OOT lagi nih Mbah mumpung libur . Gini Coeficient atau Gini Index mencoba mengukur pemerataan ekonomi. Jadi KIRA-KIRA, Indonesia masuk daerah mana lumayan merata ataukah sangat terkonsentrasi? Bagaimana jika dibandingkan dengan Negara maju Amerika, atau Eropa, atau yang lainnya? Gini index bernilai 0 (nol) yang artinya seluruh penduduk punya pendapatan sama, atau 1 yang artinya satu orang saja memiliki seluruh kekayaan. Menurut United Nation dan CIA, Amerika berkisar 0.4, Jepang berkisar 0.26 dan Negara eropa berkisar 0.35. Negara bekas sosialis lebih kecil. Indonesia berkisar 0.33. Lha, koq bisa? Mungkinkah karena sama-sama tidak punyanya? Menurut artikel dari world bank, ternyata bukan.
Menurut artikel world bank: 1. Growth (GDP/Inflation) bisa mengurangi kemiskinan tapi 2. Growth memperbesar kesenjangan social. Perbandingan antar Negara-negara menunjukkan Negara yang growthnya besar memiliki Gini coefficient yang lebih besar. Dilihat dari sejarahnya (case analysis World Bank), peng-ikut-serta-an seluruh elemen masyarakat dalam bekerja-sama meningkatkan pertumbuhan ekonomi sudah dimulai dari komitmen politik pemimpin bangsa sejak tahun 70. Keinginan untuk mendistribusi sudah jelas gagal (jadi pengikut rusia maksudnya) dan kemudian salah satu ahli ekonomi menjelaskan bahwa "Tidak bisa bagi-bagi Lemper Ayam, wong lempernya kagak ada. Maka marilah kita buat Lemper Ayam supaya bisa dibagi-bagi dan ajak SELURUH rakyat untuk buat lemper", gitu katanya. Jadi dimulailah upaya ekonomi mengembangkan ekonomi tersebut, yang menurut World Bank disebut "Pro-poor Growth Strategy". Menurut mereka, Indonesia sudah mencoba 3 strategi, yang pertama redistribusi tok (macam rusia trus gagal), kemudian Pro-poor growth, dan ketiga Fiscal Transfer (setelah krisis ekonomi membagi-bagi kartu kesehatan, distribusi beras, voucher sekolah, dll). Dari ketiga strategi ini, poor countries atau developing countries paling berhasil maju kalau menggunakan Pro-poor strategy. Apa sih strategi ini? Upaya ini berusaha agar seluruh bangsa bergerak membangun, bahkan sampai daerah-daerah pedesaan dan daerah-daerah terpencil. Bentuknya apa saja? Menurut world bank adalah dengan membangun infrastruktur daerah terbelakang yang menggunakan banyak tenaga kerja. Jadi walaupun secara efisiensi pemerintah tau bahwa menggunakan ekskavator atau bulldozer lebih banyak untuk membangun jalan, efisiensi kurang tinggi, mereka lebih memilih menggunakan banyak buruh supaya uang bisa dinikmati lebih banyak orang. Mendirikan investasi atau pabrik yang lebih intensif pada tenaga kerja seperti tekstil dll. Jadi secara ekonomi disebutnya memanfaatkan dan mendayagunakan "COMPARATIVE advantage", yakni low wage and hugely available workforce. Yang kedua, world bank juga menunjukkan bahwa konsentrasi kemiskinan ada di sector agrikultur. Petani (tradisional) sering buta huruf dan memiliki lahan yang tiap generasi makin berkurang dan terbagi-bagi. Orde baru pernah berupaya untuk menyerang kemiskinan ini "RIGHT at the HEART of the matter" "To lose control of the rice economy was to lose control of what mattered to Indonesian society". Dan kemudian artikel ini menyimpulkan bahwa stabilitas Gini coefficient pada periode 60 sampai 90 (walaupun GDP meningkat) bukanlah akibat dari "market forces" yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi (kebetulan adanya perkembangan teknologi bibit unggul dan teknologi irigasi) tapi merupakan upaya "conscious" pemerintah. Verbatimnya:"The stability of the Gini coefficient seen from the late 1960 to the present should not be taken as the result of market driven forces in the face of given technology, but rather as conscious government effort, led from the macroeconomic area by the technocrats but blessed by the president, to stimulate what is now called pro-poor growth." Periode-periode decade 80 dan 90 menunjukkan bahwa starting point yang jelek (saat Indonesia memiliki inflasi ratusan persen, high poverty population, low illiteracy, dll) dapat diputarbalik menjadi pertumbuhan ekonomi yang baik tanpa terlalu banyak menimbulkan kesenjangan social. Masalahnya kita tak bisa lagi kembali pada kebijakan tahun 80 dan 90. Banyak hal yang sudah berubah. Yang pertama kekuasaan pusat sudah berkurang sehingga komitmen politik pusat (yang baik) kadang-kadang tidak bisa dipaksakan lagi buat daerah-daerah. Bagaimanakah caranya membuat otonomi daerah ini jadi senjata buat maju, bukannya senjata makan tuan? Perbedaan lain, walaupun sampai sekarang masih banyak tenaga kerja, tidak bisa lagi terlalu berpendapat bahwa comparative advantage ini masih menjadi andalan utama (mengingat banyak tetangga juga menawarkan comparative advantage yang sama). Bagaimana dengan keunggulan alam yang kaya dengan sumber dayanya (komoditas), tapi sebanyak-banyaknya toh tak bisa dibagi begitu saja ke seluruh rakyat. Tak semua daerah kaya dengan sumber daya alam. Lalu pasar financial dan pasar uang, pasar forex, bagaimanakah mendayagunakannya bagi kemajuan, tanpa jadi senjata makan tuan. Best wishes for Indonesian Economy