Siaran Pers

Jakarta, 7 Juni 2009

MENYIKAPI PERTEMUAN TINGKAT MENTERI KELOMPOK CAIRNS KE-33 DI BALI
Neoliberal membonceng pertemuan Cairns Group untuk muluskan liberalisasi sektor 
pertanian

Belum lama ini pasangan capres-cawapres dari pemerintahan berkuasa menepis 
tuduhan bahwa dirinya menganut paham ekonomi neoliberal. Namun fakta berbicara 
lain, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dengan semangat menggebu mencoba 
menghidupkan kembali upaya liberalisasi sektor pertanian yang sempat terhenti 
dalam perundingan- perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Lewat 
pertemuan Cairns ke-33 yang diadakan di Bali 7-9 Juni, Mari dengan tegas 
menyatakan akan kembali menghidupkan kembali putaran Doha yang sempat mandek 
karena terjadi kemandekan dalam perundingan pertanian. Demikian paparan Henry 
Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), di Jakarta (7/6).

Inisiatif Indonesia untuk menyelenggarakan pertemuan Kelompok Cairns yang 
menyatakan perang terhadap proteksionisme, mengusung pengurangan subsidi dan 
meneruskan liberalisasi sektor pertanian nota bene adalah resep para ekonom 
neoliberal. Terlihat jelas dari sikap WTO yang menyokong penuh pertemuan itu. 
“Walaupun ditambah dengan embel-embel perdagangan adil, itu hanya sebatas 
jargon saja. Tidak masuk akal mewujudkan perdagangan yang adil dalam WTO, 
dimana pengambilan keputusannya tidak demokratis dan orientasinya sangat 
neoliberal,” jelas Henry.

Menurut Henry, liberalisasi pasar pertanian dalam prakteknya menindas petani 
kecil. Sebagai contoh, belum lama ini peternak susu menjerit karena industri 
pengolahan susu memilih menurunkan harga beli susu di tingkat petani karena 
harga susu di pasar dunia lebih murah. Kemudian para petani bawang di Brebes 
harus rela membuang hasil panennya, karena harga bawang jatuh diakibatkan 
datangnya bawang impor dari Filipina. Dan juga para petani tebu rakyat yang 
mengeluh turunnya harga pembelian pabrik gula karena membajirnya gula rafinasi 
impor. Dengan kata lain, kehidupan petani kecil ditentukan oleh segelintir 
spekulan yang bermain di pasar global. Satu-satunya pihak di Indonesia yang 
menikmati keuntungan dari pasar bebas adalah pengelola perkebunan. Dimana 
produk-produk perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan teh dengan 
bebas bisa memasuki negara-negara anggota WTO manapun. Hanya saja patut kita 
ingat bahwa produk-produk perkebunan tersebut dikelola
 oleh perusahaan-perusaha an besar, bukan oleh petani. Jadi, sangat jelas 
disini bahwa yang menikmati pasar bebas adalah perusahaan-perusaha an 
perkebunan bukan petani.

Henry juga memandang, liberalisasi pertanian adalah salah satu penyebab krisis 
pangan global. Apa yang akan dilakukan Kelompok Cairns dalam upaya menghidupkan 
kembali perundingan WTO tidak akan menjadi solusi bagi krisis global saat ini. 
“Orientasi ekspor dan pembukaan pasar produk pertanian adalah skema neoliberal, 
dan akan menghancurkan rakyat kecil,” tegas Henry.

Ditengarai, pertemuan Kelompok Cairns ke-33 di Bali hanya akan mendorong agenda 
Amerika Serikat (AS) untuk melanjutkan kembali putaran Doha. Pemerintah 
Indonesia harus mewaspadai dan bersikap lebih kritis terhadap tujuan ini. 
Karena AS adalah salah satu negara yang terbesar menyubsidi perusahaan 
transnasional di bidang pertanian, tercatat sekurangnya 58 milyar USD per tahun 
dikucurkan untuk subsidi via skema Overall Trade-distorting Domestic Support 
(OTDS) dan Green Box di dalam WTO. Hampir keseluruhan subsidi ini akan menjadi 
instrumen pelindung perusahaan transnasional di bidang pertanian dan akhirnya 
berujung pada dumping produk pertanian ke pasar internasional yang notabene 
terus berlangsung menghancurkan petani kecil dan pasar domestik. Hal ini 
menerangkan bahwa subsidi pertanian yang dilaksanakan di dalam mekanisme WTO, 
bukanlah perlindungan terhadap petani kecil, maupun pasar domestik. “Untuk itu, 
Pemerintah Indonesia harus menuntut agar WTO
 dikeluarkan dari pertanian, karena pertanian dan pangan bukan hanya sekadar 
komoditas ekonomi saja, namun menyangkut juga sistem sosial, budaya dan 
pemenuhan hak asasi manusia,” tegas Henry.

Terakhir, Henry menegaskan perang melawan proteksionisme yang akan menjadi 
pesan dalam pertemuan ini juga tidak substansial. Karena subsidi atau proteksi 
bukanlah musuh dalam kebijakan perekonomian. Esensinya tergantung kepada 
seberapa banyak subsidi atau proteksi tersebut diberikan, siapa yang 
mendapatkannya, dan apa yang diberikan olehnya. Subsidi yang dibayarkan kepada 
perusahaan transnasional di negara maju, yang berakhir pada dumping dan 
kehancuran kehidupan pertanian di negara miskin dan berkembang adalah buruk. 
Subsidi atau proteksi yang benar adalah yang diberikan kepada petani kecil 
untuk mendukung kegiatan ekonominya, menyokong pembangunan pedesaan, 
mempromosikan konservasi lahan pertanian, dan membangun pasar domestik. Hal ini 
harus menjadi catatan penting bagi pemerintah Indonesia untuk menegakkan 
kedaulatan pangan dan ekonomi kerakyatan, bukan neoliberalisme!

Narasumber:
Henry Saragih (Ketua Umum SPI) 0816 3144441
==========
SERIKAT PETANI INDONESIA (SPI)
Jl. Mampang Prapatan XIV, No.5 Jakarta Selatan 12790
Telp. (021)7991890     Fax. (021)7993426
www.spi.or.id

/_____//________//__________//__________/

PELUANG JADI MILYADER DI BIDANG AGRO !
MILIKI: (1). CD Direktori Pebisnis Agro Indonesia Eds. 2009-2010: Rp 275ribu,- 
(2). CD Daftar Permintaan dan Penawaran Agro Eds. SMS 2009-2010: Rp 220ribu,- 
Dua produk laris Agromania yang diluncurkan pertama kali di Agro Expo 2009 
bekerja sama dengan Wahyu Promocitra, Deptan, Kadin, Gapmmi, Ina, Ekonid, dll. 
Mencakup bidang Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Peternakan, Kehutanan, dan 
Agroindustri. Ongkos kirim/antar Rp 20ribu. Hub. 0 8 1 1 1 8 5 9 2 9 (SMS) atau 
Email ke: infoki...@yahoo.co.id atau datang langsung ke Sekretariat Agromania: 
Jl. Jambu No.53, Pejaten Barat 2, Jakarta Selatan. SELAMA PERSEDIAAN MASIH ADA!
/_____//________//__________//__________/
BERGABUNG: http://www.milisabc.co.cc

Kirim email ke