halo rekan-rekan Ketum IAI memang beberapa kali membuat pernyataan yang kontroversial terkait dokter. Sebaiknya ketum IDI segera membereskan hal ini & jangan sampai menimbulkan masalah antar profesi kesehatan. Ini berita yang ada di arsip milis: http://groups.yahoo.com/group/dokter-ina/message/12478 JKN/SJSN kesehatan nggak akan sukses kalau semua tenaga kesehatan nggak bisa kerja sama & main 'preman-premanan' seperti 'ini bidang saya, profesi lain nggak boleh sentuh'. Lalu main lobi ke pembuat peraturan perundangan/kebijakan untuk bisa menjegal profesi lain, itu sangat nggak etis. Ketum IAI sepertinya coba membentuk opini publik dengan pemahaman yang sangat salah. Mana ada JKN/SJSN kesehatan memakai konsep 'out of pocket'? IDI harus perjuangkan revisi PP no.51/2009 yang masih pakai dasar hukum UU no.23/1992. Masukkan dokter sebagai tenaga kefarmasian terbatas karena memang dokter kompeten secara terbatas dalam bidang tersebut, mendapat mata kuliah farmasi kedokteran & farmakologi. Kalau dirasa kurang, perlu ikut pelatihan tambahan untuk dispensing (hanya menyerahkan tanpa meracik), silakan selama itu masuk akal. Misal dilatih soal manajemen & penyimpanan obat yang benar, dst. Harga obat mahal/murah bukan tergantung dokter, tapi ditentukan oleh pemerintah & pasar. Malah semakin banyak orang yang terlibat dalam distribusi tentu secara ekonomi akan jadi lebih mahal karena semua yang terlibat harus dibayar. Nanti JKN/SJSN kesehatan kan pakai formularium nasional yang 100% generik & memakai e-katalog, mau lebih mahal bagaimana caranya karena semua orang bisa tau harganya dengan mudah. Kita bisa kok buat solusi yang menguntungkan untuk semua. Misal, dokter boleh dispensing (tanpa meracik) asal obat dibeli dari apotek. Jika yang jadi alasan adalah pengawasan jadi kurang, ya nggak perlu juga diwajibkan pelibatan apoteker agar terawasi. Nggak perlu bunuh nyamuk pakai meriam. Gunakan solusi pencatatan, pelaporan. & audit. Apalagi sekarang sudah era IT, lebih mudah lagi. Masalah mudah dibereskan kalau kita mau berpikir kreatif, nggak membatasi diri & nggak punya konflik kepentingan. Jangan karena para pengurus IAI punya 1 apotek di perkotaan lalu harus dibuat aturan yang sama & mengatur dari Sabang sampai Merauke, sampai ke daerah sangat terpencil yang apoteker nggak bersedia sampai ke sana, lalu ratusan juta rakyat jadi korban. Kalau mau dipertanyakan, lulusan 'terbaik' apoteker ada di mana? Silakan cek ke kampus-kampus papan atas penghasil apoteker ke mana para lulusan mereka? Sebagian besar lari ke industri farmasi, maunya yang PMA atau PMDN besar. Kalau yang tertarik ke klinis biasanya ingin kerja di RS besar agar punya karir. Siapa yang isi posisi apoteker penanggung jawab apotek? Saya nggak perlu jawab, silakan saja cek sendiri. Mencarikan kerja buat sejawatnya yang menganggur nggak perlu sampai membuat susah rakyat. salam Billy ---
http://www.jpnn.com/read/2013/06/26/178797/Tanpa-Apoteker,-Sistem-Jaminan-Sosial-Tak-akan-Sukses- Tanpa Apoteker, Sistem Jaminan Sosial Tak akan Sukses Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) akan gagal jika tidak melibatkan apoteker. Sebab akan mendongkrak biaya obat hingga 40 persen. Itu sebabnya Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) berharap pemerintah mengajak pihaknya terlibat dalam sistem agar masyarakat tidak terbebani harga obat yang mahal. Aspirasi ini disampaikan Ketua IAI Dani Pratomo saat rapat dengar pendapat umum Komisi IX DPR RI, Rabu (26/6). Dani yang mewakili 45 ribu apoteker di seluruh Indonesia sangat berharap kepada anggota DPR bisa menegur pemerintah karena tidak konsisten melaksanakan aturan. “Kami ingin proses penegakan hukum tentang UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Percuma kalau Indonesia mempunyai begitu banyak lulusan-lulusan apoteker terbaik namun tidak dimanfaatkan ketika momentum BPJS digelar,” keluh Dani. Sikap ini disampaikan karena pemerintah telah menelurkan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Namun dalam beleid tersebut, jasa apoteker tidak masuk dalam sistem reimbursement klaim pelayanan kesehatan. Hanya terdapat harga obat, alat medis dan jasa dokter saja. “Padahal dalam UU Kesehatan pasal 108 apoteker adalah salah satu tenaga kesehatan. Harusnya dalam pelaksanaan UU, apoteker masuk ke dalam sistem. Artinya pemerintah tidak konsiten melaksanakan program ini,” ungkapnya. Dani melanjutkan, tujuan BPJS adalah agar masyarakat bisa menjangkau harga obat. Jika hanya mengandalkan dokter dalam menentukan jenis obat, maka belum tentu tercipta harga yang ekonomis. “Dokter bukan ahli di bidang obat-obatan. Pelayanan kesehatan menggunakan sistem out of pocket, dimana pasien membayar langsung. Karena dokter tidak pernah terpikir farmako ekonomi, maka pasien bisa menerima obat yang sangat mahal dari dokter, ” ungkapnya. Ia mencontohkan, obat-obatan yang memiliki harga Rp 300-400 memiliki kualitas yang sama dengan harga obat Rp 4.000-5000. Namun karena pengetahuan obat dari dokter terbatas, maka pasien bisa diberikan harga yang lebih mahal. Akibatnya, banyak rumah sakit yang baru-baru ini mengajukan klaim obat pasien yang sangat mahal sekali. “Karena itu, ditengah persaingan industri farmasi yang ketat dibutuhkan peran apoteker yang bisa membantu memberikan jalan tengah agar obat bisa efektif dan ekonomis,” tandasnya. (Esy/jpnn) ------------------------------------ Archives terdapat di http://www.yahoogroups.com/group/desentralisasi-kesehatan Situs web terkait http://www.desentralisasi-kesehatan.net Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/desentralisasi-kesehatan/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/desentralisasi-kesehatan/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: desentralisasi-kesehatan-dig...@yahoogroups.com desentralisasi-kesehatan-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: desentralisasi-kesehatan-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/