Rekan2 Agromania

Disampikan indo mengenai tulisan "Peternak Tidak Harus Ngarit Lagi"
yang dimbil dari Majalah gatra online, [Lingkungan, Gatra Nomor 41 Beredar 
Kamis, 20 Agustus 2009] hari ini
barangkali ada manfaatnya

Untuk Rekan2 Agromania yang beragama Islam, saya ucapkan selamat Menunaikan 
Ibadah Shaum di bulan Ramadhan

salam baktos

riksanagara - dilembur pangumbaraan

=============================
BEKAL SUKSES BERBISNIS AGRO
Tersedia di: http://tiny.cc/kios
=============================
ABC CLUB: http://tiny.cc/formulir
BURSA: http://tiny.cc/bursa
KOPERASI: http://tiny.cc/agrokoperasi


Kusmayanto Kadiman berbagi cerita. "Pada saat musim kering, peternak tidak 
kurang akal. Mereka menyematkan kacamata hijau pada ternak agar mau makan 
rumput mati," tuturnya.

Mendengar cerita itu, hadirin kontan terbahak-bahak. "Ini betul terjadi," 
Kusmayanto, Menteri Negara Riset dan Teknologi, meyakinkan. Kusmayanto 
menyampaikan cerita itu ketika berdialog dalam rangka memperingati Hari 
Kebangkitan Teknologi Nasional ke-14 di Jakarta, 10 Agustus lalu.

Kejadian sapi berkacamata hijau itu terjadi di Cijangkar, Nyalindung, Sukabumi, 
Jawa Barat. Di situ, tiap kali masa panen jagung tiba, persediaan pakan pun 
berlimpah. Saking banyaknya, ternak yang dimiliki petani tidak sanggup 
menghabiskan hijauan segar itu. Oleh peternak, sebagian pakan itu kemudian 
disimpan sebagai pakan kering yang akan dimanfaatkan pada musim paceklik.

Tapi masalah muncul, lantaran ternak enggan memakan makanan kering. Itu 
sebabnya, untuk kamuflase, pada ternak itu dikenakan kacamata hijau.

Nah, agar ternak tidak perlu lagi memakai kacamata hijau, Badan Pengkajian dan 
Penerapan Teknologi (BPPT) punya cara lain. Yakni dengan teknologi ensilasi 
atau teknologi fermentasi anaerob (tanpa oksigen) yang memberikan kesempatan 
pada bakteri asam laktat (Lactobacillus sp) untuk memproduksi asam laktat 
organik.

Diah Asri Erowati, peneliti di Pusat Teknologi Lingkungan BPPT, menjelaskan 
bahwa dalam pembuatan silase konvensional, biasanya karbohidrat --dedak dan 
onggok-- dicampur-campur dengan hijauan yang dicincang. Nah, dengan metode 
baterai, karbohidrat tidak dicampur, melainkan ditempatkan di atas hijauan 
dalam drum plastik.

Caranya, rajangan tumbuhan hijau dimasukkan ke drum plastik hingga padat. Baru 
pada bagian atas ditambahkan karbohidrat dan ditutup rapat. Produk yang 
dihasilkan dari teknik ensilasi itu adalah silase.

Silase adalah awetan pakan ternak berbahan baku tumbuhan hijau, limbah 
pertanian, dan bahan pakan alami lainnya. Dengan kadar air tertentu, bahan itu 
dimasukkan ke sebuah wadah tertutup rapat kedap udara --biasa disebut silo.

Peneliti BPPT menggunakan drum plastik sebagai silo agar mudah 
dipindah-pindahkan dalam kondisi anaerob. Juga mudah untuk memadatkan cacahan 
hijauan sehingga satu drum sanggup menampung 100 kilogram. Metode baterai 
merupakan inovasi pada penerapan teknologi ensilasi, guna memanfaatkan 
karbohidrat berupa dedak dan onggok.

Dalam proses penyimpanan, silo dibalik, agar cairannya turun dan diserap 
karbohidrat. Dengan diserapnya air, proses fermentasi tidak akan berlanjut 
menjadi alkohol, karena pembentukan alkohol memerlukan air. Sehingga silasenya 
menjadi kering, wangi, dan manis. Dengan metode ini, secara teori, hijauan bisa 
tahan hingga tiga tahun.

Menurut Asri, karbohidrat penyerap air harus dipanen tiga bulan sekali. "Jika 
warnanya hitam-hitam, jangan diberikan pada ternak," katanya. Tanda-tanda hitam 
itu menunjukkan bahwa karbohidrat telah membusuk. "Tetapi ada yang sampai lima 
bulan tetap bagus. Mungkin tergantung mutu karbohidratnya," ia menambahkan.

Karbohidrat yang bagus itu bisa menjadi makanan tambahan atau konsentrat untuk 
ternak. Konsentrat adalah bahan makanan yang konsentrasi gizinya tinggi tetapi 
kandungan serat kasarnya relatif rendah dan mudah dicerna.

GATRA (Dok. GATRA)

Dalam proses pengawetan tersebut memang terjadi penurunan nilai gizi. "Yang 
namanya pengawetan pasti menurunkan nilai gizi," kata Asri. Namun ensilasi yang 
merupakan pengawetan basah hanya menurunkan sedikit kadar gizi hijauan, yakni 
5%. Ensilasi juga tidak menggunakan energi, sehingga terik ataupun tidak, tetap 
bisa diawetkan.

Bandingkan dengan pengawetan kering dengan penjemuran yang menurunkan kadar 
protein hingga 60%. Kelebihan lain silase adalah mengandung mikroba yang 
menguntungkan untuk pencernaan ternak karena bisa meningkatkan kinerja 
fili-fili usus dalam menyerap makanan. Sehingga ternak lebih gampang gemuk.

Dengan demikian, silase akan menguntungkan peternak. Setiap 22,2 kilogram 
silase sanggup mendongkrak satu kilogram berat badan ternak. Bandingkan dengan 
rumput lapangan segar yang memerlukan 27,3 kilogram. Dengan menggunakan drum 
ensilasi, peternak juga menghemat pengeluaran untuk pakan ternak.

"Ensilasi bisa menghemat hingga 100% dibandingkan dengan ngarit biasa. Dengan 
setiap hari ngarit, biaya per hari Rp 10.000 untuk per ekor sapi. Dengan 
silase, cukup Rp 5.000," ujar Asri.

Selain itu, juga meningkatkan kemampuan petani dalam memelihara sapi dalam 
kandang komunal. Dengan ngarit biasa, satu orang hanya sanggup memelihara 
maksimal tiga ekor sapi. Sedangkan dengan ensilasi, satu orang bisa memelihara 
20 ekor sapi.

Caranya dengan menabung makanan ketika panen raya dan menyimpannya dalam 
drum-drum ensilasi. Lagi pula, setelah habis, drum-drum ensilasi bisa diisi 
ulang seperti tabung elpiji atau galon air kemasan.

GATRA (Dok. GATRA)

Diah Asri berharap, perbankan mau membantu memodali petani untuk mengadakan 
drum-drum ensilasi. Satu drum harganya sekitar Rp 100.000. Dengan kredit Rp 3 
juta, petani bisa mengadakan 30 drum dengan kapasitas 3 ton silase. Cukup untuk 
pakan tiga ekor sapi selama dua bulan. Jika biaya produksi per kilogram silase 
Rp 300, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk pakan Rp 900.000 per dua bulan 
untuk tiga ekor sapi.

Jika diproduksi secara pabrikan, harga silase bisa Rp 400 per kilogram saat 
panen raya. Sedangkan di musim penghujan dan tidak panen raya, bisa Rp 600 per 
kilogram. Pada musim kering bisa lebih mahal lagi.

Dalam setahun, Indonesia memiliki tiga bulan yang sangat kering. "Dalam kondisi 
demikian, dengan harga Rp 1.200 per kilogram pun peternak mau," tutur Asri.

Jika diproduksi secara pabrikan, produksi 300 ton silase memerlukan 3.000 drum. 
Biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 4,5 milyar. "Itu cukup untuk 1.000 ekor sapi," 
katanya. Yang terpenting, petani harus memiliki drum sendiri, sehingga ketika 
habis, tinggal diisi ulang. Memang penyimpanan drum-drum itu memerlukan tempat, 
tapi bisa ditempatkan di pabrik dan dipungut biaya sewa.

Tentu pabrik itu berada di daerah-daerah sentra peternakan, yang sekaligus 
tersedia pertanian dengan tanaman jagung atau tebu. "Meskipun hijauan itu pada 
musim kering sulit didapat," katanya. Dengan tersedianya silase di pabrik, 
peternak tidak perlu lagi menyematkan kacamata hijau untuk memacu selera makan 
ternaknya. Sebab silase yang berbau wangi, manis, dan kesat itu sangat disukai 
ternak.

Berkat inovasinya, Asri mendapat penghargaan sebagai peneliti skema insentif 
ristek yang bisa diterapkan pada industri bidang ketahanan pangan.

Rohmat Haryadi
[Lingkungan, Gatra Nomor 41 Beredar Kamis, 20 Agustus 2009]

&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

Kirim email ke