misalnya, oleh Bakrie dijaminkan untuk mendapat pinjaman dari PNM sebesar Rp231,8 miliar, JP Morgan dan ICICI masing-masing sebesar USD150 juta. Nilai investasi BNBR di tiga anak usaha terbilang cukup besar. Di BUMI mencapai Rp4,4 triliun, ENRG sekitar Rp1,3 triliun, dan ELTY sebesar Rp1,7 triliun. Namun karena aktif "menggali lubang", sampai paruh pertama 2008, nilai pinjaman Bakrie & Brothers sudah melambung 370 persen menjadi Rp18,6 triliun (yoy). Dari jumlah sebesar itu, sekitar Rp11 triliun merupakan utang jangka pendek. Utang tersebut sebagian besar berasal dari anak perusahaan. Sumber dana lainnya berasal dari pinjaman berbagai institusi keuangan. Selain Odicson, BNBR juga menerima fasilitas pinjaman dari Barclays Capital Ltd. sebesar Rp562,5 miliar dan Raffles Zentralbank Osterreich AG senilai Rp138,3 miliar. Sementara dari domestik, Bank Internasional Indonesia merupakan kreditor paling besar. Nilai pinjaman yang diberikan BII mencapai Rp291,3 miliar. Kendati utangnya menumpuk, kinerja Bakrie justru semakin memikat. Sampai Juni, perseroan sudah mengantongi laba bersih Rp590,3 miliar atau melonjak 588 persen (yoy). Kenaikan ini dipicu oleh meroketnya laba usaha sebesar 120,55 persen menjadi Rp610,82 miliar. Dampak akuisisi tiga anak perusahaan tadi langsung terasa di semester I. Berkat kenaikan laba bersih tersebut, dana kas milik Bakrie & Brothers pun ikut membengkak. Nilainya kini mencapai Rp6,4 triliun atau naik 189 persen (yoy). Sebagian dana ini disimpan di Danamon, Deutsche Bank, Bank DBS Indonesia, dan Bank Mega. Simpanan terbesar ada di Bank Mega yang mencapai Rp2 triliun.