http://www.youtube.com/watch?v=7VJ8SAKwaSE
   
  Rabu, 22 Agt 2007
Mantan Panglima GAM di Tengah Ancaman Deportasi di Malaysia 

Cari Makan dengan Menjadi Penjaga Kedai Jamu 

Setelah pemerintah Malaysia memberikan perpanjangan izin tinggal setahun lagi, 
mantan panglima dan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Malaysia berada dalam 
pilihan yang sulit. Apa antisipasi mereka jika para eksponen separatis itu 
dinyatakan sebagai pendatang haram?

HAFID A. RAHMAN, Kuala Lumpur

BELASAN tahun lalu Hisyam -demikian dia dipanggil- termasuk salah seorang yang 
paling diburu aparat keamanan Indonesia. Sebagai tokoh Gerakan Aceh Merdeka 
(GAM) yang masuk kategori the most wanted, kepalanya bahkan pernah dihargai Rp 
25 juta. 

"Saya dulu adalah panglima Daerah Aceh Utara. Dulu nama saya masuk daftar orang 
yang paling diburu ABRI (sekarang TNI, Red)," kata Hisyam kepada Jawa Pos yang 
menemui di sebuah kafe kawasan Chow Kit, Kuala Lumpur.

Ditemani rokok dan segelas teh tarik, Hisyam menceritakan bagaimana dirinya 
terpanggil berperang untuk Aceh Merdeka hingga "terdampar" di Malaysia dengan 
status tanpa kewarganegaraan (stateless). 

Hisyam adalah satu di antara ribuan anggota GAM yang hingga sekarang bertahan 
tinggal dengan status stateless di Malaysia. Meski GAM dan pemerintah RI sudah 
menandatangani perjanjian Helsinki dan mengakhiri konflik Aceh, para pelarian 
politik itu tetap memilih tinggal di negeri jiran. Pemerintah Malaysia akhirnya 
memutuskan memperpanjang tenggat setahun lagi bagi mereka untuk kembali ke 
tanah air.

"Sampai kapan pun, saya tak bisa menerima perjanjian Helsinki. Perjanjian itu 
mengingkari garis perjuangan," ujar Hisyam yang sudah 13 tahun menetap di 
Malaysia. "Tujuan perjuangan kami hanya satu. Yaitu, Aceh merdeka," tegasnya.


Hisyam yang kini berusia 44 tahun mengatakan bergabung dengan pasukan separatis 
sejak 1988. Saat berusia 25 tahun, jiwanya bergolak melihat kondisi rakyat 
Aceh. Padahal, provinsi di ujung barat Indonesia itu memiliki potensi alam yang 
luar biasa. 

"Saya merasa Aceh berhak merdeka. Sebab, kami ada wilayah, ada rakyat, dan juga 
tentara. Itu sudah memenuhi syarat-syarat untuk membentuk sebuah negara," 
tuturnya.

Lelaki berkulit gelap itu sebetulnya berasal dari Aceh Timur. Namun, dalam 
kelompoknya, dia ditugaskan bertempur di wilayah Aceh Utara. Setelah beberapa 
tahun bergerilya di hutan, Hisyam dipercaya untuk memimpin pasukan. Dia 
dijadikan salah seorang panglima daerah yang membawahkan 30 anak buah.

"Selama bertahun-tahun kami hampir tak pernah keluar dari hutan. Sampai-sampai 
muka saya begini," kata Hisyam sambil menunjukkan foto kartu anggota GAM yang 
disimpan dalam dompetnya.

Pejuang harus rela berkorban. Semangat itu juga yang dipegang teguh pria yang 
kini menetap di Kuala Lumpur tersebut. Saking lamanya tinggal di hutan, dia 
rela menceraikan istri. Dia juga harus kehilangan saudara kandung karena 
tertembak timah panas anggota TNI.

"Saya khawatir istri saya mengganggu perjuangan. Adik saya juga tewas dalam 
pertempuran. Dia juga panglima. Rumah saya hancur karena dibakar. Saya tak 
punya apa-apa," ungkapnya.

Hidup sebatang kara di hutan membuat tekad Hisyam semakin bulat. Dalam berbagai 
operasi keamanan yang dilakukan TNI, dia berhasil lolos dari maut. Namun, 30 
orang anak buahnya tewas dalam pertempuran. Karena itu, Hisyam mulai berpikir 
untuk menyelamatkan diri. Dia merancang kabur dari Aceh ke negara lain.

"Pasukan habis, senjata sudah tidak ada. Bagaimana saya harus berjuang. Saya 
tak ada sokongan. Akhirnya saya memilih kabur ke Malaysia. Sebab, banyak tokoh 
GAM di sana," tuturnya. 

