awalnya saya hanya bercanda mau buka pertambangan timah sekala kecil di kawan hutan lindung tapi setelah saya ceritakan kepada orang tua saya tentang PP NO.2 ini orang tua saya sangat tertarik. Kemudian saya mencari informasi mengenai PP ini salah satunya di http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.23.02171352&channel=2&mn=2&idx=2
Tujuan dari PP itu, menurut Presiden Yudhoyono, justru agar hutan Indonesia selamat. Di satu sisi mendatangkan penerimaan untuk negara, di sisi lain untuk menyelamatkan bumi. Saya jadi binggung dengan PP ini , saya minta pendapat para suhu di milis ini sebenarnya boleh tidak membuka tambang di kawasan hutan lindung????? kalau boleh pihak mana saja yang diperbolehkan , apa masyarakat seperti saya juga boleh membuka tambang sekala kecil di hutan lindung?? http://www.dephut.go.id/files/PP_2_2008.pdf freez z <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Yang benar kita diberi kediberi kemewahan membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan pertambangan dan usaha lain, hanya dengan membayar Rp 300 setiap meternya??? Gw baru tau PP No. 2 ini dari milis ini. Kebetulan gw tinggal di pulau bangka yang banyak timahnya.Pantas aja kemarin adateman yang cerita2 kalau dia buka tambang timah di hutan lindung timahnya banyak banget. Emang udah di tegur sekali oleh polisi tapi sampai sekarang polisi belum ngambil tindakan mungkin karena PP no.2 ini. Kalau gitu gw juga mau ah buka tambang timah di hutan lindung.Thanks ya teman2 di milis ini udah ngasih tau. Pasar Modal <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Saya semalam baca pertanyaan wartawan kompas kepada SBY terkait hutan lindung ini, yang sempat menyulut emosi. Tapi, alangkah baiknya apabila ada yang menuliskan di sini salinan PP-nya untuk dibaca bersama-sama. Apakah benar-benar isinya merugikan bangsa tanpa pertimbangan akal sehat. 2008/2/20 chacha amwa <[EMAIL PROTECTED]>: Bener gitu berita ini??? Note: forwarded message attached. --------------------------------- Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now. -----Inline Message Follows----- Sejak 4 Februari lalu, hutan lindung dan hutan produksi tak berharga lagi. Lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 2 tahun 2008, para pemodal diberi kemewahan membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan pertambangan dan usaha lain, hanya dengan membayar Rp 300 setiap meternya. PP ini menghapus fungsi lindung kawasan hutan menjadi fungsi ekonomi sesaat. Ditengah keprihatinan bencana banjir dan longsor musim ini, Presiden mengeluarkan PP No 2 tahun 2008 tentang Jenis & tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan utuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. PP ini memungkinkan perusahaan tambang merubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar, hanya dengan membayar Rp. 1,8 juta hingga Rp. 3 juta per hektarnya. Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Harganya turun menjadi Rp. 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta. "Itu harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini. Hanya Rp. 120 hingga Rp. 300 per meternya, lebih murah dari harga sepotong pisang goreng yang dijual pedagang keliling" ujar Rully Syumanda, pengkampanye hutan WALHI. "Yang menyesakkan, PP ini keluar ditengah ketidakbecusan pemerintah mengurus hutan. Laju kerusakan hutan sepanjang 2005 hingga 2006 saja mencapai 2,76 juta ha. Juga, di saat musim bencana banjir dan longsor yang terus menyerang berbagai wilayah. Sepanjang 2000 hingga 2006, sedikitnya 392 bencana banjir dan longsor terjadi di pelosok negeri. Ribuan orang meninggal, ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi," tambah Edi Sutrisno dari Sawit Watch. Bisa dibayangkan apa dampak PP ini, ditengah kegagalan negeri mengurus pemulihan kerusakan hutan, konflik tumpang tindih fungsi lahan, dan penanganan bencana lingkungan tahunan. Yang paling bersorak, tentu pelaku pertambangan. Sudah sejak lama mereka melakukan lobby hingga ancaman. Mereka tak suka ijin pertambangannya terganjal status hutan lindung. Perusahaan asing sekelas Freeport, INCO, Rio Tinto, Newmont, Newcrest, Pelsart - jelas diuntungkan PP ini, demikian pula perusahaan nasional macam Bakrie, Medco, Antam dan lainnya. Saat ini, lebih 158 perusahaan pertambangan memiliki ijin di di kawasan lindung, meliputi luasan sekitar 11, 4 juta hektar. Keluarnya PP ini memperjelas dimana posisi kabinet SBY dan partai berkuasa saat ini, yang mestinya mengontrol sepak terjang pemerintah. Kabinet SBY dengan konsisten berada di sisi pemodal, bukan keselamatan rakyat. "PP ini menghina akal sehat dan akan bersangkutan serius dengan segala inisitif kerjasama internasional dan perubahan iklim terkait sektor kehutanan, yang sedang menjadi perhatian dunia. Jika tak ingin kabinet SBY semakin dijauhi rakyat dan membingungkan publik internasional, PP ini harus segera di cabut," tuntut Siti Maemunah, koordinator nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kontak Media: Luluk Uliyah hp 08159480246, Edi Sutrisno hp 081315849153, Rully Syumanda hp 081319966998 ------------ --------- --------- --------- --------- --------- --------- -- Informasi lain terkait dengan advokasi pertambangan mineral dan energi dapat dilihat di www.jatam.org Dapatkan update informasi dari website kami dengan mendaftarkan alamat email anda sebagai anggota Info Kilat JATAM yang ada di sudut kiri bawah dalam website kami. --------------------------------- Never miss a thing. Make Yahoo your homepage. Sejak 4 Februari lalu, hutan lindung dan hutan produksi tak berharga lagi. Lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 2 tahun 2008, para pemodal diberi kemewahan membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan pertambangan dan usaha lain, hanya dengan membayar Rp 300 setiap meternya. PP ini menghapus fungsi lindung kawasan hutan menjadi fungsi ekonomi sesaat. Ditengah keprihatinan bencana banjir dan longsor musim ini, Presiden mengeluarkan PP No 2 tahun 2008 tentang Jenis & tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan utuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. PP ini memungkinkan perusahaan tambang merubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar, hanya dengan membayar Rp. 1,8 juta hingga Rp. 3 juta per hektarnya. Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Harganya turun menjadi Rp. 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta. "Itu harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini. Hanya Rp. 120 hingga Rp. 300 per meternya, lebih murah dari harga sepotong pisang goreng yang dijual pedagang keliling" ujar Rully Syumanda, pengkampanye hutan WALHI. "Yang menyesakkan, PP ini keluar ditengah ketidakbecusan pemerintah mengurus hutan. Laju kerusakan hutan sepanjang 2005 hingga 2006 saja mencapai 2,76 juta ha. Juga, di saat musim bencana banjir dan longsor yang terus menyerang berbagai wilayah. Sepanjang 2000 hingga 2006, sedikitnya 392 bencana banjir dan longsor terjadi di pelosok negeri. Ribuan orang meninggal, ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi," tambah Edi Sutrisno dari Sawit Watch. Bisa dibayangkan apa dampak PP ini, ditengah kegagalan negeri mengurus pemulihan kerusakan hutan, konflik tumpang tindih fungsi lahan, dan penanganan bencana lingkungan tahunan. Yang paling bersorak, tentu pelaku pertambangan. Sudah sejak lama mereka melakukan lobby hingga ancaman. Mereka tak suka ijin pertambangannya terganjal status hutan lindung. Perusahaan asing sekelas Freeport, INCO, Rio Tinto, Newmont, Newcrest, Pelsart - jelas diuntungkan PP ini, demikian pula perusahaan nasional macam Bakrie, Medco, Antam dan lainnya. Saat ini, lebih 158 perusahaan pertambangan memiliki ijin di di kawasan lindung, meliputi luasan sekitar 11, 4 juta hektar. Keluarnya PP ini memperjelas dimana posisi kabinet SBY dan partai berkuasa saat ini, yang mestinya mengontrol sepak terjang pemerintah. Kabinet SBY dengan konsisten berada di sisi pemodal, bukan keselamatan rakyat. "PP ini menghina akal sehat dan akan bersangkutan serius dengan segala inisitif kerjasama internasional dan perubahan iklim terkait sektor kehutanan, yang sedang menjadi perhatian dunia. Jika tak ingin kabinet SBY semakin dijauhi rakyat dan membingungkan publik internasional, PP ini harus segera di cabut," tuntut Siti Maemunah, koordinator nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kontak Media: Luluk Uliyah hp 08159480246, Edi Sutrisno hp 081315849153, Rully Syumanda hp 081319966998 ------------ --------- --------- --------- --------- --------- --------- -- Informasi lain terkait dengan advokasi pertambangan mineral dan energi dapat dilihat di www.jatam.org Dapatkan update informasi dari website kami dengan mendaftarkan alamat email anda sebagai anggota Info Kilat JATAM yang ada di sudut kiri bawah dalam website kami. --------------------------------- Never miss a thing. Make Yahoo your homepage. --------------------------------- Never miss a thing. Make Yahoo your homepage. --------------------------------- Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now. --------------------------------- Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.