Oleh : Kafi Kurnia ([EMAIL PROTECTED])
TITIK terendah, atau yang populer disebut "the lowest point", seringkali menjadi posisi yang dihindari banyak orang. Secara strategis tidak akan menguntungkan. Tetapi bukan berarti tidak bisa dimanfaatkan. Paul Arden, penulis buku kontroversial, It's not How Good You Are, It's How Good You Want to be, menulis bahwa titik terendah seringkali menjadi posisi terbaik untuk beriklan. Misalnya saja Bali saat ini. Sejak peristiwa bom kedua di Jimbaran, Bali secara perlahan dan pasti terasa semakin sepi. Hampir semua industri pariwisata berteriak karena bisnis menurun secara drastis. Tingkat hunian hotel banyak yang hanya di bawah 20%. Hal itu saya rasakan ketika mengunjungi Bali, minggu lalu. Ketika tiba di depan hotel, saya disambut secara ramah dan luar biasa. Guest relations hotel malah memberikan pelayanan istimewa. Kamar hotel saya di-"upgrade" ke tingkat yang lebih mewah. Tapi, ketika esoknya membayar biaya kamar, saya kaget bukan main. Harganya cuma Rp 600.000 nett, sudah termasuk pajak dan makan pagi. Murah sekali. Ini harga 50% dari biasanya. Saya kaget bukan main. Selama di Bali, saya sempat jalan-jalan. Biasanya saya menyewa mobil dan sopir seharga Rp 350.000 untuk 10 jam. Kali ini, karena sepi luar biasa, sang sopir pasrah dan tidak menentukan tarif. Menurut pegawai hotel, tarif mereka turun hingga Rp 250.000. Ketika berjalan-jalan, saya sempat kecewa, beberapa toko favorit saya untuk berbelanja ternyata tutup. Mereka bangkrut karena sepi pengunjung. Restoran-restoran juga mengalami hal yang sama. Uniknya, karena situasi sepi ini, kualitas pelayanan naik tajam. Hal ini saya rasakan ketika makan di restoran dan berbelanja. Saya mendapat pelayanan khusus. Lebih diperhatikan. Saya merasa tersanjung sekali. Tiba-tiba saya merasakan kenikmatan yang ekstra dan berlebih, tetapi uang yang saya keluarkan justru lebih sedikit. Kesimpulannya, kalau Anda ingin menikmati Bali, inilah saat yang paling baik. Murah, sepi, tetapi Anda bisa menikmati pelayanan lebih baik. Sepulang dari Bali, saya kirim e-mail ke teman-teman saya yang doyan pelesir ke Bali, satu di Milan, satu di Amerika, dan satu lagi di Singapura. Berkat cerita saya yang menggiurkan, akhirnya mereka semua langsung ingin berlibur di Bali bulan depan. Peristiwa ini menampar imajinasi saya. Andaikata pemerintah memanfaatkan nasihat Paul Arden, dan mempromosikan Bali di titik terendah ini, maka situasi Bali justru akan cepat pulih. Sayangnya, pemerintah lebih kelihatan kehilangan akal. Pak Bob Sadino, pemilik pasar swalayan terkenal Kem Chicks, pernah bercerita kepada saya. Katanya, harga cabe di pasar seringkali tidak stabil. Pasar sering mengeluh banyak pasokan, dan harga cabe jatuh. Tidak jarang pasokan menjadi terlampau banyak, dan cabe membusuk. Menurut pengamatan Pak Bob Sadino, hal ini terjadi karena petani gagal memanfaatkan titik terendah. Umumnya petani bergairah ikut menanam cabe ketika harganya sedang naik karena pasokan rendah. Malah petani tidak jarang berebut menanam cabe ketika harga cabe sedang berada di titik tertinggi. Akibatnya, ketika mereka rame-rame panen, pasokan cabe berlimpah, dan harga cabe mau tak mau ambruk. Andai kata mereka jeli, justru mereka harus menanam cabe pada saat cabe berada di titik harga terendah. Ketika panen, harga cabe akan berada di titik tinggi karena pasokan kurang. Teori Pak Bob Sadino ini saya ceritakan kepada sejumlah perternak unggas, minggu lalu, dalam serangkaian seminar marketing yang disponsori Asosiasi Pemasaran Kacang Kedelai dari Amerika. Peternak unggas mengeluhkan hal yang sama bahwa mereka berada pada situasi yang SOS, yaitu titik terendah karena flu burung. Saya justru memotivasi mereka dengan memanfaatkan studi kasus Bali dan petani cabe. Saya anjurkan mereka menjadi aktivis flu burung, dan memanfaatkan situasi ini untuk mempromosikan perusahaan mereka. Teori Paul Arden memang ampuh. Titik terendah bukanlah situasi yang ideal. Tetapi titik terendah punya peluang yang unik dimanfaatkan. Yaitu situasi kondusif untuk berpromosi. Dosen komunikasi saya pernah memberikan nasihat unik. Menurut beliau, bayangkan di sebuah ruangan yang penuh sesak dengan orang. Dan semua orang berbicara hiruk-pikuk. Ruangan akan sangat ribut, dan saat itu proses komunikasi akan sangat sulit karena kita harus bicara keras-keras. Menguras energi dan membuat tenggorokan lecet. Tapi, sebaliknya, kalau pada titik terendah, ketika semua orang diam. Lalu hanya satu orang berbicara. Mungkin orang itu cukup berbicara pelan saja, tapi semua orang akan mendengar dan menyimak. Semua atensi ditujukan pada pembicara. Komunikasi berjalan lancar. Jadi, kalau Anda berada di titik terendah, jangan putus asa. Manfaatkan! -- Salam, Disclaimer : The information contained in this communication is intended solely for the use of the individual or entity to whom it is addressed and others authorized to receive it. It may contain confidential or legally privileged information. If you are not the intended recipient you are hereby notified that any disclosure, copying, distribution or taking any action in reliance on the contents of this information is strictly prohibited and may be unlawful. Unless otherwise specifically stated by the sender, any documents or views presented are solely those of the sender and do not constitute official documents or views of PT Bank Niaga Tbk. If you have received this communication in error, please notify us immediately by responding to [EMAIL PROTECTED] and then delete it from your system. PT Bank Niaga Tbk is neither liable for the proper and complete transmission of the information contained in this communication nor for any delay in its receipt. __._,_.___
SPONSORED LINKS
YAHOO! GROUPS LINKS
|
- Re: [obrolan-bandar] Re: BLTA...comment for Mr. Oentoeng Dhany S