ANALISIS EKONOMI
Koperasi sebagai Gerakan Pembebasan

Oleh FAISAL BASRI

Data terkini yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik menunjukkan penduduk miskin 
turun sebesar 2,43 juta jiwa. Namun, jumlah penduduk miskin tahun 2009 tak 
banyak berubah dibandingkan dengan 13 tahun lalu. Pada tahun 1996 jumlah 
penduduk miskin tercatat 34,5 juta atau 17,7 persen dari jumlah penduduk. Pada 
tahun 2009 turun menjadi 32,5 juta atau 14,2 persen.

Jika kita menggunakan patokan pengeluaran per kapita sehari sebesar 1 dollar AS 
atau sekitar Rp 10.200 (versi Bank Dunia), upaya memerangi kemiskinan di 
Indonesia terbukti paling majal. Selama kurun waktu 1996-2008, jumlah penduduk 
miskin hanya turun dari 7,8 persen menjadi 5,9 persen atau 190 basis poin (bp).

/_____//________//__________//_______/
INGIN GABUNG DI KOPERASI AGROMANIA?
KLIK: http://www.agrokop.co.cc
INFO: 0 8 1 1 1 8 5 9 2 9 (SMS Only)
/_____//________//__________//_______/


Bandingkan dengan Vietnam yang turun dari 23,6 persen menjadi 3 persen (2.060 
bp), China 1.030 bp, Kamboja 1.550 bp, Laos 2.910 bp, dan Filipina 790 bp. 
Malaysia dan Thailand tidak dimasukkan dalam perbandingan karena kemiskinan 
absolut di sana sudah hampir sirna.

Perlu diingat bahwa ukuran kemiskinan Badan Pusat Statistik adalah kemampuan 
untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dengan demikian, tak berarti bahwa yang berada 
di atas garis kemiskinan sudah hidup layak. Mayoritas mereka hanya berada 
sedikit di atas garis kemiskinan.

Bung Karno pernah berujar, "Tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia 
Merdeka." Hampir 65 tahun merdeka seharusnya waktu yang cukup untuk 
mengentaskan orang miskin.

Hampir dua pertiga penduduk miskin berada di pedesaan, sementara sebagian besar 
penduduk desa bertumpu pada sektor pertanian. Oleh karena itu, kita patut 
menduga bahwa ada masalah struktural di sektor pertanian dan mekanisme ekonomi 
di pedesaan yang membuat kita gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat pedesaan. 
Keadaan ini menjadi faktor pendorong terjadinya urbanisasi sehingga menjadi 
penyumbang utama kemiskinan di perkotaan.

Sudah saatnya kita lebih mengatasi kemiskinan struktural dari akar persoalan.

Tak seperti kaum buruh yang lebih terorganisasi, kaum petani (dan juga) nelayan 
sangat terfragmentasi. Organisasi petani tak mengakar serta lebih kerap 
terkooptasi oleh kekuatan politik dan kapitalis kota. Gerakan petani mandiri 
memang sudah mulai tumbuh, tetapi masih sangat sporadis.

Koperasi adalah wadah untuk mengorganisasikan kekuatan rakyat yang berserakan. 
Ini barangkali yang hilang dari perjalanan koperasi di Tanah Air. Koperasi 
bukan sekadar sosok bangun usaha, melainkan suatu gerakan untuk menghimpun 
kekuatan rakyat, terutama di pedesaan, untuk menghadapi kekuatan kapitalis yang 
menindas.

Gerakan koperasi ditantang untuk memperkokoh tiga pilar kekuatan ekonomi rakyat.

Pertama, meningkatkan produksi yang mengacu pada peningkatan produktivitas dan 
kemandirian. Belajar dari gerakan petani di Sumatera Barat, para petani 
mengembangkan sistem pertanian organik yang bertumpu pada potensi lokal. Dengan 
sentuhan teknologi tepat guna, produksi lambat laun meningkat dengan kualitas 
yang lebih baik. Sementara itu, ongkos produksi bisa ditekan. Lebih penting 
lagi, petani tak bergantung pada sarana produksi yang dihasilkan oleh industri 
yang berasal dari luar wilayah.

Kedua, membangun "serikat dagang rakyat". Petani tak boleh dibiarkan langsung 
menghadapi kekuatan kapitalis kota. Kekuatan kolektif petani niscaya akan 
mengangkat harga produksi pertanian sehingga nilai tambah hasil tani lebih 
banyak dinikmati oleh petani sendiri. Jaringan distribusi yang efisien juga 
akan menekan selisih harga jual di tingkat konsumen dan harga di tingkat petani.

Penegakan kedua pilar di atas belum tentu menjamin pengembangan dan penguatan 
sistem perekonomian desa. Jika pendapatan petani meningkat, tetapi tabungan 
mereka disimpan di bank komersial, dana akan mengalir ke kota. Perbankan 
nasional lebih suka menyalurkan dana masyarakat untuk kredit konsumsi dan 
proyek-proyek besar yang tak terkait dengan kepentingan mayoritas rakyat yang 
berada di pedesaan.

Lebih ironis lagi, perbankan nasional tak memberikan tempat bagi penabung 
kecil. Para penabung kecil dikenai ongkos administrasi yang lebih besar 
ketimbang bunga. Tabungan rakyat kecil lambat laun akan tergerus hingga nol dan 
akhirnya otomatis ditutup.

Kembali ke Sumatera Barat. Di beberapa kabupaten sudah bermunculan banyak 
"bank" rakyat berbadan hukum koperasi yang mereka namai Lembaga Keuangan Mikro 
Agribisnis (LKMA). Para pemegang sahamnya adalah petani sendiri. Setiap petani 
menyetor penyertaan saham sebesar Rp 100.000. Di daerah-daerah yang lebih 
makmur, setoran petani bisa mencapai Rp 400.000. Inilah cikal-bakal bank rakyat 
atau bank petani.

Langkah selanjutnya adalah mendorong LKMA membentuk LKMA-induk, semacam holding 
company, agar perputaran dana bisa kian meluas, melintasi kecamatan dan 
kabupaten/kota. Bahkan, suatu ketika nanti, melintasi provinsi.

Alangkah eloknya apabila pemerintah berinisiatif mendirikan bank pertanian 
sehingga bisa lebih cepat mengangkat nasib ratusan juta warga yang kehidupannya 
bertumpu pada sektor pertanian.

Bank pertanian ini bisa menyalurkan dana kepada LKMA atau lembaga keuangan 
sejenis karena lembaga-lembaga keuangan rakyat inilah yang paling tahu 
kebutuhan petani.

Koperasi kita, dengan semangat sebagaimana diembuskan oleh Bapak Koperasi, Bung 
Hatta, bisa jauh lebih unggul ketimbang Bank Grameen yang tersohor itu.

Selamat Hari Koperasi (12 Juli).

SUMBER: Kompas, Senin, 6 Juli 2009 | 03:46 WIB


Kirim email ke