Dear all, Ada sebuah artikel dari milis sebelah, yang layak untuk jadi bahan renungan kita bersama; khususnya bagi rekan2 pemerhati masalah padi2an. Semoga bermanfaat. Salam. Pras.
KE MANA 6.750 VARIETAS PADI LENYAP? SABTU, 24 Januari 2009. Di pukul 14 di bilangan Kemang Raya, Jakarta Selatan itu, matahari seakan malu-malu. Awan berselang-seling gelap terang. Di daerah Kemang Utara A, saya menemui I. Luki Antara, di sebuah bangunan, di lantai dasar, tempat ia mendisplay beragam produk usahanya, yang berkait ke kebutuhan komoditi organik. Mulai dari beras organik, gula, garam organik, dan banyak ragam produk lainnya - -targetnya mencapai 1.000 item. Bila selama ini di pasaran jualan beras berkarung goni dan plastik, di sana beras berukuran 5 kg dimasukkan ke dalam plastik vakum, lalu dicemplungkan lagi ke dalam box karton, yang didesain apik, bisa dijinjing. Sekilas, jika menenteng kotak itu, orang tak akan paham isinya beras. Di deretan meja dipajang dalam kotak bambu unik, didalamnya ada beras enam macam, masing-masing setengah kilogram; beras merah, setengah merah, putih dengan macam jenis. Semuanya organik. Satu kotak dengan beragam beras itu dijual Rp 70 ribu. Buah tangan yang lain dari biasa. Kental Indonesia. Saya juga diperlihatkan aneka jenis padi, yang kini bersama pemerintah Bantul, Yogyarakarta, mulai dikembangkan di lahan yang sudah disiapkan, bebas pupuk kimia. Petani mulai giat menanam, karena harga beli pun lebih tinggi dari pada beras IR 64, misalnya. Konsumen kini di level tertentu mulai melirik beras organik. Saya terkesima, begitu diperlihatkan bahwa Indonesia ternyata memiliki beras langka. Sosok sebutir beras belang, merah dan putih. Tentunya bukan merah darah macam bendera Merah Putih, melainkan merah beras dan putih beras. Butirannya tampak halus. Sayangnya beras demikian belum bisa dibeli, karena baru dikembang-biakkan kembali. Padahal sangat Indonesia, unik. Anugerah Yang Maha Kuasa, bagi kekayaan ,genetic resouces alam Nusantara. Tak lama kemudian datang Helianti Hilman, 35 tahun. Ia direktur PT Kampoeng Kearifan Indonesia, perusahaan yang bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Bantul, Yogya ini. Melalui bendera usaha ini, kini, atas usahanya, sudah didapatkan 90 varietas padi asli Indonesia. Di antaranya jenis Jowo Melik, Cempo Merah, Menthik Susu, Menthik Wangi dan Rojolele Gebyok. Masing-masing beras memiliki kekhasan dan kekhususan. Cempo merah misalnya. Ia mengandung unsur selenium yang dapat mencegah timbulnya radikal bebas perusak membran. Baik untuk mencegah kanker dan penyakit degeratif lainnya. Kandungan karbohidrat lebih rendah dari beras putih, tetapi energinya lebih besar. Menurut riset International Rice Research Instutitute (IRRI), Manila, pada penghujung 1960, di Indonesia ini terdapat 7.000 jenis varietas padi. Kini di Balai Penelitian Padi di bawah Departemen Pertanian, hanya tinggal 250 jenis yang ada. Itu pun beberapa bibit dari 250 itu, sudah ada yang 10 tahun tidak ditanami. Padahal masa rentang usia produktif padi bisa disemai, atau masa dorma, hanyalah dua tahun saja. Itu artinya biar pun didokumentasikan mencapai 250 bibit, maka di lapangan dipastikan tak sampai demikian banyak. Sehingga langkah Helianti mengumpulkan 90 jenis padi, dapat dianggap terobosan besar. Apalagi kemudian ditanam dengan pola tradisional yang sehat tanpa pupuk kimiawi. Kita memang layak bertanya kepada pengelola negara ini. Khususnya di era Orde Baru dulu, yang melakukan program menyeragaman bibit padi, hanya memenuhi desakan FAO, badan pangan dunia, untuk meningkatkan volume produksi. Akibatnya diciptakan pula padi jenis baru yang hidup bergantung laksana narkoba ke pupuk kimia. Para pengembang bibit yang bertaut ke Multinasional Company, termasuk dalam urusan menyediakan pupuk, telah secara tak langung "memperkosa" kehidupan rakyat kebanyakan yang secara Ilahiah lahir di bumi yang berada di lintas khatulistiwa nan kaya. Sebuah alam yang dikaruniai Tuhan kekayaan tak terhingga. Baru bicara beras saja, Nauzubillah banyak jenisnya! Makanya tanda-tanda "penjajahan" dan"pembodohan" terhadap urusan padi itu hingga kini terus berjalan. Menurut sebuah sumber saya, Balai Penelitian Padi yang di bawah Departemen Pertanian itu, konon simbolnya saja milik negara. Tetapi sosok yang bekerja di sana, sangat menghamba ke perusahaan multinasional. Karenanya jika ada pameran yang berkait ke urusan padi, beras, yang punya stand besar memang itu ke itu saja: perusahaan multinasional. Kelompok tani macam Sang Hiyang Seri, teronggok di booth kecil di pojokan. Logika mengembangkan produk padi varietas baru, dengan dana mencapai Rp 1 triliun tiap tahun, di Departemen Pertanian, masih ke pola lama. Bukan mengembalikan dan mencari kekayaan yang 6.750 ribu jenis padi lagi itu, yang kini entah ke mana lenyapnya itu? ASpalagi memikirkan menumbuhkan makanan beras yang sehat. Padahal dipastikan aneka berasnya menjadi makanan pokok biji-bijian yang mampu menyehatkan jagad melalui pangan yang alami dari tanah di surga khatulistiwa ini. Saya tak habis pikir bila pada Desember 2007, misalnya Deptan bekerjama dengan pemerintah Cina mengembangkan bibit padi baru yang disilangkan, konon, dengan satu kacamata maksud: berproduksi lebih tinggi. Tetap saja upaya pencarian genetik lokal yang kaya dan lenyap itu hingga kini tak ada. Yang justeru hangat, lagi-lagi urusan riset padi "diam-diam" yang konon didukung oleh presiden SBY tahun lalu, yang ternyata tidak menghasilkan beras sebagaimana diharapkan. Logikanya kembali ke urusan bertanya. Sudah saatnya segenap anak bangsa bertanya, bertanya dengan sesungguhnya bertanya. Kemana hilangnya kekayaan genetik bangsa di padi? Siapa yang membuat hilang? Siapa yang harus bertanggung jawab? Mengapa negara juga tak kunjung kian sadar, bahwa pembodohan terhadap kekayaan bangsa ini sehari-hari terus menjadi-jadi? Aapakah masih punya nurani jika pejabat berkolusi dengan multinational company dalam pengadaan pangan nasional? Karenanya saya tak bosan-bosan mempertanyakan para pejabat yang sudah nenek-nenek dan kakek-kakek di ranah kepemimpinan kini, yang tak kunjung jua memperkuat bangsanya. Dana besar uang rakyat, yang ada di Balai Benih Padi, misalnya, hanya untuk kegiatan yang tak layak bagi kemaslahatan? Akhirnya, terpulang kepada masyarakat kini, sudah sebaiknya kita belajar bertanya dengan benar, sekaligus mempertanyakan, untuk mereka yang sudah dianggap gagal membawa bangsa untuk bangkit di milenmium baru kini, agar legowo mundur dan menyerahkan segalanya kepada anak-anak muda macam Helianti Hilman itu, misalnya, mengurusi pertanian, misalnya. Bila tidak, saya memprovokasi Anda semua untuk melakukan gerakan bertanya dari Sabang sampai Merauke di jam yang sama dan di waktu yang sama, agar Indonesia ini bergema, bangkit rakyatnya, melupakan memimpin usang "memiskin" bangsa. Jadi, mari, galakkan bertanya dengan benar, tidak memble aje.*** Iwan Piling, literary citizen reporter, presstalk.info Ada Naruto, Sandra Dewi dan MU di Yahoo! Indonesia Top Searches 2008. http://id.promo.yahoo.com/topsearches2008 [Non-text portions of this message have been removed]