RS dengan manajemen seperti M*rpat* harus berjualan 'tiket' murah
seperti A*ras*a, pasti kesulitan. Sepertinya untuk melayani JKN
terutama untuk yang PBI hanya bisa dilakukan RS milik pemerintah
(pusat/daerah) atau swasta buat RS khusus untuk JKN, yang betul-betul
'no frills' seperti LCC. Tentunya setelah Ina-CBG diperbaiki. Kalau
bisa beda tarif untuk kelas RS yang berbeda tapi pelayanan yang sama
dihapus saja.
Perbandingan dokter & masyarakat untuk tingkat primer jangan
dipaksakan 1:2500 karena akan menimbulkan rendahnya penghasilan tenaga
kesehatan. Perhitungkan juga masyarakat yang kemungkinan besar akan
nggak pakai fasilitas JKN tetapi membayar iuran. Juga lihat kondisi
geografis di luar Jawa, kalau dipaksakan sesuai rasio maka wilayah
kerja dokter bisa terlalu luas & nggak efektif.
JKN harus ada upaya mengikutkan asuransi kesehatan swasta/BUMN sebagai
penjamin sekunder untuk hal-hal tambahan yang diinginkan pasien &
masyarakat yang ingin kenyamanan/kemewahan dengan membayar tambahannya
sendiri. Kalau nggak diikutkan, maka nanti JKN akan terkesan sebagai
jamkesmas jilid 2, hanya untuk orang miskin & orang yang nggak miskin
jadi tambahan donatur.
Layanan BPJS kesehatan harus 1 kelas. Untuk yang mau naik kelas
perawatan/pelayanan cukup sediakan sistem/mekanismenya tapi
pelaksanaannya biar pihak lain yang kerjakan. Untuk peserta Askes
sosial mungkin bisa dialihkan ke BUMN asuransi kesehatan.
---

http://www.neraca.co.id/harian/article/30394/DPR.Dorong.BPJS.Kesehatan.Tuntaskan.Masalah.Pembiayaan
DPR Dorong BPJS Kesehatan Tuntaskan Masalah Pembiayaan: Dinilai Terlalu Kecil

Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan memiliki waktu
kurang dari setengah tahun lagi untuk segera berjalan pada 1 Januari
2014 mendatang, sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011. Beberapa hal
harus menjadi perhatian agar BPJS Kesehatan ini dapat berjalan sesuai
rencana.
Anggota V Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna
mengatakan telah melakukan pemeriksaan beberapa kali kepada BPJS
Kesehatan untuk memastikan efektivitas pelaksanaan kegiatan ini. Salah
satu masalah yang mencuat dan belum terselesaikan adalah tentang
pembiayaan. “Soal pendanaan, yang ter-cover itu baru Rp19.500, padahal
ada masalah di situ. Iurannya kecil sekali. Kalau biayanya kurang yang
mengeluh rumah sakit,” jelas Agung kepada Neraca.
Masalah pembiayaan yang terlalu kecil ini bisa menjadi penghambat
efektivitas BPJS Kesehatan, kata Agung. Contoh konkretnya sudah
terlihat di DKI Jakarta yang menerapkan program Kartu Jakarta Sehat
(KJS). Banyak rumah sakit yang ternyata menolak pasien karena tidak
mampu menangani pasien dengan biaya sekecil itu. Ini yang menjadi
perhatian pemeriksaan BPK. BPK menyarankan dilakukan penyesuaian.
Namun begitu, Agung enggan menyebut berapa jumlah iuran yang
sepantasnya dan menjadikan BPJS Kesehatan berjalan efektif.
“BPK tidak secara khusus memberikan saran berapa jumlahnya, tapi kami
meminta mereka melakukan penyesuaian, dan yang lama itu kurang,” ujar
Agung. BPK juga menggarisbawahi pentingnya akuntabilitas dalam BPJS
Kesehatan. Sejauh ini, BPK selalu melakukan pemeriksaan berdasarkan
regulasi yang ada. Terbatasnya regulasi menjadikan BPK kesulitan
melakukan pemeriksaan karena tidak ada pembanding aspek normatifnya.
“Akuntabilitas itu jadi persoalan. Akuntabilitas tidak bisa bergantung
pribadi, tapi sistem. Regulasi harus lengkap didukung 8 Peraturan
Pemerintah, 7 Keputusan Presiden, dan 8 Peraturan Presiden. Tidak
mungkin BPJS jalan kalau tidak ada regulasinya. Jangan minta tanggung
jawab kalau standard tanggung jawabnya tidak ada,” tegas Agung.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal
Helmy Faisal Zaini mempertanyakan apakah kebijakan BPJS Kesehatan ini
mampu mengakselerasi daerah tertinggal, sementara di beberapa wilayah
tertinggal angka kematian ibu melahirkan meningkat berlipat-lipat.
BPJS Kesehatan perlu bukan hanya tenaga kesehatan yang berkompetensi,
tetapi juga sarana dan prasaran bagi pelayanan kesehatan agar mampu
melayani masyarakat secara optimal di seluruh wilayah, termasuk daerah
tertinggal.
“Idealnya perbandingan dokter itu 1:2.500. Tapi perlu diperhatikan
penyebarannya. Sangat mungkin, satu dokter di Jawa melayani 500 sampai
1.000 orang, tetapi di luar Jawa satu dokter bisa melayani 5.000
sampai 10.000 orang. Ini perlu diperhatikan,” kata Faisal.
Problematika tenaga kesehatan terutama dokter, bidan, dan perawat di
Indonesia adalah jumlah yang tidak memadai dan distribusi yang tidak
merata. Mayoritas tenaga kesehatan enggan ditempatkan di daerah
tertinggal. Padahal BPJS Kesehatan harus melayani seluruh penduduk
Indonesia, termasuk yang tinggal di daerah tertinggal.
Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU) Said Aqil mengingatkan hal serupa.
“Tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu ekonomi, pendidikan, dan
kesehatan. Masyarakat akan bangga jadi Bangsa Indonesia. Sekarang
mereka seakan-akan tidak punya pemimpin, tidak punya pemerintah, tidak
terlindungi, padahal negara punya kewajiban melindungi. Pusat-pusat
kemiskinan justru berada di tepi kekayaan alam, seperti di pinggir
hutan, pinggir laut, dan pinggir tambang,” kata Aqil.
Untuk diketahui, data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012
menunjukkan bahwa jumlah rumah sakit di Indonesia saat sebanyak 1.721
rumah sakit dengan jumlah tempat tidur sebanyak 170.656 buah. Rasio
tempat tidur sebesar 70,76 per 100 ribu penduduk. Sementara jumlah
dokter umum di Indonesia sebanyak 32.492 dokter dengan rasio 13,47
dokter per 100 ribu penduduk.


------------------------------------

Archives terdapat di http://www.yahoogroups.com/group/desentralisasi-kesehatan
Situs web terkait http://www.desentralisasi-kesehatan.net


Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/desentralisasi-kesehatan/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/desentralisasi-kesehatan/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    desentralisasi-kesehatan-dig...@yahoogroups.com 
    desentralisasi-kesehatan-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    desentralisasi-kesehatan-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke