Budidaya padi secara
konvensional yang dilakukan oleh para petani yang sekaligus juga pemilik lahan
saat ini bila dihitung memang tidak memberikan kecukupan untuk hidup apalagi
secara hitungan bisnis akan kurang menjanjikan. Perhitungan kasar atau
sederhananya untuk kepemilikan lahan petani setempat diumumnya banyak daerah
(kecuali seperti di Karawang atau Subang utara) yang rata-rata hanya tinggal 
sekitar
¼ hektar (2.500 m2) hasil yang bisa diperoleh rata-rata adalah
sekitar 1,25ton GKP (Gabah Kering Panen) sebelum dipotong bagian pemanen/buruh
panen atau sekitar 1,1ton setelah dipotong biaya pemanen, dengan kondisi
produktivitas musim tanam berikutnya berpotensi menurun akibat tanah yang
semakin ‘sakit’. Pendapatan kotor petani bila gabahnya dijual dengan harga
rata-rata sekitar Rp. 2.800/kg (sewaktu panen raya bisa anjlok sampai menjadi
Rp. 2.300/kg, dan pada masa 2 bulan sebelum panen berikutnya bisa melonjak
menjadi Rp. 3.200/kg) adalah Rp. 3.080.000/Musim Tanam. Bila diasumsikan biaya
olah lahan (traktor/kerbau) untuk luas tersebut adalah Rp. 250.000, biaya tanam
adalah Rp. 150.000, pupuk kimia urea saja (pupuk terfavorit dan sesuai dengan
kebiasaan petani yang tidak mampu membeli pupuk TSP dan KCL) sebanyak 75kg
dengan harga di pasaran Rp. 1.800/kg atau biaya pupuknya adalah Rp. 135.000 dan
biaya obat-obatan diasumsikan Rp. 100.000 serta perawatan dilakukan sendiri
oleh petani maka pendapatannya setelah dipotong biaya-biaya ini menjadi Rp.
2.445.000/Musim Tanam atau selama 4 bulan. Bila diasumsikan juga kondisi
sawahnya bagus termasuk pengairannya sehingga bisa dilakukan 3 kali tanam dalam
setahun maka penghasilan rata-rata petani dari lahannya adalah Rp.
611.250/bulan. Bila sistem pengairannya sudah rusak sehingga menjadi sawah
tadah hujan yang hanya bisa ditanami satu atau dua kali saja selama setahun
maka penghasilan rata-rata perbulan dari sawahnya akan semakin menurun drastis.


========> ************* <========
Kenal dan ikuti langkah sukses para
pelaku bisnis agro Indonesia di:
DIREKTORI: http://tiny.cc/direktori
BERGABUNG: http://tiny.cc/formulir
SMS INFO: 0813-9832-9632
========> ************* <========
GABUNG DI MILIS: http://tiny.cc/milis


Dengan penghasilan sejumlah
sekian yang dihasilkan dari sawahnya maka tidak heran bila petani lebih memilih
menjual sawahnya yang diasumsikan seharga Rp. 15.000/m2  sehingga mendapatkan 
dana sebesar Rp.
37.500.000 dan bisa dibelikan 2 atau 3 unit sepeda motor untuk diomprengkan
jadi ojeg. Sawah yang terjual biasanya jatuh ke tangan orang kota sebagai 
investasi sehingga tidak terlalu
memikirkan hasilnya, dan bila ada kesempatan untuk menjualnya kembali dengan
kenaikan harga yang cukup tinggi maka akan segera menjualnya tidak peduli
apakah nantinya akan dijadikan tempat industri, perumahan atau apapun. Kondisi
di atas adalah untuk petani yang sekaligus pemilik lahan, untuk petani
penggarap yang hasil panennya harus dibagi dengan pemilik lahan tentu
penghasilannya akan lebih memprihatinkan lagi atau untuk petani penyewa lahan
yang harus mengeluarkan biaya sewa, demikian juga dengan profesi buruh tani
yang kalah gengsi dan kalah penghasilan dibandingkan dengan buruh bangunan.
Lambat laun memang profesi petani ‘layak’ untuk ditinggalkan karena tidak dapat
memberikan harapan untuk hidup secara layak, dan lahan-lahan produktif pun
segera berubah fungsi, dan kelanjutan ceritanya nanti???? Impor beras seperti
yang sering terjadi atau meluasnya kasus rawan pangan, na’udzubillah mindzalik.

 

