Di forward dari milis tetangga....
---    




Message of Monday – Senin, 11 Januari 2010
Bapak Ahmad Datang dan Pergi
Oleh: Sonny Wibisono, penulis, tinggal di Jakarta

“Kunci dari perubahan adalah melepaskan diri dari rasa takut.”
-- Rosanne Cash, penyanyi, asal Amerika

Namanya Ahmad. Pekerjaan sehari-harinya sopir pribadi. Majikannya seorang 
pialang di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Umur Ahmad saat ini hampir mencapai 
60 tahun. Ia telah mengabdi selama lebih dari 30 tahun. Saat Ahmad datang ke 
Jakarta, sekitar tahun 80-an, modalnya hanya sehelai surat izin mengemudi, dan 
tentu saja beberapa potong pakaian. Ia direkomendasikan saudaranya yang lebih 
dulu bekerja sebagai pramuwisma di keluarga yang kelak menjadi majikannya. 
Karir pertamanya, ia melayani isteri majikannya. Tugasnya, mengantar pergi 
belanja, arisan, ke rumah kolega, dan pertemuan informal lainnya. Karena 
dinilai santun, tak banyak ulah, dan cakap dalam mengemudi, tak lebih dari 
setahun, Ahmad ’naik pangkat’ menjadi sopir pribadi Pak Budi. Sekitar akhir 
Desember tahun lalu, Ahmad meminta pensiun. Umurnya memang tak lagi muda. 
Kepada majikannya, dia mengaku ingin menikmati hari tuanya di kampungnya. Sang 
Bos pun tak bisa menolak. Namun, setelah
 berpamitan, Ahmad rupanya tak langsung pulang kampung, ia menginap di salah 
satu saudaranya di Jakarta. Ada yang mau diurus, katanya. Dua minggu berselang, 
dia pun ke kampung halamannya di Jawa Tengah.

Sesampainya di kota kelahirannya, ia disambut hangat oleh isteri dan 
anak-anaknya. Setelah beristirahat seharian karena kelelahan, keesokan harinya 
dia mengumpulkan seluruh keluarganya, yaitu isteri dan tiga anaknya. Ternyata 
ada yang ingin disampaikannya. Bila ia sudah tiada, ia akan mewariskan 
kekayaannya kepada keluarganya. Pada awalnya, keluarganya mendengarkan Pak 
Ahmad bicara hanya manggut-manggut saja. Mereka mungkin menilai Pak Ahmad 
bicara seperti itu karena merasa umurnya lanjut usia. Tapi ketika pembicaraan 
mulai mengarah pada besarnya warisan, satu persatu keluarga Pak Ahmad terkejut 
bukan main. Pak Ahmad ternyata mewarisi uang senilai hampir satu miliar rupiah. 
Uang itu tersimpan di beberapa bank dalam bentuk tabungan dan deposito. Ketika 
mendengarnya, isterinya kaget bukan main, sambil menutup mata, ia seakan tak 
percaya apa yang dibicarakan suaminya. Anak lelakinya yang paling tua, tersedak 
ketika meneguk minuman. Sementara itu, dua anak
 perempuannya hanya bengong tak dapat berkata apa-apa. Pertanyaan keluarga itu 
semuanya sama, dari mana Pak Ahmad mempunyai uang sebanyak itu? Ya, darimana 
uang itu uang itu sesungguhnya berasal.

Inilah kisahnya. Di Jakarta, sebelum pensiun tentunya, Pak Ahmad sehari-hari 
melayani Pak Budi majikannya. Pak Budi adalah seorang pialang saham. Di 
kalangan pialang saham, Pak Budi termasuk pialang yang cukup dikenal. Yang 
namanya pialang saham, Pak Budi biasa melakukan transaksi dimana saja, di ruang 
kerjanya, tempat pertemuan, rumah makan, atau bahkan di perjalanan ketika 
sedang berkendara. Kebiasaan Pak Budi inilah, lama-lama dipahami Ahmad. Awalnya 
Ahmad buta sama sekali dengan dunia saham. Ketidaktahuan dan rasa penasaran 
Ahmad membawanya mencoba mengetahui dunia yang baru tersebut. Kadang Ahmad 
membaca dari surat kabar, buku, atau pun brosur. Tapi lebih banyak ia belajar 
dan banyak bertanya kepada para karyawan kantor tempatnya bekerja. Sebagian 
besar gaji Pak Ahmad selalu diberikan isterinya di kampungnya. Walau begitu, 
Pak Ahmad masih bisa menyisihkan beberapa untuk ditabung. Dari uang 
tabungannyalah, Pak Ahmad coba-coba untuk membeli saham.
 Pembelian saham di lantai bursa minimal satu lot, ditambah pajak sekitar 0,3 
hingga 0,4 persen. 1 lot setara dengan 500 lembar saham. Karena tak ada uang 
sebesar itu untuk membeli minimal saham, Pak Ahmad bergabung dengan beberapa 
rekannya. Keuntungan sedikit demi sedikit akhirnya dapat diraih Pak Ahmad. 
Hingga akhirnya ia dapat membeli minimal satu slot dari uang hasil tabungannya. 
Kebiasaan tuannya yang sering melakukan transaksi di dalam kendaraan membuat 
Ahmad akhirnya paham. Kalimat, ”saya beli sekian lot saham....” atau ”saya jual 
sekian lot saham.....” sangat akrab di telinga Ahmad. Jangan salahkan Ahmad 
kalau ia dapat curi dengar seluruh percakapan majikannya di dalam mobil. Maka 
ketika Pak Budi, misalnya, menjual sahamnya sekian lot, itu pulalah yang 
dilakukan Ahmad, walau tentu dengan skala yang lebih kecil. 

Tentu tak bisa terus-terusan Ahmad berada disamping majikannya. Ia hanya dapat 
melakukannya hanya ketika majikannya berada di dalam mobil melakukan transaksi 
atau ketika berada di dekatnya. Karena tak selamanya berada disisi majikannya, 
Ahmad tak mau semata hanya tergantung aksi jual-beli dari majikannya. Ia pun 
mencoba belajar. Hingga ia pun paham kapan saatnya menjual dan kapan saatnya 
membeli saham. Layaknya sebuah bisnis, tak selamanya Ahmad bernasib baik, 
kadang ia juga mengalami kerugian. Tapi waktu jualah yang akhirnya memberikan 
pengalaman berharga untuk Ahmad. Dari saham yang dimilikinya hanya berjumlah 
puluhan, meningkat hingga menjadi ratusan.

Pertanyannya kemudian, apakah yang dilakukan Ahmad diperbolehkan? Etiskah 
tindakan Ahmad? Bila bicara etika, maka kita bicara ’patut’ atau ’tidak patut’, 
’pantas’ atau ’tidak pantas’. Etika merupakan persoalan yang rumit. Sebagai 
satu patokan moralitas yang menentukan persoalan patut atau tidak patut, pantas 
atau tidak pantas, ia tidak mempunyai wajah yang seragam. Tidak universal. 
Tergantung dimana ia berada berdiri. Ada sebagian orang yang mengibaratkan 
bermain saham layaknya sebuah judi. Lebih banyak faktor untung-untungannya. 
Kadang kalau hokinya sedang bagus, maka keuntungan besar dapat diraih. Tapi 
kalau nasib pas jeblok, rumah pun bisa digadaikan. Tapi ada pula yang 
mengatakan bahwa bermain saham lebih pada menggunakan perhitungan yang matang 
dan juga analisa, tak hanya berdasarkan faktor keberuntungan semata. Tapi walau 
telah dianalisa secermat sekalipun, toh tetap saja ada pemain saham yang 
bernasib sial. Nasib Ahmad boleh
 dikatakan lebih banyak ditentukan karena faktor keberuntungan. Kalau bosnya 
pas lagi apes, dipastikan Ahmad ikutan apes juga, walau tentu kerugiannya tak 
sebesar kerugian yang diderita bosnya. Untungnya, bosnya lebih banyak meraih 
keuntungan dari aksi jual-beli sahamnya. 

Sekarang, lupakan soal patut atau tidak patut. Pantas atau tidak pantas. Hikmah 
apa yang diambil dari kisah di atas? Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari 
kisah Ahmad, pandai-pandailah menempatkan diri di dalam suatu kondisi dan 
situasi. Ambilah hal yang positif, buang yang negatif. Manfaatkan segenap 
peluang yang berada di depan mata. Jangan takut untuk mengambil risiko. Bila 
Anda berada pada situasi dimana seharusnya Anda dapat memetik keuntungan, tapi 
Anda tidak melakukannya, maka Anda sesungguhnya mengalami kerugian yang besar. 
Karena kreativitas dan jeli dalam mengambil peluang, membuatnya kehidupan Ahmad 
berubah total. Saat ini Ahmad memang telah kembali ke kampung halamannya. Tapi 
tentu saja, kali ini Ahmad tak hanya membawa sehelai surat izin mengemudi dan 
beberapa potong pakaiannya seperti ketika ia pertama kali datang ke Jakarta.








      New Email names for you! 
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

Kirim email ke