Menarik di diskusikan tulisan yang saya kutip dari
blog saya:

ANTISIPASI TERHADAP KRISIS HARGA KELAPA SAWIT

Di bawah ini adalah beberapa poin pernyataan Direktur Jenderal
Perkebunan, Ahmad Mangga Barani, tentang antisipasi pemerintah
terhadap krisis harga kelapa sawit. Hal ini disampaikan beliau dalam
wawancana dengan wartawan media Info-Sawit dan media Perkebunan,
beberapa minggu yang lalu.

Pada awal statementnya Direktur Jenderal Perkebunan menjelaskan, bahwa
yang terkena dampak kerugian terbesar adalah petani swadaya, yang
menerima harga pembelian TBS 300/kg (pada saat wawancara). Karena
mereka langsung berhadapan kondisi pasar yang real.

Sedangkan petani inti-plasma masih meninkmati harga yang lebih baik,
yakni sekitar Rp. 600/kg (pada saat wawancara). Hal ini karena harga
yang diterima petani tidak didasarkan langsung pada harga pasar
melainkan penetapan harga pada bulan sebelumnya.

"Ini adalah sisi positif dari sistem kerja sama Inti-plasma, yang saat
harga CPO boom dikritik karena mengurangi keuntungan ekonomi yang bisa
dinikmati petani, karena harga beli Inti lebih rendah dari harga
pasar", katanya.

Namun demikian, pemerintah tetap akan berusaha berupaya mengurangi
beban petani dengan mendorong peningkatkan harga beli TBS. Serta akan
mengurangi kewajiban-kewajiban di tingkat pengusaha yang akhirnya
ditimpakan pada petani.


===================================
Jika Anda pelaku agrobisnis bonafid,
mari bergabung dan kumpul di sini:
http://www.direktoriabc.co.cc
===================================


Langkah pertama adalah menyerap kelebihan supply CPO yang seharusnya
di ekspor ke Eropa maupun ke Amerika Serikat ke pasar domestik. Dalam
hal ini diarahkan untuk penyediaan bahan bakar bio-diesel di dalam
negeri. Langkah kedua adalah mencari pasar-pasar potensial baru
seperti Afrika, Timur Tengah dan Rusia.

Terkait dengan beban di tingkat pengusaha, Direktur Jenderal
Perkebunan mengatakan, pemerintah akan menurunkan pajak ekspor
pungutan ekspor menjadi 7,5 persen dan bukan tidak mungkin menjadi 0
persen. Tentunya dengan berbagai pertimbangan yang rasional. Tujuannya
mengurangi beban pengusaha dan eksportir CPO yang secara tidak
langsung dibebankan kepada petani.

Namun untuk jangka panjang menurut Direktur Jenderal Perkebunan,
industri sawit perlu diarahkan untuk lebih terdiversifikasi. Tidak
hanya melulu ekspor dalam bentuk CPO saja namun juga produk olahan
dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Sehingga produk dari sawit yang
diekspor memiliki pangsa pasar yang lebih beragam dengan tingkat harga
yang berbeda-beda pula.

Untuk petani, Direktur Jenderal Perkebunan mengingatkan perlunya
menabung atau menyediakan dana mengantisipasi gejolak. Harga komoditas
perkebunan yang berorientasi ekspor cenderung memiliki harga yang
tidak stabil. Oleh sebab itu jika petani tengah menikmati harga yang
boombastik, sebaiknya tidak lupa untuk menyisihkan keuntungannya untuk
menghadapi resiko di masa yang akan datang atau melakukan investasi di
bidang lain.

"Pengalaman harga naik dan turun secara tidak terduga bukan hal baru
untuk komoditas perkebunan. Komoditas lainnya seperti cengkeh, nilam,
vanili pernah mengalami hal demikian. Bahkan ada yang berakhir dengan
tragis, menjadi komoditas yang tidak lagi menarik untuk dikembangkan.
Oleh sebab itu perlu selalu waspada", ungkap Direktur Jenderal Perkebunan.

Sumber: http://pengawasbenihtanaman.blogspot.com/

Kirim email ke