Kemudian pertanyaannya
apakah benar lahan dengan luas sekian sudah tidak bisa ditingkatkan lagi
hasilnya sehingga dapat memberikan pendapatan yang layak? Tentu saja jawabannya
‘absolutely’ benar bila pola yang digunakan tetap menggunakan pola sebelumnya
yaitu sistem pertanian konvensional atau mengadopsi revolusi hijau : monokultur
(satu jenis komoditas), peningkatan input-input pertanian (air, pupuk kimia,
pestisida kimia, herbisida kimia, dll) tanpa memperhatikan keberlanjutannya. 
Lalu
adakah cara lain sebagai solusinya? Tentu saja tidak ada cara lain untuk keluar
dari kebuntuan ini kecuali dengan merubah pola bertani dan tidak ada pilihan
lain lagi selain beralih ke pertanian organik secara terintegrasi yang sejalan
dengan tuntunan agama. Untuk lahan sawah yang sudah ‘sembuh’ setelah beberapa
musim tanam melalui sistem pertanian organik ini akan memberikan hasil panen
yang berlipat. Misalkan untuk lahan ¼ ha, 500 m2 dijadikan kandang
itik dan kolam ikan serta di atas kolam ikan adalah rumah jamur maka lahan yang
tersisa untuk sawah adalah 2.000 m2. Pada pertanian SRI Organik yang
sudah stabil, lahan seluas 2.000 m2 dapat memberikan hasil sebanyak
2ton GKP, atau 1,8ton setelah dipotong biaya panen dan asumsi harga sama dengan
harga sebelumnya sehingga diperoleh hasil Rp. 5.040.000, apalagi bila sudah
mendapatkan pasar untuk komoditas organik maka pendapatan akan meningkat lagi.
Asumsi lainnya sama dan ada pengurangan biaya pupuk/obat-obatan sehingga 
pendapatan
petani setelah dipotong biaya-biaya menjadi Rp. 4.640.000/Musim Tanam atau
rata-rata Rp. 1.160.000/bulan dan produktivitas musim tanam selanjutnya masih
berpotensi mengalami kenaikan karena tanahnya semakin ‘sehat dan segar’. 
Pendapatan
lain yang bisa diperoleh adalah dari panen ikan/lele dalam waktu sekitar 40
harian, kemudian panen itik pedaging dalam waktu sekitar 2 bulan-an dan panen
harian dari jamur. Potensi hasil lainnya adalah dari pematang sawah yang
ditanami tanaman obat atau sayuran seperti kacang panjang dan lainnya. Bila
pola ini diterapkan secara benar dan konsisten dengan etos kerja yang tinggi 
tentunya
memberikan harapan tercukupinya kebutuhan hidup minimal petani secara layak.
Bisakah lahan dengan luas sekian memberikan penghasilan yang lebih bagi petani?
Tidak ada yang tidak mungkin, bila area tersebut memungkinkan atau bisa
dijadikan sebagai sentra perdagangan komoditas atau tempat pelatihan atau
tempat wisata tentu akan memberikan penghasilan tambahan bagi para petani. 
Pembahasan mengenai pertanian organik terintegrasi ini saya ulas juga dalam 
buku yang saya susun berjudul "Bertani Padi Organik Pola Tanam SRI" yang 
sinopsisnya bisa dibaca pada situs infoorganik[dot]com. Pertanyaan selanjutnya,
bagaimana agar pola ini dapat diterima dan diaplikasikan oleh para petani?
Disinilah peran para entrepreneur bidang agribisnis organik untuk melakukan
perubahan dan hanya melalui skema ‘Social Entrepreneurship’ tujuan ini
dapat dicapai. Bila aplikasi pertanian organik ini dimasa-masa awalnya 
semata-mata
dilakukan melalui skema Business atau Commercial Entrepreneurship maka akan
mengalami banyak benturan antara kepentingan merubah kultur sosial dan ekonomi
masyarakat petani dengan kepentingan mendapatkan profit sebanyak-banyaknya.
Dalam Business atau Commercial Entrepreneurship, kepentingan para investor
dalam mendapatkan laba secara cepat sesuai dengan yang direncanakan dalam
perencanaan usaha akan cenderung ‘menekan’ pelaku usaha dan selanjutnya pelaku
usaha harus menekan petani sebagai salah satu objek usaha. Tidak demikian
halnya dengan Social Entrepreneur yang merupakan ‘agen perubahan’ yang
menginginkan untuk mengubah dunia menjadi lebih baik dan idealnya secara 
berketahanan/sustainable.
Namun demikian, tidak juga berarti bahwa Social Entrepreneurship
mengenyampingkan samasekali masalah profit, tetapi fokusnya memang adalah
pencapaian dalam memberikan solusi terhadap masalah-masalah sosial dalam
masyarakat untuk menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik.

 

Untuk
mendorong masyarakat petani dalam peralihan dari sistem konvensional menuju
sistem pertanian organik terintegrasi memerlukan upaya yang tidak mudah dan
tidak sebentar atau harus secara bertahap. Acapkali apa yang diupayakan oleh
para pelaku yang terjun mendorong perubahan ini mengalami ketidakberhasilan
dimasa-masa awal yang memang lumrahnya sangat sulit karena harus merubah
berbagai hal. Berbagai kendala yang akan dihadapi mulai dari etos kerja
masyarakat petani yang rendah karena sudah terbiasa serba instan, pola pikir
yang sempit, usia tenaga kerja yang tidak produktif, ‘teror’ mental dari
masyarakat sekitar bahkan dari oknum aparat, faktor alam yang semakin tidak
menentu dan semakin rusak serta banyak hal lainnya, memerlukan kerja keras dan
kesabaran yang ekstra tinggi untuk secara perlahan-lahan diperbaiki dan 
dicarikan
solusinya. Tentu saja bila pelaksanaan peralihan sistem ini dilakukan dalam
kerangka Business atau Commercial Entrepreneurship akan sangat membebani
pelakunya karena goalnya adalah ‘profit, profit dan profit’ yang harus segera
bisa dicapai sedangkan untuk mencapainya diperlukan dahulu perubahan banyak hal
dalam masyarakatnya. Oleh karenanya untuk kondisi peralihan ini maka yang lebih
tepat untuk diterapkan adalah skema Social Entrepreneurship dengan goal
perubahan kultur sosial dan ekonomi masyarakat untuk menuju kepada kehidupan
yang lebih baik.

 

Utju SuiatnaPenulis buku "Bertani Padi Organik Pola Tanam SRI"'Meningkatkan 
Hasil Panen, Agar Terus Meningkat dan Meningkat Lagi'


Ganesha
Organic SRI/GO SRI




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke