Hutan Sepotong Pisang Goreng Puluhan tukang pisang goreng berkumpul di Lapangan Banteng, Jakarta, Senin pekan lalu. Sambil memanggul dagangan, mereka bergerak ke Departemen Keuangan dengan tujuan ganda: selain berjualan, mereka juga berujuk rasa. Mereka memang diundang sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan hidup, seperti Walhi, Jatam, Sawit Watch, dan Greenomic, untuk berdemo.
################ AGROMANIA ################## Mau Daftar ABC (Agromania Business Club) ? Segera kirim email ke [EMAIL PROTECTED] AGROMANIA (online sejak 1 Agustus 2000) SMS AGROMANIA: 0 8 1 1 1 8 5 9 2 9 EMAIL: [EMAIL PROTECTED] MILIS: http://groups.yahoo.com/group/agromania AKTIVITAS: http://ph.groups.yahoo.com/group/agromania/photos REFERENSI: http://groups.yahoo.com/group/agromania/files/ ALAMAT: Jl.Jambu No.53, Pejaten Barat 2, Jaksel 12510 BERGABUNG: http://groups.yahoo.com/subscribe/agromania ################ AGROMANIA ################## Kehadiran para tukang pisang goreng itu untuk menyindir pemerintah. "Hutan lindung Indonesia dijual dengan harga murah! Seharga pisang goreng!" teriak para pengunjuk rasa. Spanduk dan poster pun dibentangkan para demonstran. Mereka juga mengumpulkan dana sumbangan untuk "membeli" hutan. Koalisi LSM lingkungan terus melakukan aksinya hingga pekan ini. Kehebohan itu dipicu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan, yang diterbitkan pada 4 Februari lalu. Di dalam PP inilah pemerintah menetapkan sejumlah tarif yang harus diberlakukan, termasuk di kawasan hutan lindung, sebesar Rp 1 juta-Rp 3 juta per hektare per tahun. Beleid itu segera menuai kritik pedas. "Itu harga hutan lindung termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini. Hutan dihargai cuma Rp 120 hingga Rp 300 per meter. Lebih murah dari harga sepotong pisang goreng yang dijual pedagang keliling," kata Siti Maemunah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sengit. "Yang menyesakkan," lanjut Maemunah, "PP itu keluar di tengah ketidakbecusan pemerintah mengurus laju kerusakan hutan yang mencapai 2,76 juta hektare. Apalagi, kita baru saja menjadi tuan rumah Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim Dunia," katanya. Menteri Kehutanan, M.S. Ka'ban, sebaliknya menganggap peraturan itu diperlukan untuk menjamin kepastian hukum bagi perusahaan tambang yang mendapat izin pemanfaatan hutan lindung. "Jadi, ini justru untuk kepastian usaha tambang," ujarnya kepada Gatra. Ka'ban menilai, peraturan itu akan menguntungkan negara. Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa perlu mengadakan konferensi pers, Kamis pekan lalu. "Banyak yang salah terima tentang PP ini. Peraturan ini sebenarnya melanjutkan ketentuan yang telah dibuat pada masa pemerintahan Presiden Megawati, yang mengatur izin 13 perusahaan tambang untuk beroperasi di kawasan hutan lindung," katanya. PP itu memang punya buntut sejarah yang panjang. Itu berawal dari terbitnya Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang melarang usaha apa pun di kawasan hutan lindung. Tapi, apa lacur, ternyata ada sejumlah perusahaan tambang terbuka yang telah mengantongi kontrak karya. Mereka pun mengancam mengajukan perkara ini ke arbitrase internasional. Ketika itu, pemerintahan Megawati Soekarnoputri pun kalang kabut. Karena kondisi yang mendesak, mereka merasa perlu menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang mengizinkan beberapa usaha tambang terbuka beroperasi di hutan lindung (lihat: Perkembangan Regulasi). Sejak itulah, pro dan kontra tentang usaha tambang di hutan lindung timbul tak ada habisnya. Nah, bak lagu dangdut, karena "telanjur basah, ya sudah, mandi sekalian", Departemen Kehutanan berinisiatif memanfaatkan kondisi yang ada, misalnya memancing konpensasi. "Soalnya, Kehutanan selama ini tidak mendapatkan apa-apa dari kegiatan tambang di hutan," kata Ka'ban. Dengan dana PNBP yang ditetapkan PP Nomor 2, Departemen Kehutanan mendapat sumber dana baru untuk mempercepat reklamasi dan rehabilitasi kawasan hutan. Menurut kalkulasi Ka'ban, pihaknya dapat mengeruk keuntungan Rp 600 milyar per tahun. "Kami ingin pemerintah mendapatkan nilai tambah," katanya. Ka'ban membantah keras jika pemerintah dianggap menjual hutan lindung. "Kami hanya membuatkan tarif soal pemanfaatan kawasan hutan," tuturnya. Lagi pula, perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan hutan punya banyak kewajiban yang diawasi secara ketat. Mulai laporan rutin amdal, kewajiban reklamasi, hingga pajak ini dan itu. "Jadi, peraturan ini justru menjadi beban tambahan kewajiban mereka," ujar Ka'ban. Masalah lainnya, kata Ka'ban, adalah dengan kondisi saat ini, sudah sulit mencari lahan pengganti bagi areal kawasan hutan yang menjadi usaha pertambangan. "Itu dilihat dari perbandingan yang ada. Di Pulau Jawa perbandingannya satu banding satu sedangkan di luar Jawa dua banding satu," kata Ka'ban lagi. Di sisi lain, yang terkena pajak justru mendukung kebijakan itu. Direktur Indonesian Mining Association (IMA), Priyo Pribadi Soemarno, menyatakan bahwa PP pajak hutan lindung itu merupakan solusi atas kebuntuan persoalan kehutanan dan pertambangan. "IMA mendukung penuh PP Nomor 2 dengan penuh rasa tanggung jawab. Bukan mau ngabis-habisin hutan seperti yang dituduhkan LSM," kata Priyo. Luas hutan untuk areal tambang itu sangat kecil. "Tidak sampai 2% dari luas hutan yang dikelola Departemen Kehutanan," katanya. Selain itu, masih banyak bidang usaha lain yang memerlukan "pengorbanan" hutan. Priyo memberi contoh, usaha panas bumi (geotermal). "Banyak proyek geotermal yang tidak bisa berjalan karena melintasi wilayah hutan atau hutan lindung. Padahal, geotermal dibutuhkan juga untuk masyarakat banyak," tuturnya. Bagi usaha tambang, Priyo melanjutkan, PP PNBP itu justru merupakan tambahan kewajiban yang harus dilaksanakan. Padahal, beban pertambangan selama ini sudah berat. "Usaha tambang sudah punya kewajiban lainnya, seperti soal reklamasi, bayar iuran, pajak ini-itu, dan ganti rugi tebangan," kata Priyo. Namun, benarkah PNBP hutan yang ditetapkan bakal benar-benar menguntungkan? "PP itu harus dibatalkan," kata Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia. Menurut hitungan Elfian, apabila tarif penggunaan hutan lindung diterapkan, potensi pajak yang diraup mencapai Rp 2,78 trilyun per tahun. "Tapi sebenarnya tambahan penerimaan ini tidak mengubah kontribusi penerimaan subsektor pertambahan umum," kata Elfian. Dengan tambahan dana tadi, total penerimaan negara dalam revisi APBN 2008 akan menjadi 0,68% dari 0,51%. "Jadi, hanya ada peningkatan 0,1%," Elfian menambahkan. Selain itu, dari sisi target, penambahan penerimaan negara subsektor pertambangan sebesar Rp 1,5 trilyun sama sekali tidak bisa menopang defisit APBN 2008. Soalnya, menurut Elfian, pemerintah masih harus membayar bunga utang luar negeri dan dalam negeri sebesar Rp 94,15 trilyun pada tahun ini. "Jadi, sebenarnya tak ada alasan untuk menetapkan tarif itu," katanya. Greenomics meminta agar penggunaan kawasan hutan lindung untuk tambang terbuka dikenai biaya minimal US$ 16.000 atau sekitar Rp 152 juta per hektare per tahun (kurs US$ 1= Rp 9.500). Ini berarti, perusahaan-perusahaan tambang di kawasan hutan lindung harus membayar Rp 140,6 trilyun per tahun. "Jumlah ini didapatkan dari dua kali nilai potensi kerugian akibat aktivitas tambang itu," kata Elfian. Tak hanya itu. Greenomics juga meminta pemerintah memberikan biaya jaminan reklamasi atas hutan lindung yang ditebang secara terbuka. Sistemnya adalah pembayaran di muka berdasarkan jaminan kerja (performance bonds). Tarif reklamasi standar minimum berdasarkan rata-rata standar internasional adalah sebesar US$ 17.000 per hektare (sekitar Rp 161,5 juta). "Jadi, ke-13 perusahaan tambang itu harus membayar di muka uang jaminan kinerja kepada pemerintah sebesar Rp 149,4 trilyun," tutur Elfian. Direktur Kebijakan The Nature Conservancy, Widodo Ramono, sependapat dengan Elfian. Sekilas penetapan tarif di kawasan hutan lindung ini memang menjanjikan pemasukan dana segar. Tapi itu tak seberapa jika dibandingkan dengan nilai intrinsik sumber daya alam yang harus dikorbankan. "Nilainya masih sangat rendah, meskipun mereka diberi kewajiban memberikan ganti rugi tegakan, reklamasi, dan reboisasi," kata Widodo. Nilai intrinsik itu, misalnya, berupa keanekaragaman hayati dan nilai-nilai budaya masyarakat di sekitar hutan. "Itu sangat tinggi nilainya. Biaya atas dampak lingkungannya sangatlah besar," ujar Widodo. Yang keberatan atas ketetapan