Pada 1994, Hisyam berhasil menyelinap secara ilegal ke negeri jiran dengan 
menggunakan perahu. "Kami ada penghubung yang memuluskan pelarian ke Malaysia. 
Karena itu, saya tak susah datang ke sini," ujarnya.

Setiba di Malaysia, dia dibawa sang penghubung ke wilayah Gombak, Negara Bagian 
Selangor. Menurut Hisyam, kawasan itu tak sekadar wilayah berkumpulnya anggota 
GAM. Sebab, di sana para pelarian merekrut anggota baru dan menggembleng mereka 
untuk diterjunkan ke Aceh.

"Tokoh GAM waktu itu sangat banyak di sini. Ada Muzakkir Manaf (panglima 
tertinggi GAM, Red), Sofyan Dawood (juru bicara GAM), dan Ishaq Dawood. Di 
Gombak, kami memiliki semacam markas penggemblengan anggota GAM. Mereka yang 
sudah siap tempur dikembalikan ke Aceh," ungkapnya.

Karena itu, lanjut Hisyam, keputusannya ke Malaysia tak sekadar untuk 
menyelamatkan diri. Di negara tetangga Indonesia itu para aktivis separatis 
juga terus menyusun kekuatan untuk membentuk pasukan separatis.

Ketika Malaysia gencar melakukan operasi untuk memulangkan para pendatang haram 
pada 1998, pelarian Aceh terkena getahnya. Termasuk Hisyam. Dalam sebuah 
operasi, dia diperiksa polisi. Karena tak punya dokumen imigrasi, dia dipenjara 
dan akhirnya dikembalikan ke Indonesia. 

Menurut Hisyam, saat yang sama ratusan anggota GAM juga tertangkap. Namun, 
sebagian pelarian Aceh sempat melawan polisi Malaysia. Mereka ngotot menolak 
dipulangkan ke Indonesia. Akibat bentrok fisik, sedikitnya 24 nyawa melayang 
dan puluhan lagi luka-luka. Peristiwa itu dikenang sebagai Tragedi Semenyih.

Hisyam ditangkap di Chow Kit. Dia kemudian dikirim ke Surabaya. "Selama 20 hari 
saya di Surabaya. Tak ada baju ganti, tak ada kenalan, tak ada saudara. Setiap 
bertemu dengan orang, saya dikira gila. Sebab, saya tak pernah ganti baju dan 
tidur di emperan toko," tuturnya.

Secara tak sengaja, dia bertemu dengan orang Aceh di Surabaya. Teman satu 
daerah itu lantas membantu Hisyam untuk kembali ke Malaysia. "Kebetulan orang 
Aceh itu punya teman yang bisa mengantar ke Malaysia dengan kapal. Akhirnya 
saya kembali ke Malaysia," ujarnya.

Dengan pengalaman pernah dibuang ke Surabaya itu, dia tak gentar jika nanti 
kembali ditangkap pemerintah Malaysia. "Saya tak mau lagi tinggal di Indonesia 
selama Aceh belum merdeka." 

Hisyam mulai menata kehidupannya. Dia mencari kerja sebagai penjaga toko kedai 
jamu di Chow Kit. Pekerjaan itulah yang hingga sekarang menghidupinya. Dia juga 
kembali menikah untuk kali kedua. Wanita tambatan hatinya itu mantan teman 
seperjuangan Hisyam dalam gerakan separatis.

Tak lama setelah dia kembali ke Malaysia, pemerintah Kerajaan Malaysia dan PBB 
menerbitkan kartu UNHCR (lembaga PBB yang mengurusi pengungsi) kepada para 
pengungsi Aceh. Kartu tersebut sebagai pengganti paspor dan izin tinggal. Sejak 
memiliki kartu itu, Hisyam tak bisa ditangkap meski terjaring razia penduduk 
ilegal.

Saat ditanya apa persiapannya saat izin tinggal kartu UNHCR habis tahun depan, 
Hisyam menyatakan tak terlalu khawatir.

"Itu urusan nanti. Saya tak mau memikirkan itu. Yang pasti, meski masa berlaku 
kartu saya nanti habis, saya tetap tak ingin kembali ke Indonesia. Saya lebih 
baik tidak punya kewarganegaraan daripada kembali ke Indonesia," ucapnya.

Bahkan, tutur Hisyam, saat ini dirinya kembali menyusun kekuatan untuk 
melepaskan Aceh dari Indonesia. Namun, dia enggan menjelaskan bagaimana 
upayanya itu. "Kalau kekuatan, tak mungkin saya beberkan. Saya harus 
menyembunyikannya, " katanya. (*) 

------------ --------- --------- ---
   
   
   
   
   
   

       
---------------------------------
Building a website is a piece of cake. 
Yahoo! Small Business gives you all the tools to get online.

Kirim email ke