Memang CBG belum difahami benar. Pandangan sejawat ttg CBG berbasis pengalaman selama ini yg tdk efisien. Sayangnya kebanyakan sejawat tdk mau belajar ttg CBG Dan kapitasi yg akan menjadi penentu nasibnya mulai 2014 kedepan.
Tapi, harus juga diakui metoda pentarifan CBG oleh Konsultan LN sangat tertutup - hasilnya dpt dipastikan menimbulkan banyak masalah. Tim NCC di Kemenkes harus berani buka2an sebelum CBG diterapkan th 2014. Akan ada Dana sekitar RP 20 Triliun yg akan mengalir melalui CBG Dialog intensif kedua pihak harus segera dilakukan. Hasbullah Thabrany Center for Health Economics and Policy Universitas Indonesia, Depok, Indonesia -----Original Message----- From: "Billy N." <bi...@mediator.web.id> Sender: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com Date: Tue, 30 Jul 2013 21:23:36 Reply-To: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com Subject: [des-kes] Fwd: Dokter Keluhkan Penerapan Sistem INA CBGs Software & algoritma INA CBGs buatan asing, memangnya putra bangsa Indonesia nggak bisa buat? Cara menghitungnya 'rahasia', nggak heran banyak dokter & RS yang menebak-nebak & coba mengakali supaya nggak tekor pembayarannya. Pasien jadi korban, standar terapi diabaikan demi mencegah rugi. Dokter sepertinya kurang banyak dilibatkan dalam penentuan besaran tarifnya, nggak heran jadi korban terus. Sebaiknya INA CBGs dibuat software-nya oleh putra bangsa Indonesia, dengan sistem perhitungan & tarif yang transparan, jika perlu zonasi dibuat zonasi, nggak ada diskriminasi berdasar kelas RS, & lebih banyak melibatkan dokter dalam penentuannya. Di sisi lain, dokter & RS pun harus membuat & bekerja sesuai pola kerja klinis, SOP, clinical pathway atau apapun namanya, nggak bisa lagi seenaknya. Dokter pun harus aktif dalam semua aspek persiapan JKN, jangan pasif/menunggu & jadi 'korban' lalu mengomel. Kalau ini dibiarkan, sekarang di DKI, besok di seluruh Indonesia. Di layanan dasar/primer, sama juga. Kapitasinya harus benar, jangan sampai dokter akhirnya menerima uang per pasien setara tarif parkir sementara risikonya besar. --- http://health.kompas.com/read/2013/07/30/1738250/Dokter.Keluhkan.Penerapan.Sistem.INA.CBGs Dokter Keluhkan Penerapan Sistem INA CBGs Puluhan dokter yang tergabung dalam Asosiasi Dokter Fungsional Indonesia pada Selasa (30/7/2013) siang menyambangi Balaikota Jakarta untuk menemui Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Mereka meminta Pemprov DKI Jakarta mengevaluasi kembali tarif Indonesia Case Based Groups (INA CBG's) dan kembali menggunakan pola PPE (Paket Pelayanan Esensial)- menggunakan sistem reimburse. Iaman Gatina Barus, anggota ADFI yang juga dokter spesialis kandungan dari RSUD Koja menyatakan, dalam penerapan sistem INA CBGs pemerintah hanya membayar sesuai paket pelayanan yang telah ditentukan. Apabila ada selisih dalam pembayaran, maka dokter juga akan menanggungnya. "Kita sebagai pelaksana yang langsung memegang pasien, menjadi ikut terpengaruh. Kita kan selama ini memakai aturan Jamkesda, yang selama ini tidak ada masalah," kata Iaman, di Balaikota Jakarta, Selasa (30/7/2013). Melalui penerapan INA CBGs itu pula, Iaman mengkhawatirkan, rumah sakit akan bangkrut karena pemenuhan pelayanan dan biaya yang tidak maksimal. Terlebih, saat ini, Jakarta juga telah menerapkan Kartu Jakarta Sehat (KJS). Selain itu, belum adanya Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur INA CBGs, kata dia, menjadi salah satu permasalahan, sehingga muncul dugaan kalau penerapan INA CBGs dipaksakan. Dalam penerapan INA CBGs, menurutnya, tidak dapat mengcover secara keseluruhan pelayanan kesehatan yang digunakan dokter di lapangan kepada pasien. Apabila Kementerian Kesehatan bersama provinsi terus memaksakan untuk menerapkan sistem INA CBGs, maka ia menjamin akan menurunkan kualitas pelayanan dokter kepada pasien. "Jasa tarif pelayanan dokter spesialis di poliklinik itu cuma Rp 10.000. Dibayar ke kita sudah dipotong pajak. Jadi, kita hanya menerima Rp 8.500 tiap melayani satu pasien," kata Iaman. Tarif premi INA CBG's yang diberlakukan di Jakarta sebesar Rp 23.000, sedangkan premi nasional sebesar Rp 19.000. Kepala Dinas Kesehatan DKI Dien Emmawati mengakui kalau besaran premi di Ibu Kota lebih besar apabila dibandingkan dengan premi nasional. Kendati demikian, menurutnya, hal itu lebih bagus sehingga kebutuhan pasien bisa dipenuhi melalui premi itu. DKI Jakarta merupakan proyek percontohan pemerintah pusat untuk menerapkan sistem tersebut.