tarif hutan itu tak hanya LSM, melainkan juga pemerintah daerah. Pertimbangannya simpel saja, hutan sudah penuh dengan usaha tambang. Misalnya saja di kawasan Kalimantan Timur. Data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Regional Kalimantan Timur menunjukkan, di sembilan kabupaten sudah ada 68 kegiatan eksplorasi dan 22 eksploitasi. "Jadi, sebenarnya kondisi hutan di Kalimantan memprihatinkan. Pemerintah belum memiliki kebijakan blue print yang jelas tentang hutan lindung," kata Dodo S. Sambodo, Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup KLH Regional Kalimantan. Salah satu daerah yang telah menyatakan diri ikut menolak PP Nomor 2 adalah Balikpapan. Wali Kota Balikpapan, Imdaad Hamid, telah menerbitkan peraturan wali kota yang melarang kegiatan tambang batu bara di wilayah kerjanya. Tak lama lagi, peraturan itu diperkuat menjadi peraturan daerah (perda). Contoh lainnya adalah sistem pengelolaan hutan lindung Sungai Wain, yang telah dilindungi dengan Perda Nomor 11 Tahun 2004. Perda ini mengatur, jika hutan lindung di kawasan Sungai Wain akan digunakan, maka hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari seluruh masyarakat Balikpapan melalui suatu referendum. "Jadi, kepala daerah tidak mudah menerbitkan izin-izin penambangan. Dengan mekanisme referendum itu pula, masyarakat dilibatkan dalam perencanaan, evaluasi, dan pengawasan," kata Purwanto, Kepala Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain. Dengan segudang keberatan ini, apakah PP itu akan dicabut? "Kalau memang ada konsep yang lebih bagus dan menguntungkan bagi rakyat banyak, silakan diusulkan. Namun, maaf, pemerintah tidak akan mencabut peraturan ini," kata Yetti Rusli, Kepala Badan Planologi Kehutanan. Bagi mantan Direktur Utama Perhutani, Transtoto Handhadari, kehebohan itu adalah persoalan klasik dilema antara melestarikan hutan dan kepentingan ekonomi. Menurut Transtoto, faktor kunci yang dapat dijadikan solusi adalah penilaian kuantitatif yang tepat atas fungsi totalitas sumber daya hutan. "Artinya, meninjau kembali tiap-tiap jengkal lahan yang ada dengan peta posisi lahan (land position map)," kata Transtoto. Peta karya Transtoto ini merupakan arahan makro tata guna lahan berdasarkan identifikasi karakteristik lahan. Peta itu memuat kelas lereng, curah hujan, jenis tanah, kandungan geologi, dan karakteristik fisik daerah aliran sungai. Nah, dengan peta posisi itu, dapat diketahui dengan persis peran dan fungsi tiap lahan. "Itu termasuk menentukan mana yang lebih menguntungkan, apakah menambang atau konservasi," ujar Transtoto. Nur Hidayat, Rach Alida Bahaweres, Anthony, Syamsul Hidayat, dan Sonny Tulang (Balikpapan) [Lingkungan, Gatra Nomor 18 Beredar Kamis, 13 Maret 2008] http://www.gatra.com/artikel.php?id=113180 -- Using Opera's revolutionary e-mail client http://adijundi.blogspot.com/ ------------------------------------ DAFTAR JADI ANGGOTA MILIS AGROMANIA: Bergabung: [EMAIL PROTECTED] Posting Pesan: agromania@yahoogroups.com Kontak Moderator: [EMAIL PROTECTED] SMS Moderator: 0811-18-5929 TIPS PENCARIAN DI GOOGLE: daftar alamat pembeli agrobisnis / agribisnis, daftar alamat penjual dan pembeli Indonesia dan mancanegara, diskusi dan teori agribisnis, cara melakukan ekspor, buah-buahan, sayur-sayuran, ternak, kebun, taman, tanaman, tanaman obat (herbal), mesin pengolahan, mesin pertanian, makanan, minuman, ikan hias, hutan, pupuk, ikan, ikan laut, benih, biji, kacang-kacangan, daging, rempah-rempah, budidaya, hidroponik, hortikultura, sapi, ayam, burung, kambing, sawit, minyak sawit, bonsai, walet, anggrek, minyak atsiri, udang, kayu, lada, vanili, kopi, coklat, kacang, nilam, markisa, durian, lebah madu, pisang, bekicot, salak, ubi kayu, jagung, karet, eksportir / importir, penjual / pembeli, waralabais (pengusaha waralaba), produsen, wiraswasta, petani, informasi jasa, iklan produk agribisnis, informasi lowongan bidang agrobisnis, forum diskusi, konsultasi, daftar alamat, informasi harga, pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan, agroindustri, agro indonesia.Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/agromania/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/agromania/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/